Brilio.net - Pandemi Covid-19 mengubah banyak kebiasaan dan pola hidup masyarakat. Banyak tren bermunculan saat pandemi Covid-19, salah satunya bersepeda.
Mulai anak-anak, muda, hingga orangtua, banyak yang mengikuti tren ini. Bahkan, banyak yang rela membeli sepeda baru dengan harga mahal.
BACA JUGA :
Gowes jadi tren, bisnis sepeda melaju kencang
Minat bersepeda ini dilatarbelakangi banyak hal, dari untuk menjaga kesehatan, mengusir bosan karena di rumah saja, hingga yang sekadar ikut-ikutan.
Anggit Wicaksono, S.Pd., M.Pd. (32), dosen pendidikan kepelatihan olahraga Universitas Negeri Semarang menjelaskan, bersepeda saat pandemi memiliki sisi positif dan negatif dalam bidang kesehatan.
"Jadi apabila bersepeda dilakukan dengan terukur, dan juga mematuhi protokol kesehatan tentunya bersepeda ini memiliki dampak positif. Imun tubuh meningkat, dan itu menjadi modal utama dalam melawan Covid-19," kata Anggit dihubungi brilio.net pada Rabu (9/12).
BACA JUGA :
Pesepeda jatuh usai ban tersangkut penutup saluran
Tapi apabila bersepeda dilakukan dengan melanggar protokol kesehatan, dengan berkerumun, tidak menggunakan masker, jarang mencuci tangan, itu justru dapat memunculkan transmisi Covid-19. "Dan bisa jadi memunculkan cluster baru," kata dia.
Bersepeda juga harus mengukur kemampuan fisik masing-masing. Jangan sampai memaksakan sehingga bisa membahayakan diri.
foto: Komunitas Tendbir Cycling/A Kartika Chandra Nugraha
Secara umum, waktu yang paling baik untuk berolahraga yaitu saat pagi hari karena masih minim polusi, sinar matahari masih aman, dan dapat merangsang pro vitamin D menjadi vitamin D. Sedangkan untuk durasi bersepeda, tergantung pada kondisi fisik masing-masing orang.
Menurut Anggit, salah satu indikator untuk mengukur kemampuan dalam berolahraga yakni mengukur detak jatung maksimal. Caranya, standar detak jantung maksimal (220 per menit) dikurangi usia.
Jadi misalnya, seseorang berusia 20 tahun, maka detak jantung maksimalnya adalah 220-20= 200 per menit. "Jangan sampai detak jantungnya dalam satu menit mendekati di detak jantung maksimal, karena itu berbahaya," tutur Anggit.
Jika tujuan bersepeda adalah untuk meningkatkan imunitas tubuh, maka disarankan dilakukan dengan intensitas sedang. Jika dilakukan sebaliknya, maka bukannya imunitas tubuh meningkat, justru dapat menyebabkan imunitas tubuh menurun.
foto: Komunitas Tendbir Cycling/A Kartika Chandra Nugraha
Bersepeda saat pandemi harus memperhatikan protokol kesehatan yang ada. Protokol kesehatan saat berolahraga sudah diatur dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga nomor 6.11.1/MENPORA/VI/2020 Tentang pencegahan penularan Corona Virus Disease.
Untuk protokol kesehatan yang harus diperhatikan ketika bersepeda, sebenarnya sama dengan protokol kesehatan saat pandemi pada umumnya, seperti rajin mencuci tangan, memakai masker dan jaga jarak aman dengan orang lain.
"Yang menjadi permasalahan, mungkin kurangnya sosialisasi secara masif untuk surat edaran ini. Dan surat edaran ini, sifatnya masih bersifat umum. Belum bersifat khusus, karena karakteristik dari cabang olahraga itu berbeda-beda, tidak bisa satu protokol digunakan untuk semua cabang olahraga," jelas Anggit.
Bersepeda dapat dimasukkan ke dalam pola hidup sehat apabila dilakukan dengan benar. Namun akan berbahaya jika dilakukan dengan cara yang berlebihan atau sekadar mengikuti tren.
Tren bersepeda ini membuat beberapa komunitas pesepeda kebanjiran anggota baru saat pandemi. Seperti pada Komunitas Tendbir Cycling Semarang.
Komunitas ini digagas sejak 9 September 2008. Tendbir merupakan singkatan dari Tenda Biru, atau Tenda Biru Cycling.
foto: Komunitas Tendbir Cycling/A Kartika Chandra Nugraha
"Sejak pandemi Covid memang cukup banyak pesepeda baru, dan di Tendbir pun banyak teman-teman baru yang bergabung," kata Aryanto Nugroho (43), selaku ketua Harian Komunitas Tendbir Cycling, Rabu(9/12).
Selama pandemi, 15-20 orang bergabung dalam komunitas sepeda itu. Hingga saat ini, total anggotanya 110 orang yang berasal dari berbagai profesi, pegawai swasta, pengusaha, bahkan Kapolrestabes Semarang juga bergabung dalam komunitas tersebut.
"Sekarang total anggota Tendbir yang terdaftar sekitar 110 orang. Itu yang punya WA, mungkin ada beberapa yang tidak punya WA dan tidak masuk WA grup Tendbir," jelas Aryanto.
Anggota Tendbir mengenakan sepeda jenis roadbike untuk berkeliling kota. Terdapat beberapa agenda dan kegiatan seperti latihan bersepeda untuk mengikuti lomba, cara menyesuaikan speed, cara mengendalikan sepeda di jalan tanjakan dan lain sebagainya.
Menurut Aryanto, beragam faktor yang memengaruhi orang untuk bergabung dalam komunitas pesepeda.
"Satu, bersepeda dianggap salah satu olah raga yang bisa menjaga imunitas tubuh. Dua, banyak olahraga lain yang mengalami pembatasan kegiatan. Tiga, bersepeda bisa dilakukan sendirian atau komunal sehingga ada opsi bagi yang tidak suka berkerumun," tutur Aryanto.
foto: Komunitas Tendbir Cycling/A Kartika Chandra Nugraha
Salah satu anggota Komunitas Tendbir Cycling Club, A Kartika Chandra Nugraha (24) mengaku, mulai menekuni olahraga bersepeda ketika kantor tempatnya bekerja melakukan WFH atau work from home, sekitar Maret lalu.
"Karena pada saat itu WFH, jadi waktu luang saya gunakan buat olahraga untuk menjaga kesehatan tubuh dan memperkuat imun tubuh," kata karyawan swasta yang akrab disapa Chandra itu.
Pria yang juga anggota Strattos User Semarang ini mengaku, bersepeda bukan karena mengikuti tren semata. Dirinya sudah gemar bersepeda sebelum pandemi Covid-19 menyerang Indonesia. Namun karena rutinitas yang padat, membuat kegemarannya tersebut tak bisa ditekuni.
Chandra bersama anggota komunitas biasanya latihan bersepeda setiap pagi hari sebelum bekerja. Mereka biasa latihan dari kawasan Simpang Lima menuju Jalan Majapahit, melewati arteri Soekarno Hatta, kemudian tembus hingga jalur pantura di Semarang seperti Kaligawe dan Kalibanteng.
Komunitas ini juga beberapa kali bersepeda hingga luar kota seperti Yogyakarta, Wonosobo, bahkan hingga Cirebon dan Bandung.