Brilio.net - DKI Jakarta telah memiliki gubernur baru. Pada Senin (16/10), pasangan Anies-Sandi resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta Pusat masa bakti 2017-2022. Pada pelantikan ini, sumpah jabatan sempat diulang karena ketidakselarasan keduanya saat mengucapkan 'Undang-undang Dasar Negara'.
Pasca itu di Balaikota Jakarta Anies memberikan pidato perdananya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Cucu AR Baswedan ini menekankan pentingnya penerapan Pancasila di kehidupan keseharian ibu kota. Dia lalu menjabarkan satu per satu dari lima sila.
BACA JUGA :
Anies-Sandi beberkan apa yang diobrolkan dengan Presiden Jokowi
Kata Anies, Indonesia bukan negara yang hanya menganut satu agama, pun Indonesia bukan negara antiagama. Ketuhanan menjadi suatu landasan penting dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana sila utama Pancasila. Hal ini dapat diwujudkan dalam ranah kemanusiaan tanpa ada pembeda-bedaan.
"Karena itu kita hadirkan, Jakarta yang manusiawi dan beradab. Sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab," kata Anies.
Persatuan adalah prinsip yang sering dilewatkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dia menekankan keguyuban ini mesti diwujudkan.
BACA JUGA :
Sempat diulang, ini sumpah jabatan Anies Baswedan-Sandiaga Uno
"Kita runtuhkan sekat - sekat antara ruang yang berkemampuan ekonomi. Mari kita wujudkan Jakarta yang bersatu. Dalam wujudkan prinsip itu kita kembalikan musyawarah sebagai tradisi, sesuai sila keempat," tambahnya.
Namun ada bagian dari pidatonya yang memancing reaksi kontra dari masyarakat.
"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Anies sebagaimana dikutip dari Antara.
Padahal, ternyata istilah ini telah dilarang melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Aturan ini dapat diunduh di laman Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berada di bawah naungan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Dalam aturan tersebut, tertulis instruksi untuk 'menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan'. Instruksi Presiden ini mulai berlaku sejak ditandatangani oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie 16 September 1998.