Brilio.net - Kasus dugaan plagiarisme yang melibatkan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) mengguncang jagat akademik Indonesia. Bagaimana tidak, tuduhan ini menyeret nama besar salah satu universitas terbaik di negeri ini, sekaligus menyentuh karya monumental seorang sejarawan kenamaan, Peter Carey. Drama ini tak hanya memantik perdebatan tentang plagiarisme, tapi juga menggugat integritas lembaga akademik.
Awalnya, kasus ini terungkap melalui cuitan akun X @_bje milik Bernando J. Sujibto pada 2 November 2024. Ia menuding ada penjiplakan dari buku Kuasa Ramalan karya Peter Carey yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada 2012, ke dalam dua buku karya tim dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
BACA JUGA :
Tak ada permintaan maaf UGM dalam pembuktian kasus plagiat, tuntutan Peter Carey tak dipenuhi
Dua buku tersebut adalah Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV ke Abad XXI dan Raden Rangga Prawiradirdja III Bupati Madiun 1796-1810: Sebuah Biografi Politik. Bernando mengunggah tangkapan layar dari Facebook Peter Carey yang menunjukkan kekecewaannya terhadap dugaan "plagiarisme terstruktur dan masif" ini.
foto: Tangkapan Layar Facebook/Fadly Rachman
BACA JUGA :
UGM tidak ada niat plagiat, begini alasan tim dosen sejarah copy-paste buku Peter Carey
Peter Carey sendiri mengaku melaporkan dugaan ini kepada KPG sejak Januari 2020. Penelusuran KPG menunjukkan adanya kutipan panjang dari Kuasa Ramalan yang diambil secara verbatim di cetakan pertama dan kedua kedua buku tersebut. Meskipun, pada cetakan ketiga, kutipan-kutipan itu telah dihilangkan.
Menanggapi tudingan ini, pihak FIB UGM menggelar pertemuan dengan KPG, Peter Carey, dan Yayasan Arsari Djojohadikusumo pada Februari 2020. Dalam pertemuan tersebut, pihak UGM menyebut bahwa buku-buku bermasalah itu hanyalah "dummy" yang tak seharusnya beredar. Namun, argumen ini terasa janggal karena tidak ada keterangan "dummy" pada sampul atau isi buku.
Akhirnya, FIB UGM meminta Pemerintah Kabupaten Madiun menarik serta menghancurkan cetakan pertama dan kedua buku tersebut. Dekan FIB UGM saat itu mengklaim bahwa langkah ini menunjukkan komitmen mereka dalam menyelesaikan kasus ini.
Kepada Brilio.net, Peter Carey tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menilai bahwa tindakan UGM tak cukup untuk menebus reputasi yang tercederai.
"Mari bersikap realistis, mungkin permintaan maaf publik tidak akan pernah terjadi. Tapi, yang sudah kita capai adalah bahwa apa pun reaksi UGM, kasus plagiarisme ini kini menjadi catatan publik. Semua orang kini tahu bahwa hal ini terjadi, karena segala informasi kini ada di ranah publik," ujar Carey kepada Brilio.net.
Carey menegaskan bahwa dengan dokumen-dokumen yang telah diunggah oleh penerbit dan berita yang tersebar di media utama, akan selalu menjadi bagian dari rekam jejak.
Sejarawan jebolan Oxford University ini menegaskan kembali pada Brilio.net, meski UGM telah menerbitkan edisi revisi dari kedua buku yang terlibat dalam dugaan plagiasi ini, permintaan maaf publik tetap dibutuhkan.
foto: Facebook/Peter Carey
"Pengacara saya Bing Hauw pada tahun 2020 menyatakan, 'Ya, meskipun UGM telah menerbitkan edisi revisi dari kedua buku tersebut, mereka tetap harus menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, pertama kepada penerbit Anda (KPG), serta kepada Anda sendiri,'" ujar Carey pada Brilio.net.
Menurutnya, kasus ini telah menjadi pengetahuan umum dan tersebar luas di kalangan masyarakat Indonesia.
"Jika mereka tidak ingin menanggapi permintaan ini untuk permintaan maaf publik, kita tahu jenis lembaga dan orang seperti apa yang sedang kita hadapi," tambah Carey kepada Brilio.net.
Carey juga mengakui, reputasi UGM akan terdampak jika kampus tersebut tidak segera bertindak.
"Jika mereka tidak bertindak dalam masalah ini, akan ada noda serius pada reputasi mereka yang tidak akan mudah dihapus atau dilupakan, tambahnya.
Carey menekankan bahwa keadilan telah tercapai melalui pernyataan publik dari penerbit.
"Terus terang, itu saja yang saya inginkan. Jika mereka tidak akan mengeluarkan permintaan maaf publik, itu adalah masalah mereka, bukan masalah saya. Tapi dengan adanya pernyataan publik terbaru dari pihak KPG, saya merasa keadilan sudah tercapai," tegasnya kepada Brilio.net.
Menurut Bernando J. Sujibto, peraturan mengenai sanksi etik profesi di dunia pendidikan sudah cukup jelas, terutama soal plagiarisme.
"Permen Pendidikan dan Kebudayaan secara khusus menerbitkan peraturan tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi Nomor 17 tahun 2010 sudah jelas mengatur sanksi etik profesi. Lengkap juga skemanya. Aturan terbaru sudah terbit berupa Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 Tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah, dengan menambahkan pembaruan dan semakin kontekstual," ungkap Bernando melalui pesan singkat pada Brilio.net.
Menurutnya, aturan-aturan ini memang sudah ada dan lengkap. Kampus seperti UGM, yang ada di bawah Kemendikbud, mestinya bisa mengikuti aturan ini dengan baik, mulai dari memastikan proses pemeriksaan soal etik hingga profesi dijalankan dengan benar.
Bernando juga menyoroti pentingnya keberadaan badan etik di setiap kampus.
"Setiap kampus punya badan etik atau sejenisnya yang bertugas menjaga marwah profesi akademik," tegasnya.
Bernando juga berpendapat kampus seharusnya sudah punya mekanisme untuk mengawasi dan menegakkan integritas akademik. Kalau memang ada kasus plagiarisme yang terjadi, kampus seharusnya tidak menutup-nutupi hal tersebut.
Yang menarik, ia juga mengingatkan bahwa kalau kampus tidak bertindak tegas, pihak yang berwenang bisa turun tangan.
"Menteri punya kapasitas untuk mengambil alih dan menjatuhkan sanksi bagi pemimpin kampus bersangkutan," ungkap Bernando kepada Brilio.net.
"Jadi, jika kampus gagal menanggapi pelanggaran dengan benar, Menteri Pendidikan bisa memberikan sanksi, yang tentu saja akan mempengaruhi reputasi kampus itu sendiri," tutupnya kepada Brilio.net.
Setelah ramai di media sosial, UGM membentuk tim ad hoc yang terdiri dari enam dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang tidak terafiliasi dengan Departemen Sejarah. Tim ini bertugas untuk melakukan investigasi terhadap dua buku yang disebut-sebut mengandung plagiarisme.
Dalam siaran pers yang diterima oleh Brilio.net, pihak UGM menegaskan bahwa hasil investigasi menunjukkan bahwa tuduhan plagiarisme tidak terbukti.
"Pengutipan ini sudah mencantumkan sumber secara lengkap sesuai kaidah ilmiah, sehingga tuduhan plagiasi dinilai tidak terbukti," tulis tim ad hoc dalam rilis pers mereka.
Tim ini menyatakan bahwa buku yang dimaksud, mengutip karya Peter Carey berjudul Kuasa Ramalan dengan benar, menyertakan sumber yang jelas dan mematuhi pedoman pengutipan yang ada.
Namun, meskipun tuduhan plagiarisme terbantahkan, tim ad hoc menemukan adanya potensi pelanggaran etik terkait dengan kepatutan dalam pengutipan. Mereka menilai bahwa meskipun kutipan itu sudah mencantumkan sumber dengan tepat, panjangnya kutipan yang digunakan terbilang cukup banyak, yang bisa menimbulkan masalah dalam hal etika akademik.
"Pengaturan rinci soal ini belum ada di Permendikbud yang berlaku saat buku diterbitkan, sehingga penggunaan kutipan panjang dianggap masih sesuai dengan regulasi yang ada pada waktu itu," ujar mereka dalam keterangan pers.
Brilio.net mengonfirmasi kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Setiadi, terkait hasil temuan tim ad hoc apakah sudah diteruskan kepada Peter Carey. Namun, Setiadi melalui pesan singkat tidak merespons pertanyaan tersebut.
"Sikap resmi kami adalah seperti apa yang dijelaskan dalam press release. terima kasih," tulis Setiadi melalui pesan singkat kepada Brilio.net.
Drama antara tim dosen sejarah UGM dan Peter Carey ini bukan hanya soal plagiarisme, tetapi juga tentang bagaimana menghargai etika dan integritas intelektual.
Jika institusi sebesar UGM tidak mampu memberikan contoh yang baik, maka ke mana lagi kita harus berharap?