Brilio.net - Pendidikan tinggi selama ini dianggap sebagai kunci untuk membuka peluang kerja dan meningkatkan taraf hidup. Bahkan, seringkali pendidikan tinggi ini dijadikan komoditi dalam pencalonan pejabat negeri. Misalnya saja nih, saat ada wacana satu keluarga miskin satu sarjana. Artinya, kuliah dan melanjutkan pendidikan tinggi merupakan kunci dalam memperbaiki taraf ekonomi. Anggapan ini tentu tak salah, karena memang banyak pekerjaan yang menyaratkan untuk menempuh pendidikan tinggi.
Namun, fakta di lapangan kadang justru berkata sebaliknya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hampir 1 juta lulusan universitas di Indonesia, tepatnya 871 ribu lebih orang, masih menganggur. Angka ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah sistem pendidikan tinggi kita telah gagal menyiapkan lulusan yang kompetitif?
BACA JUGA :
Kenaikan gaji guru Rp 2 juta disalahartikan, anggaran pemerintah tahun depan tak cukup beri tunjangan
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri menyoroti masalah ini. Dalam pernyataannya baru-baru ini, Mendikti mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi pendidikan tinggi yang kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Ia menegaskan perlunya evaluasi kurikulum, kolaborasi dengan industri, dan adaptasi pendidikan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Kalau dulu lebih banyak (jurusan) pendidikan tinggi itu diadakan atas kemauan dari dosennya. Sekarang kita balik, kita dorong apa yang menjadi kebutuhan dari masyarakat. Sesuaikanlah pendidikan tersebut dengan kebutuhan dari masyarakat, ujar Mendikti Satryo Soemantri dalam rapat kerja bersama Komite III DPD RI yang dilansir brilio.net, Rabu (4/11).
BACA JUGA :
Kemendikdasmen wajibkan guru kuasai pendidikan karakter dan BK, cegah kekerasan dan kenakalan remaja
foto: freepik.com
Banyak pihak menilai bahwa masalah ini terjadi akibat ketimpangan antara kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja. Kurikulum yang sering kali bersifat teoretis dinilai tidak relevan dengan realitas dunia industri. Hal ini diperburuk oleh minimnya kerja sama antara kampus dan perusahaan, seperti program magang atau pelatihan kerja yang komprehensif.
Selain itu, jurusan yang dibuka sering kali lebih mencerminkan minat dosen atau institusi, bukan kebutuhan pasar kerja. Akibatnya, lulusan menghadapi persaingan ketat di dunia kerja dengan keterampilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Mereka (universitas) tidak menyadari bahwa kurikulum (pendidikan tinggi) terutama di Indonesia itu tujuannya bukan menghasilkan pengusaha. Tujuannya menghasilkan seorang ilmuwan, makanya semua ilmu yang dicekokin itu adalah tujuannya supaya nanti setelah dia lulus S3 menjadi seorang ilmuwan, ungkap Purwa Hartono, founder Purwadhika Digital School, dalam sebuah wawancara yang membahas mengenai faktor mengapa banyak sarjana yang menganggur, dilansir brilio.net, Rabu (4/11).
Dalam wawancara tersebut, ia juga menekankan pentingnya mengubah kurikulum dalam perguruan tinggi lantaran kurikulum yang ada saat ini cenderung membentuk orang menjadi ilmuwan dibanding lulusan yang siap kerja dengan bekal keterampilan mumpuni. Hal itu menurutnya juga menjadi faktor penting yang membuat sarjana jadi banyak yang menganggur, pasalnya, perusahaan cenderung merekrut tenaga kerja terampil. Hal ini juga dibuktikan dengan angka pengangguran dari para diploma terapan yang cenderung lebih rendah dibanding lulusan sarjana.
foto: freepik.com
Pemerintah melalui Mendikti berencana mengubah paradigma pendidikan tinggi dengan mendorong kampus untuk fokus pada kebutuhan pengguna, yaitu industri dan masyarakat. Evaluasi kurikulum menjadi prioritas utama, diikuti dengan peningkatan kolaborasi antara perguruan tinggi dan sektor industri.
Namun, upaya ini tentu tidak mudah. Sistem birokrasi yang kompleks, resistensi dari akademisi, hingga kesenjangan akses pendidikan di wilayah rural menjadi tantangan besar. Apalagi, mengubah kurikulum pendidikan tinggi tidak hanya membutuhkan waktu, tetapi juga sumber daya yang memadai.
Kami memastikan perguruan tinggi ada untuk memenuhi kebutuhan dari pengguna (industri kerja), tegas Mendikti.
Tingginya angka pengangguran lulusan universitas mencerminkan adanya ketidakseimbangan serius antara pendidikan dan kebutuhan industri. Pernyataan Mendikti memberikan secercah harapan, tetapi implementasi kebijakan ini memerlukan komitmen kuat dari semua pihak.
Bagaimana menurutmu? Apakah kebijakan baru ini cukup menjawab permasalahan pengangguran lulusan universitas? Adakah solusi lain yang menurutmu bisa diterapkan?