Brilio.net - Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa. Namun di Indonesia, pendidikan sering kali terjebak dalam problematika yang terus berulang: akses yang tidak merata, fasilitas yang terbengkalai, hingga sistem yang dianggap tidak berpihak pada guru maupun siswa. Di tengah situasi tersebut, Wapres Gibran Rakabuming Raka muncul dengan gebrakan-gebrakan yang langsung menjadi perhatian, seolah menegaskan komitmen pemerintahannya untuk melakukan perbaikan pada sektor pendidikan.
Baru beberapa pekan menjabat, Gibran sudah mengusulkan berbagai langkah besar sebagai upaya transformasi pendidikan. Beberapa waktu lalu ia mengusulkan mata pelajaran coding sejak sekolah dasar, kini ia muncul lagi dengan mengusulkan penghapusan sistem zonasi. Usulan ini langsung disambut berbagai pendapat masyarakat. Tentu ada yang pro, dan ada juga yang kontra. Tak heran, pasalnya memang tak ada kebijakan yang bisa memuaskan semua pihak.
BACA JUGA :
Gibran Rakabuming minta zonasi diakhiri, coding diajari, generasi emas dikejar lagi
Tapi setidaknya, di balik ambisi besar pemerintahan melakukan perbaikan sistem pendidikan, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi: Apakah Indonesia siap dengan perubahan tersebut? Bagaimana gebrakan ini menjawab polemik pendidikan yang sudah bertahun-tahun ada? Dan, tentu saja, apakah ini hanya sekadar gebrakan awal atau benar-benar akan membawa perubahan? Belum lagi respons para stakeholder yang belum tentu sepakat dengan Gibran terkait usulan yang dibuatnya.
foto: liputan6.com
BACA JUGA :
Tak mau cawe-cawe soal penangguhan doktor Bahlil Lahadalia, begini tanggapan Mendiktisaintek
Praktis, ada setidaknya lima usulan Gibran terkait dunia pendidikan mulai dari yang terbaru yaitu penghapusan sistem zonasi, usul UU khusus perlindungan guru, usulan mata pelajaran coding, sekolah khusus korban kekerasan dan percepatan renovasi sekolah. Gibran menyoroti polemik sistem zonasi diterapkan sejak 2019 sebagai upaya untuk meratakan akses pendidikan. Banyak orang tua merasa dirugikan karena anak-anak mereka yang memiliki nilai tinggi tidak bisa masuk sekolah favorit hanya karena jarak rumah yang tidak memenuhi syarat.
Kasus paling ekstrem adalah orang tua yang terpaksa menyewa kontrakan di dekat sekolah hanya untuk memenuhi persyaratan zonasi. Bahkan, praktik memalsukan domisili sempat menjadi fenomena yang cukup ramai diberitakan menyusul penerapan sistem zonasi ini. Karena kerap mendatangkan polemik, Gibran pun mengusulkan pada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Muti untuk menghapus sistem zonasi dalam pemilihan sekolah.
Saya sampaikan secara tegas ke pak menteri pendidikan, 'pak ini zonasi harus dihilangkan', kata Gibran saat berpidato dalam acara Pembukaan Tanwir I Pemuda Muhammadiyah di Hotel Aryaduta Jakarta.
Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming Raka, meminta para Kepala Dinas Pendidikan di seluruh Tanah Air untuk mengkaji ulang mengenai sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi.
"Jadi bapak-ibu, zonasi ini program yang baik. Tapi silakan nanti bapak-ibu selama rakor mungkin bisa memberi masukan karena jumlah guru kita itu belum merata. Ada provinsi, tempat-tempat yang kelebihan guru, ada provinsi, tempat-tempat yang kekurangan guru," kata Gibran.
foto: kemendikbud.go.id
Selain zonasi, salah satu yang menjadi perhatian adalah soal fasilitas sekolah yang perbaikannya lamban. Menurut data Kemendikbudristek, 148 ribu ruang kelas di Indonesia rusak, dan 36 ribu di antaranya masuk kategori rusak berat. Ini belum termasuk kebutuhan dasar seperti toilet, laboratorium, atau perpustakaan yang masih menjadi kemewahan bagi sekolah di daerah terpencil. Gibran pun menginstruksikan pada Mendikdasmen untuk bersinergi dengan Kementerian Pekerjaan Umum supaya perbaikan fasilitas pendidikan berlangsung lebih cepat.
Dia meminta Kemendikbudristek dan Kementerian PUPR bekerja sama untuk mempercepat perbaikan fasilitas pendidikan, terutama di daerah terpencil.
"Jangan sampai ada lagi sekolah-sekolah yang roboh, bocor. Jangan sampai ada lagi sekolah-sekolah yang rusak. Ini nanti silakan Pak Menteri berkoordinasi dengan Pak Menteri PU, sekolah-sekolah mana saja yang nanti akan mendapatkan bantuan untuk negeri dan swasta. Jadi sekali lagi kita ingin kebijakan ini, anggaran ini bisa tepat sasaran sehingga langsung mengena penerima manfaatnya," kata Gibran.
"Bagaimana kita bisa berharap siswa berprestasi kalau bangunan sekolah saja hampir roboh?" ujar Gibran. Targetnya adalah menyelesaikan renovasi pada lebih dari 50 ribu ruang kelas yang rusak berat dalam lima tahun ke depan.
foto: liputan6.com
Gibran juga menyoroti fenomena guru yang kerap dikriminalisasi saat ini. Guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tapi nyatanya mereka menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Salah satu isu yang mencuat adalah guru yang dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa hanya karena mencoba mendisiplinkan murid. Menurut catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), ada ratusan kasus serupa setiap tahun. Dalam rangka menangani hal yang tengah ramai diperbincangkan ini, Gibran pun mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru.
"Sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak, tapi ya saya mohon maaf, jangan Undang-Undang Perlindungan Anak ini dijadikan senjata untuk menyerang para guru. Ini mungkin ke depan perlu kita dorong juga, Pak Menteri, Undang-Undang Perlindungan Guru. Jadi guru itu bisa nyaman dan juga guru mempunyai ruang untuk mendidik dengan cara-cara yang tetap disiplin, tapi harus ada Undang-Undang dan Perlindungannya,"
Yang nggak kalah bikin geger, Gibran juga mengusulkan memasukkan pelajaran coding bagi anak sekolah mulai dari SD. Mengikuti jejak negara-negara maju, Gibran mengusulkan agar coding dimasukkan sebagai mata pelajaran wajib sejak SD. Dia menyebut ini sebagai langkah untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan revolusi industri 4.0.
"Dan kemarin saya dititip ke Pak Menteri di Rapat terakhir kita ini kalau bisa mungkin di tingkat SD atau SMP mungkin diterapkan juga sekolah pelajaran coding," ujarnya seperti dilansir brilio.net dari Liputan6, Jumat (22/11).
"Jadi jangan sampai kita kalah dengan India karena saya lagi Bapak Ibu, ya untuk menuju Indonesia emas kita butuh generasi emas. Kita pengen lebih banyak lagi ahli-ahli coding, ahli-ahli AI, ahli-ahli machine learning, dan lain-lainnya," tandasnya.
Namun, banyak yang mempertanyakan kesiapan infrastruktur dan tenaga pengajar untuk merealisasikan program ini. Data menunjukkan bahwa 12 ribu sekolah di Indonesia masih tidak memiliki akses internet yang memadai. Pasalnya, ketika negara-negara seperti Singapura, India, dan Finlandia mulai memasukkan coding dalam kurikulum wajib mereka, Indonesia masih berkutat pada tantangan infrastruktur dasar. Bahkan, akses internet di sekolah masih menjadi masalah besar di banyak daerah.
foto: kemendikbud.go.id
Wacana Gibran dalam dunia pendidikan juga termasuk menyampaikan keinginan Mendikdasmen untuk mendirikan sekolah khusus korban kekerasan, termasuk korban kekerasan seksual. Hal ini disampaikannya agar tak ada anak-anak yang kehilangan masa depan atau kesempatan sekolah karena mereka merupakan penyintas kekerasan.
"Kemarin sudah dibahas dengan Pak Menteri bagaimana anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan lain-lain harus mendapatkan atensi khusus. Jangan sampai mereka malah dikeluarkan dari sekolah. Kalau bisa kita beri atensi khusus, kalau bisa dibangunkan sekolah khusus untuk mereka. Ini idenya Pak Menteri ya, bukan ide saya," ungkap Gibran.
Meski gebrakan ini terlihat menjanjikan, ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum semua ini bisa diwujudkan. Masalah anggaran, misalnya. Data APBN 2024 menunjukkan bahwa alokasi untuk pendidikan sudah mencapai 20% dari total anggaran, tapi masih belum cukup untuk menyelesaikan semua masalah yang ada.
Selain itu, koordinasi antarinstansi juga sering menjadi kendala. Tanpa sinergi yang kuat, banyak kebijakan berakhir hanya sebagai wacana. Terlepas dari itu, gebrakan Gibran adalah sinyal positif bahwa ada perhatian serius terhadap pendidikan. Namun, seperti kata pepatah, "talk is cheap." Yang dibutuhkan sekarang adalah implementasi nyata yang benar-benar dirasakan oleh siswa, guru, dan masyarakat.
Bagaimana menurut kamu? Apakah gebrakan ini cukup untuk menjawab polemik pendidikan di Indonesia? Atau ini hanya gebrakan awal yang masih penuh tanda tanya?