Brilio.net - Isu SARA sepertinya tak pernah mati. Ada saja pihak yang menggunakan isu SARA sebbagai "senjata" untuk meraih tujuan. Entah itu tujuan politik atau ekonomi. Bak komoditas yang laris manis, isu SARA selalu saja diproduksi dan direproduksi meski rambu regulasi sudah banyak diterbitkan di Indonesia.
Kelompok Saracen yang baru saja dibongkar oleh Polri adalah salah satu bukti. Meski masih dalam proses hukum, namun banyak kasus lain yang sering menggunakan isu SARA untuk meraih tujuan. Sebut saja isu Presiden Joko Widodo keturunan China yang sempat santer beberapa waktu lalu.
BACA JUGA :
Hoax dan ujaran kebencian jadi bisnis, ini 5 dampak paling mengerikan
Kelompok Saracen bukan kelompok yang rapuh. Kelompok ini ternyata memiliki struktur organisasi yang tertata. Sehingga, boleh jadi isu SARA memang selalu menjadi komoditas yang terus diproduksi.
Lalu, kenapa masyarakat Indonesia sangat mudah disulut dengan isu SARA sehingga isu SARA mudah menyebar? Apalagi dengan media sosial saat ini, penyebaran informasi apapun bisa menjadi lebih cepat.
Heru Nugroho dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (Volume 1/2 tahun 1997) mengatakan SARA merupakan akonim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam konsep SARA ada pengertian konflik horisontal yang disebabkan oleh suku, agama dan ras dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan "ekonomi-politik" antargolongan.
BACA JUGA :
Kisah satu kota yang kaya karena produksi hoax dan ujaran kebencian
Indonesia dan isu SARA memiliki sejarah panjang. Isu SARA dimainkan oleh Orde Lama dengan legislasi pemerintah pada Mei 1959 yang melarang hak berdagang warga negara China di daerah pedesaan. Setiono dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008) mengatakan bahwa peraturan ini memicu eksodus warga keturunan China. Hampir 136.000 warga keturunan China melarikan diri dan meninggalkan Indonesia.
foto: Merdeka.com
Isu SARA terus menjadi bagian dari kepentingan hingga masa Orde Baru. Pemberontakan PKI membuat warga keturunan Cina dicurigai sebagai partisipan partai tersebut. Puncak isu SARA pada tahun 1998. Sentimen terhadap warga keturunan Cina menguat karena kesenjangan sosial. Jemma Purdey dalam bukunya Anti-Chinese Violence in Indonesia (2006) menjelaskan bahwa kerusuhan di Glodok pada tanggal 14-15 Mei dipicu oleh sentimen anti-Cina. Banyak toko dan bisnis yang dikelola oleh warga keturunan Cina dibakar habis dan dijarah.
Seperti sulit untuk dipadamkan, isu SARA terus menggelinding. Dikutip dari merdeka.com (15/9/2016) Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Rumadi mengatakan bahwa isu SARA menjadi senjata dalam dunia politik. Dia menambahkan bahwa isu SARA sudah digunakan sejak pemilu tahun 1955 hingga 1971. Rumadi menambahkan bahwa isu SARA kerap dipakai saat kampanye karena keyakinan beragama menjadi 'senjata' untuk menjatuhkan lawan politik.
Isu SARA menjadi senjata politik dan komoditas bisnis. Bahkan ada kelompok seperti Saracen yang menggunakan isu SARA sebagai alat bisnis yang menggiurkan.
Sri Yuliani pengajar di Administrasi Negara FISIP UNS dalam opininya bahwa ras dan etnisitas menjadi isu yang seksi dalam pemilu. Dikutip dari website FISIP UNS, cara termudah yang dilakukan oleh tim sukses untuk mendekatkan pemilih adalah kedekatan emosional. Hal ini bisa mencakup identitas suku, agama, ras, dan golongan. Isu SARA menjadi sangat penting dalam pemilihan kepala daerah. Dia juga menegaskan bahwa isu SARA menjadi alasan kenapa Indonesia sulit untuk maju.
Kebebasan informasi di era media sosial menjadikan isu SARA mudah sekali menyebar. Kementerian Kominfo sebagaimana dikutip dari kominfo.go.id menunjukkan data ada 775 ribu website terkait pornografi, SARA, penipuan, dan radikalisme. Angka yang mencapai raturan ribu ini memperlihatkan bagaimana isu SARA bisa sangat viral.
Oleh karena itu, tak sekadar regulasi untuk menghentikan isu SARA menjadi komoditas politik maupun ekonomi. Tapi dibutuhkan kesadaran bersama untuk menjaga suasana kondusif dengan tidak memainkan isu SARA. Ada hal-hal lebih substantif dalam kehidupan berbangsa bernegara, yaki usaha mencapai kesejahteraan bersama-sama.