Brilio.net - Pergantian kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia tampaknya sering kali menjadi isu yang terus berulang setiap kali ada perubahan dalam pemerintahan atau pergantian menteri pendidikan.
Hal ini tak luput dari perhatian anggota Komisi X DPR, Sofyan Tan, yang baru-baru ini memberikan kritik tajam mengenai kebiasaan gonta-ganti kurikulum pendidikan. Ia menekankan bahwa alih-alih merombak kurikulum, pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan peningkatan kesejahteraan guru serta perbaikan infrastruktur pendidikan yang masih menjadi permasalahan serius di Indonesia.
BACA JUGA :
Dihapus Nadiem Makarim, sistem ranking siswa di sekolah bakal diterapkan kembali oleh Abdul Mu’ti?
Menurut Sofyan Tan, penggantian kurikulum memang menjadi topik hangat di masyarakat, terutama setelah beredar spekulasi mengenai potensi perubahan Kurikulum Merdeka usai pergantian rezim pemerintahan. Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat mulai merasakan kekhawatiran, bahkan terlihat melalui berbagai diskusi di media sosial yang menunjukkan keresahan akan wacana perubahan ini. Sofyan mengingatkan bahwa setiap pergantian kurikulum tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga menambah beban guru yang harus beradaptasi lagi dengan materi baru.
Dalam sebuah rapat Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Muti, Sofyan menyampaikan langsung pandangannya.
BACA JUGA :
Wujudkan kesejahteraan pendidik, Mendikti Saintek siap perjuangkan kenaikan gaji dosen
foto: kemdikbud.go.id
Ia menegaskan pentingnya mempertimbangkan kembali kebijakan terkait kurikulum agar tidak ada kesan bahwa setiap kali ganti menteri, kurikulum pendidikan harus berubah. Menurut Sofyan, dampak dari perubahan ini sangat signifikan, terutama bagi 3 juta lebih guru di seluruh Indonesia yang harus kembali beradaptasi dengan sistem baru.
Sofyan menjelaskan, perubahan kurikulum berarti guru-guru harus kembali mempelajari metode pembelajaran yang baru. Ia merasa prihatin karena banyak dari mereka yang sebelumnya sudah kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan Kurikulum Merdeka.
Menurutnya, sangat disayangkan apabila tenaga dan waktu yang telah dicurahkan guru untuk memahami kurikulum baru harus kembali sia-sia hanya karena kebijakan kurikulum kembali diubah. Sofyan percaya bahwa perubahan itu memang penting, namun ia berpendapat bahwa perubahan seharusnya tidak dilakukan secara drastis melainkan cukup dengan melakukan penyesuaian pada kebijakan yang sudah ada.
Kesenjangan pendidikan dan keadilan bagi siswa di daerah
Selain dampak bagi para guru, Sofyan juga menyoroti dampak perubahan kurikulum terhadap kesenjangan pendidikan di Indonesia. Menurutnya, akses dan kualitas infrastruktur pendidikan di Indonesia masih belum merata, khususnya di daerah terpencil. Banyak sekolah di daerah dengan fasilitas yang kurang memadai, dan hal ini akan semakin memperburuk ketimpangan jika kurikulum sering kali diganti. Sofyan menegaskan bahwa perubahan kurikulum yang terlalu cepat dan sering dapat menciptakan ketertinggalan bagi sekolah-sekolah di wilayah yang minim sumber daya.
Di banyak daerah terpencil, sekolah-sekolah bahkan masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti akses sumber belajar yang cukup dan infrastruktur sekolah yang layak. Ketika kurikulum diubah, mereka juga diharuskan untuk mengikuti perubahan tersebut. Menurut Sofyan, kebijakan yang tidak mempertimbangkan kesenjangan fasilitas pendidikan ini hanya akan memperburuk ketertinggalan siswa di daerah tersebut, dibandingkan dengan mereka yang bersekolah di perkotaan yang lebih memiliki sumber daya memadai.
Kondisi sosial ekonomi, letak geografis, dan keterbatasan sarana pendidikan yang beragam di Indonesia membuat setiap sekolah memiliki kesiapan yang berbeda dalam menghadapi perubahan besar. Sofyan khawatir bahwa perubahan kurikulum tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur akan berimbas pada tertinggalnya anak-anak di daerah pelosok, yang membuat mereka sulit untuk mengejar ketertinggalan dari segi kualitas pendidikan dibandingkan dengan sekolah-sekolah di perkotaan.
Lebih lanjut, Sofyan mengimbau pemerintah untuk mengutamakan penggunaan anggaran pendidikan bagi hal-hal yang lebih mendesak. Menurutnya, daripada mengeluarkan dana untuk perubahan kurikulum, lebih baik anggaran tersebut dialokasikan bagi peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan, khususnya di daerah-daerah yang jauh dari kata layak. Ia menyebutkan bahwa masih banyak sekolah di Indonesia yang bahkan kekurangan kursi untuk murid-muridnya, dan atap sekolah yang bocor, yang menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan akan perbaikan infrastruktur.
foto: freepik.com
Selain itu, Sofyan juga menyoroti pentingnya peningkatan kesejahteraan guru yang hingga kini masih menjadi problematika dalam sistem pendidikan di Tanah Air. Ia menekankan bahwa tugas guru akan semakin berat jika harus belajar dan beradaptasi lagi dengan kurikulum baru, sementara masalah kesejahteraan mereka masih belum teratasi. Sofyan berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib para guru dengan memberikan tunjangan yang memadai dan memperbaiki kesejahteraan mereka. Guru merupakan ujung tombak pendidikan dan seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih, bukan hanya terus-menerus dibebani oleh perubahan kurikulum yang melelahkan.
Selain berdampak pada guru dan fasilitas pendidikan, perubahan kurikulum yang terlalu sering juga dapat memberikan dampak psikologis terhadap anak didik. Anak-anak yang baru mulai terbiasa dengan Kurikulum Merdeka tentu akan kesulitan untuk beradaptasi dengan kurikulum baru yang berbeda. Orang tua pun diharuskan untuk ikut beradaptasi, mendukung kebutuhan anak-anak mereka, dan memahami sistem pembelajaran yang baru. Jika perubahan kurikulum dilakukan terlalu sering, maka akan membingungkan baik bagi anak didik maupun orang tua mereka.
Sofyan menyarankan pemerintah untuk lebih bijak dalam mengambil kebijakan pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan kurikulum. Ia menilai bahwa perubahan kurikulum yang terlalu sering justru dapat merusak kestabilan psikologis dan kualitas pendidikan siswa. Oleh karena itu, Sofyan meminta agar pemerintah mengutamakan hal-hal yang lebih mendesak seperti perbaikan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan guru.