Brilio.net - Siapa sangka, seorang anak buruh serabutan asal Gendong Kulon Babat Lamongan kini menjabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Ia adalah Mundakir, sosok yang membuktikan bahwa dengan tekad dan usaha keras, tidak ada yang tidak mungkin.
Mundakir lahir di keluarga sederhana. Ayahnya, Tardji, seorang buruh serabutan di sawah orang, dan ibunya, almarhum Mundari, seorang pedagang kecil di pasar. Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, ia tumbuh dalam keterbatasan ekonomi. Meskipun demikian, sang ayah yang hanya lulus SD sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Dari sinilah semangat belajar Mundakir mulai tumbuh.
BACA JUGA :
PPG guru madrasah dan guru agama dibuat sederhana, tunjangan Rp 2 juta di depan mata
"Sejak kecil, saya memang suka belajar. Sekolahnya harus jalan kaki 2 km karena tidak punya sepeda. Pulang sekolah, langsung bantu bapak di sawah," kenang Mundakir tentang masa kecilnya yang penuh perjuangan.
Kisah hidup Mundakir semakin menarik ketika keluarganya memutuskan untuk transmigrasi ke Sumatera dengan harapan ekonomi keluarga membaik. Namun, hal itu hanya berlangsung dua tahun karena mereka merasa tidak betah dan akhirnya kembali ke Jawa. Meskipun kondisi ekonomi serba terbatas, ayahnya tetap berjuang agar anak-anaknya bisa sekolah.
Saat Mundakir masuk MTSN 1 Lamongan, keluarga harus berjuang keras untuk membiayai pendidikan. Ayahnya bahkan terpaksa meminjam uang dari orang lain agar bisa menyekolahkan anak-anaknya, meski pinjaman tersebut selalu dibayar tepat waktu. Setelah lulus dari MTSN, Mundakir melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Babat. Di sini, dia mulai aktif di organisasi pelajar Muhammadiyah dan menjadi perwakilan sekolah dalam lomba cerdas cermat agama. Meskipun tidak selalu menjadi juara pertama, Mundakir selalu masuk lima besar, bahkan pernah meraih peringkat pertama.
BACA JUGA :
Heboh guru pilih resign dari PNS karena stres, mengapa jadi abdi negara rentan merasa tak bahagia?
foto: UM Surabaya
Setelah lulus SMA, Mundakir memutuskan untuk berhenti sejenak dan merantau ke Surabaya. Ia bekerja di proyek rel kereta api, kemudian sempat bekerja di pabrik kayu, dan bahkan menjadi tukang potong rambut di salon. Hidup serba pas-pasan, Mundakir tidak pernah membayangkan bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Namun, setelah dua tahun merantau, ia kembali ke desa dan membantu ayahnya menjadi tengkulak semangka. Dari situ, kondisi ekonomi keluarga mulai membaik, dan ia bisa membeli sapi sebagai modal untuk kuliah.
"Belajarnya dulu sambil angon sapi, bawa buku di pekarangan," katanya sambil tersenyum mengenang perjuangannya dikutip dri UM Surabaya.
Pada tahun 1998, Mundakir akhirnya bisa melanjutkan studi di Diploma III Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di kampus, ia aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan bahkan terpilih menjadi Wakil Ketua. Pada tahun 2003, ia melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas Airlangga (Unair) jurusan keperawatan.
Tidak berhenti di situ, Mundakir juga melanjutkan studi profesi Ners di Unair pada tahun 2004, dan terus mengejar pendidikan lebih tinggi. Pada tahun 2009, ia melanjutkan studi magister di Universitas Indonesia dan akhirnya berhasil menyelesaikan studi doktoral di Universitas Airlangga pada tahun 2017.
Mundakir menikah dengan Nuzul Quraniati, yang kini juga menjadi dosen di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Mereka dikaruniai dua putra, Zafran dan Abyan. Dalam wawancara dengan Nuzul, ia mengungkapkan bahwa Mundakir adalah suami yang selalu mendukung istrinya untuk terus belajar, bahkan saat Nuzul melanjutkan studi S2 dan S3 di Flinders University, Australia, mereka menjalani hubungan jarak jauh.
Karier Mundakir di UM Surabaya sangat gemilang. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi (Sekprodi) S1 Keperawatan, Kaprodi S1 Keperawatan, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, hingga Wakil Rektor IV UM Surabaya. Kiprahnya di dunia pendidikan sangat diakui.
Tak hanya di tingkat nasional, Mundakir juga memiliki prestasi di kancah internasional. Ia tergabung dalam Council of Asian Science Editors (CASE) dan International Society for Quality in Health Care (ISQua), serta telah menerbitkan buku dan jurnal kesehatan yang diakui di banyak negara.
Mundakir adalah contoh nyata bahwa tidak ada yang mustahil. Dari seorang anak buruh serabutan yang harus berjalan kaki 2 km setiap hari untuk sekolah, hingga kini memimpin sebuah universitas ternama. Semua itu bisa terwujud berkat kerja keras, tekad bulat, dan semangat yang tak kenal menyerah. Kisah hidupnya menginspirasi banyak orang untuk terus berjuang menggapai cita-cita, tak peduli seberapa besar tantangan yang dihadapi.