1. Home
  2. »
  3. Serius
26 Desember 2018 09:15

Kisah kesaksian tsunami Aceh 2004 yang tak terlupakan

14 tahun lalu tsunami dahsyat melanda Aceh. Annisa Endriyati Utami

Pagi itu aku sedang asyik berbincang dengan tetangga yang datang berkunjung ke rumah. Tiba-tiba saja bumi berguncang, mula-mula guncangannya pelan tetapi kemudian menjadi sangat kencang. Aku panik sembari berteriak melafalkan nama Allah. Tak kalah panik, di sekelilingku orang-orang juga menjerit dengan ekspresi wajah yang sama, ketakutan.

Kami berhamburan keluar rumah sambil berpegangan. Jangankan untuk berdiri, dudukpun seakan kami tak mampu. Suara piring pecah dan perabotan yang jatuh dari dalam rumah tak terhindarkan lagi. Bersahutan dengan gema takbir dan dzikir yang terus menerus tak hentinya keluar dari mulut setiap orang yang terus berpegangan satu sama lainnya.

BACA JUGA :
Konser amal #GugurGunung Jogja sukses kumpulkan Rp 17,7 juta buat Aceh




Lima belas menit berselang, gempa berhenti. Ini gempa terbesar yag pernah kurasakan. Belakangan aku tahu gempa yang kualami ini adalah gempa terbesar yang pernah terjadi di Asia dan gempa terbesar di dunia sejak 1900.

Kami pun masuk kembali ke dalam rumah dengan wajah yang masih pucat. Evi, istriku yang sedang hamil besar tak henti-hentinya istighfar dan memegang dadanya. Perlahan kami mulai mengumpulkan barang-barang yang jatuh dan piring-piring yang pecah.

Tak seberapa lama aku memutuskan keluar. Aku ingin melihat situasi pascagempa sekaligus pergi ke wartel karena sinyal telepon selular hilang. Aku menghubungi kedua orangtuaku di Takengon, Aceh Tengah untuk memastikan keadaan mereka di sana. Setelah memastikan keadaan mereka aman, aku ganti menghubungi kakakku di Cadek Kajhu, Aceh Besar. Belum selesai berbincang dengan kakakku, hubungan terputus.

Setelah membayar aku pergi menuju Masjid Lamprit yag tak jauh dari rumah kami. Banyak orang berkumpul di sana melihat kubah masjid tersebut runtuh. Beberapa kendaraan perang TNI melaku kencang dari arah kota menuju Darussalam.

Orang-orang tiba-tiba berhamburan dari arah rumahku. Ada yang berlari, naik motor, mobil, menuju jalan T. Nyak Arif, Banda Aceh. Aku tercengang. Baru kali ini aku melihat ribuan orang dengan wajah pucat pasi. mereka berlari kencang dan tanpa membawa barang apapun.



Aku dan orang-orang di sekitarku terkejut dan saling bertanya. "Ada apa?" Aku bertanya kepada seorang anak yang kupaksa berhenti, masih terngiang jawabannya. "Cepat lari Bang, air laut sudah naik!"

Aku tercekat, panik serta-merta teringat akan keluarga yang ada di rumah, istriku yang sedang mengandung lima bulan, dua adik ku yang masih gadis, seorang keponakan dan seorang lagi familiku yang semuanya perempuan. Lututku bergetar dan mulut ternganga melihat kepanikan massa luar biasa di depan mataku. Tanpa berpikir panjang lagi aku memacu motorku menuju rumahku yang berjarak lebih kurang 600 meter dari tempatku berdiri melawan arus massa yang berlari.

BACA JUGA :
Jogja tunjukkan kepedulian lewat konser amal #GugurGunung untuk Aceh


Bukan perkara mudah kembali ke rumah di antara ribuan orang yang berlari berlawanan arah. Banyak orang yang memakiku karena tersenggol dan banyak pula yang menyuruhku kembali dan memperingatkanku untuk jangan kembali atau nanti mati. Aku tidak peduli, yang ada di pikiranku adalah orang-orang yang aku cintai yang masih tinggal di rumah.

Kira-kira di tengah perjalanan menuju rumah aku terperanjat. Rumahku terlihat, padahal masih berjarak 300 meter. Tiang listrik dan pohon-pohon yang ada di depannya berjalan sendiri sebelum akhirnya jatuh satu per satu.

Saat itu aku belum melihat air. Aku hanya mendengar seperti suara deru pesawat terbang beriringan dengan suara mirip tembakan. Kemudian rumah dari konstruksi kayu yang merupakan kantin sekolah di dekat situ berjalan dengan sendirinya. Aku menghentikan motorku dan menjerit kencang tanpa sadar apa yang aku ucapkan.

Orang-orang mulai terlihat jarang. Aku mulai melihat keluargaku. "Cepat Bang, Kak Evi di belakang," kata mereka. Akhirnya aku menemukan istriku, yang tidak mampu berlari, hanya berjalan sambil menangis dan dia merupakan orang terakhir yang berlari di antara ratusan terakhir orang yang telah berlari. "Cepat naik," kataku.



Sekilas sebelum aku memutar motorku, saat itulah aku melihat air berwarna hitam di belakangku. Seorang laki-laki, sedikit lebih tua dariku, mengendong anak balitanya terseret sangat cepat. Air tersebut tidak menujuku, tetapi karena jalan tersebut merupakan jalan bersimpang empat, air tersebut datang melintang dengan jalan di mana aku berdiri. Tanpa pikir panjang aku segera memacu motorku dan aku bertemu dengan keponakan ku. "Naik," kataku, diapun naik. Aku memacu lagi dan bertemu dengan adikku tapi motorku sudah tak memungkinkan untuk dinaiki seorang lagi. Sebuah mobil melintas, aku menghentikannya bermaksud untuk menaikkan adikku. Tapi mobil itu tidak mengindahkan. Belakangan aku melihat mobil itu terbalik di sapu air.

Akhirnya adikku di bagian depan motor. Jadilah kami di motor berempat. Suasana mencekam. Aku masih berusaha mencari keluargaku dan meminta mereka mengikutiku. Aku menengok ke belakang. Aku melihat gumpalan air hitam mulai menuju kami.

Aku melihat rumah mewah berlantai dua di depan. Aku sadar tak mungkin lagi aku memacu motor lebih kencang lagi. Aku dan ratusan orang berlari menuju rumah itu. Seseorang keluar dari rumah itu, mengunci pintunya bermaksud lari keluar namun kucegah. "Jangan keluar lagi bang, sudah tidak sempat lagi," kataku. Di terlihat bingung.

Aku berteriak, "Cepat buka pintu ini kalau tidak aku dobrak!". Lelaki itu mau tak au memenuhi permintaanku. Saking paniknya, dia tak juga menemukan kunci yang pas. Bukan keluargaku saja di situ saat itu, ada sekitar lima belas orang yang sebagian besar ibu-ibu. Semua panik, dan berteriak, "Cepat-cepat!"

Akhirnya pintu itu terbuka dan kami segera naik bersama-sama ke lantai atas. Sampai di atas aku pergi ke balkon rumah itu dan ternyata air sudah hampir mencapai balkon itu. Ini hanya kurang dari 5 menit dari saat kami masuk ke dalam rumah. Kami melihat dengan mata kepala sendiri orang-orang yang hanyut di depan rumah tersebut, mobil-mobil bak kotak korek api yang terbalik-balik, dinding-dinding rumah yang telah jebol dihantam benda-benda yang terbawa arus air. aku terduduk, tidak ada yang bisa kami lakukan, selain istighfar dan terus berdoa.

Aku terdiam, setidaknya aku merasa bahwa kami sudah aman, tapi ternyata tidak, setelah kami di atas, terjadi lagi gempa, mungkin sekitar lima menit sekali kami merasakan gempa berulang kali, saat itulah aku pasrah, seakan menunggu saat-saat rumah itu akan runtuh, aku memeluk istri dan adik-adik ku sambil berkata, "Kalau memang kita harus mati di sini, berarti di sinilah ajal kita." Beberapa ibu-ibu yang bersama kami jatuh pingsan, selebihnya hanya duduk sambil menangis dan berdzikir, aku terbayang akan masih banyaknya dosa-dosaku dan menyesali kurangnya ibadahku.

Tiga jam kemudian, keadaan mulai tenang. Kami semua yang berada di rumah tersebut selamat atas pertolongan Allah. Peristiwa tersebut sampai saat ini tidak akan pernah terlupakan. Tujuh dari keluarga dekat kami menghadap Ilahi atas peristiwa itu, kami juga kehilangan rumah dan harta benda, saat itu hanya pakaian yang melekat dibadan harta satu-satunya.

*dikisahkan oleh Riza Erwin, staf kantor Gubernur Aceh, di Banda Aceh

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags