Brilio.net - Istilah 'rakyat jelata' yang diucapkan oleh juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Adita Irawati, mendadak jadi trending topik di media sosial. Kata ini muncul saat Adita menanggapi polemik yang melibatkan Gus Miftah. Sayangnya, diksi tersebut malah memancing reaksi keras. Banyak yang menilai istilah itu terkesan merendahkan masyarakat.
Kritik deras mengalir hingga akhirnya Adita meminta maaf terbuka. Dalam klarifikasinya melalui akun Instagram resmi istana, ia menyampaikan permohonan maaf atas kata-kata yang dirasa menyinggung.
BACA JUGA :
Gus Miftah ngaku cuma bercanda ke penjual es teh, bagaimana kalimat guyonan bisa jadi petaka?
"Saya tidak berniat menyinggung siapa pun, dan ke depannya akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan," ungkap Adita.
BACA JUGA :
Pendidikan kok kena pajak? Dilema antara kebutuhan negara dan hak dasar masyarakat Indonesia
Penggunaan istilah seperti 'rakyat jelata' memang punya muatan makna yang berat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah itu merujuk pada rakyat biasa atau masyarakat kelas bawah. Meski secara definisi tidak salah, konteks komunikasi publik membuat kata ini terasa tidak pas, terutama ketika digunakan oleh figur resmi seperti juru bicara istana.
Menurut Febrina Nadelia, S.Pd., M.Hum. dalam esainya berjudul Pentingnya Diksi yang Tepat dalam Berkomunikasi, ia menuliskan bahwa apa yang terjadi menunjukkan bahwa kata-kata tidak hanya soal komunikasi, tetapi juga bagaimana audiens memaknainya. Dalam konteks publik, salah memilih kata bisa menciptakan kesalahpahaman, bahkan menyulut emosi.
Kasus ini mirip dengan polemik yang melibatkan Gus Miftah beberapa waktu lalu. Ketika itu, Gus Miftah mendapat kecaman akibat komentarnya yang dirasa tidak sopan kepada seorang penjual es teh. Meski ia mengaku hanya bercanda, masyarakat tetap menilai candaan tersebut berlebihan dan tidak pantas. Akhirnya, seperti Adita, Gus Miftah juga harus meminta maaf terbuka.
Fenomena ini bukan hal baru. Penelitian dari Nancy Bell, seorang ahli linguistik dari Washington State University, menunjukkan bahwa respons audiens terhadap lelucon buruk atau ucapan yang dianggap tidak tepat sering kali negatif. Dalam studinya, Bell mendapati bahwa candaan gagal dapat memicu reaksi seperti tatapan sinis, komentar pedas, hingga serangan verbal. Bahkan, pada beberapa kasus, orang yang mendengar bisa merespons dengan rasa marah.
Bell menegaskan, humor atau ucapan yang gagal mencapai tujuannya sering dianggap sebagai pelanggaran ekspektasi sosial. Itu sebabnya, reaksi terhadapnya sering kali berupa hukuman sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Di era media sosial, komunikasi publik semakin kompleks. Apa yang diucapkan figur publik dengan mudah bisa menjadi viral, baik dalam konteks positif maupun negatif. Kasus Adita dan Gus Miftah adalah contoh nyata bagaimana satu kata atau ungkapan bisa menjadi bumerang ketika tidak disampaikan dengan hati-hati.
Media sosial memberi ruang besar untuk interpretasi, yang sering kali berujung pada perdebatan panjang. Dalam konteks ini, pemilihan kata menjadi lebih krusial. Kata-kata yang ambigu, apalagi dianggap merendahkan, bisa langsung memicu reaksi luas dari audiens yang beragam.
Menurut Febrina, ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini. Pertama, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga memastikan pesan itu diterima dengan cara yang dimaksudkan. Kata-kata punya kekuatan besar, dan ketika digunakan dengan tepat, bisa menciptakan pemahaman. Sebaliknya, salah memilih kata justru akan menciptakan kesenjangan antara pembicara dan pendengar.
Kedua, penting bagi figur publik untuk lebih peka terhadap konteks dan audiens. Sebuah istilah mungkin terasa biasa saja di lingkungan tertentu, tapi di ruang publik, istilah itu bisa dimaknai berbeda. Dalam komunikasi, empati adalah kunci. Memahami sudut pandang pendengar dapat membantu memilih diksi yang lebih inklusif dan netral.
Meminta maaf adalah langkah awal yang baik, seperti yang dilakukan Adita dan Gus Miftah. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup. Diperlukan perubahan nyata dalam cara berkomunikasi, terutama bagi mereka yang memiliki peran besar dalam membentuk opini publik.
Memahami audiens, memilih kata dengan hati-hati, dan menghormati perasaan semua lapisan masyarakat adalah langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan. Sebab, komunikasi yang baik bukan hanya soal bicara, tapi juga tentang mendengarkan dan memahami.
Dalam esainya, Febrina juga menuliskan, ketika bicara di ruang publik, setiap kata membawa tanggung jawab. Oleh karena itu, figur publik perlu lebih berhati-hati, karena di balik setiap pernyataan, ada potensi untuk membangun atau justru meruntuhkan kepercayaan.