Brilio.net - Emha Ainun Nadjib kembali membuat karya bukunya yang terbaru, berjudul Daur. Buku yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka Publisher ini dibagi menjadi empat edisi, berisikan catatan keseharian dan pemikiran kritis pria yang kerap disebut Cak Nun itu sejak awal tahun 2016.
Dalam buku ini, Cak Nun mengajak semua orang khususnya Jamaah Maiyah (JM) untuk merenung, melakukan refleksi tentang segala peristiwa yang menimpa Indonesia belakangan ini. Sepanjang 2016, Cak Nun yang juga biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Nun ini juga rutin menuliskan catatan hariannya di rubrik Daur, caknun.com. Artikel tersebut terbit secara rutin tiap hari mulai dari 3 Februari sampai 7 Desember 2016, dan mencapai 309 tulisan.
BACA JUGA :
2 Buku karya Dewi Lestari dibeli Jokowi, ini tanggapan sang adik
Berbeda dari esai yang biasa ditulis oleh Cak Nun yang bersifat 'siap santap' itu, Daur dalam rilisan fisik ini dimaksudkan sebagai 'pancingan' agar para pembacanya meningkatkan level dalam pemahaman sebuah konteks persoalan. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita membutuhkan permenungan yang sangat dalam. Kini, catatan harian yang dulu hanya bisa diakses secara maya, dapat kita jumpai secara langsung dan tertuang dalam empat jilid buku Daur itu.
Tetralogi Daur diawali dengan Anak Asuh Bernama Indonesia, disusul Iblis Tidak Butuh Pengikut, berlanjut di Mencari Buah Simalakama, dan ditutup dengan Kapal Nuh Abad 21.
foto: instagram.com/@bentangpustaka
BACA JUGA :
24 Meme membaca ini dijamin bikin kamu kecanduan buku, inspiratif ya!
Rilisnya buku Daur ini ditandai dengan diadakannya semacam acara bedah buku bertajuk Tadabbur Daur bersama Emha Ainun Nadjib. Dalam kesempatan itu menghadirkan beberapa narasumber top untuk ikut berdiskusi. Ada Salman Faridi (CEO Bentang Pustaka), Nurjannah Intan (penyunting buku Daur dari Bentang Pustaka), Fahmi Agustian (Penggiat Maiyah Jakarta), Rizki Dwi Rahmawan (Penggiat Maiyah Purwokerto), dan tentu saja si penulis buku, Cak Nun yang malam itu datang agak terlambat untuk bergabung mengikuti diskusi.
Menurut Fahmi Agustian, buku Daur karya terbaru Cak Nun ini sangat luar biasa isinya. Sebelum buku Daur ini dibuat, menurut Fahmi, Cak Nun juga sudah sering menuangkan pemikiran dengan tema yang hampir serupa sejak dulu. Bahkan katanya, pada sekitar tahun 1996 Cak Nun sudah pernah menggambarkan Islam di Indonesia itu disudutkan, tapi akhirnya masih tetap relevan dengan keadaan saat ini.
"Yang ditulis di Daur ini banyak tema yang masih sangat relevan. Cak Nun menyebut bahwa media sosial itu pornografi total, dan awalnya banyak yang nggak setuju. Konteks yang dimaksud misal Darurat Aurat, konteks tentang pornografi total. Medsos zaman sekarang orang bisa menghujat siapa saja dan selalu terjadi berkali-kali. Medsos adalah media bebas untuk menelanjangi seseorang. Misal sekarang Habib Rizieq, mungkin bisa besok akan ada orang lagi yang bisa digitukan," kata Fahmi saat membuka diskusi di kantor Bentang Pustaka Yogyakarta, Senin (12/6) malam.
Dengan kemeja putih tanpa peci, Cak Nun akhirnya sampai di lokasi acara. Cak Nun membuka diskusi itu dengan beberapa tema, yang nantinya bisa dicari para pembaca di buku Daur tersebut.
Pria yang baru saja berusia 64 tahun ini mengingatkan semua pembaca buku Daur, JM dan lainnya agar tidak memakan mentah-mentah apa yang sudah ditulisnya selama setahun itu. Apalagi jika sampai berlebihan mempercayai Cak Nun lalu memitologikannya.
foto: instagram.com/@gamelankiaikanjeng
"Jangan pernah mencoba mempercayai saya seratus persen. Saya cuma minta jangan sampai Anda memitos-mitoskan saya, jangan ada mitologi kepada saya. Kembalilah otentik pada Allah," ujar Cak Nun.
foto: instagram.com/@gamelankiaikanjeng
Cak Nun berpesan kepada semua pembaca untuk menganggap buku Daur itu sebagai peloknya mangga. Pelok mangga dalam Bahasa Jawa berarti adalah biji dari buah mangga yang bisa ditanam lagi untuk menghasilkan mangga baru yang lebih berkualitas isinya.
"Jadi setelah Anda baca semua dan Anda pahami isinya, Anda bisa saja menanamnya lagi di rumah. Dan Anda bisa elaborasi sendiri lagi maknanya. Terserah Anda," tutup pria humoris yang selama ini enggan disebut kiai atau ahli agama itu.