Brilio.net - Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) digadang-gadang jadi "jalur cepat" menuju dunia kerja. Tapi, ironisnya, justru lulusan SMK yang paling banyak menghuni statistik pengangguran di Indonesia. Ibarat motor balap yang mesinnya bermasalah, sistem pendidikan vokasi kita seperti kehilangan taji di arena kompetisi kerja.
Bayangkan, belasan jurusan ditawarkan, dari teknik hingga tata boga, tapi sebagian besar berakhir jadi teori tanpa praktik nyata. Banyak yang mengeluhkan minimnya fasilitas di sekolah, bahkan magang pun lebih sering jadi formalitas ketimbang pengalaman kerja sebenarnya. Ibarat, tanpa oli berupa pelatihan terkini dan link kuat ke dunia industri, para lulusan SMK tersingkir sebelum balapan dimulai.
BACA JUGA :
Data BPS: Waktu tunggu lulusan SMK dapat panggilan kerja rata-rata lebih dari 1 bulan
foto: vokasi.kemdikbud.go.id
Belum lagi soal kurikulum yang sering kedaluwarsa, kalah gesit dengan teknologi yang terus bergerak maju. Perusahaan butuh tenaga kerja yang paham AI dan digitalisasi, sementara beberapa SMK masih sibuk berkutat di mesin manual.
BACA JUGA :
Lulusan SMK penyumbang angka pengangguran terbesar, sertifikasi bahasa asing jadi solusinya?
Jika sistem ini dibiarkan, angka pengangguran akan terus melambung. SMK seharusnya menjadi bengkel yang melahirkan tenaga ahli, bukan sekadar pabrik ijazah.
Angka pengangguran Indonesia per Agustus 2024 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) menyentuh angka 7,74 juta. Dari jumlah itu, lulusan SMK kembali mencetak rekor sebagai penyumbang pengangguran terbesar dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 9,01 persen.
Menurut informasi yang didapat Brilio.net, Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS, Ali Said, membuka fakta menarik. Dalam sebuah diskusi santai di Kantor Kemendikbudristek Jakarta pada Jumat (29/11), Ali mengungkapkan tiga jurusan SMK yang dominan menyumbang angka pengangguran tertinggi.
Menurut Ali, juaranya adalah Teknik Otomotif. Posisi kedua, Teknik Komputer dan Informatika, dan ketiga, Teknik Mesin.
"Saya sampaikan juga bahwa ternyata ada yang pertama adalah Teknik Otomotif, yang kedua Teknik Komputer dan Informatika, yang ketiga Teknik Mesin," ujarnya.
Bukan tanpa alasan, jurusan-jurusan ini memang favorit para pelajar. Tapi ada ironi di sini. Ternyata tingginya minat tidak berbanding lurus dengan peluang kerja.
Ali juga menggarisbawahi masalah persaingan. Saat pelamar kerja bertarung memperebutkan posisi yang sama, lulusan perguruan tinggi sering kali diunggulkan.
"Bersaing dengan (tenaga kerja) dari perguruan tinggi di jurusan itu, yang mungkin lebih matang ya. Itu penyumbang pengangguran terbesar di SMK," ungkapnya.
Selain itu, Ali menyoroti isu mendasar. Banyak lulusan SMK tidak langsung tersalurkan ke dunia usaha atau industri. Ini seolah menggarisbawahi fakta bahwa ada jarak lebar antara pelajaran di sekolah dan kebutuhan nyata industri.
"Kalau apa yang diambil jurusan SMK tidak langsung disalurkan. Nah itu yang jadi tantangan," tambahnya.
Pernyataan ini diperkuat penelitian dalam Journal Innovation in Education berjudul Missmatch Industri Dan SMK. Penelitian ini menyoroti adanya missmatch alias ketidakcocokan antara pembelajaran di SMK dan kebutuhan industri.
Studi ini menemukan tiga masalah utama. Pertama, kurikulum SMK yang tertinggal dari kemajuan industri. Kedua, minimnya wawasan dunia kerja pada siswa. Ketiga, keterampilan praktis yang belum optimal.
foto: vokasi.kemdikbud.go.id
Mulai dari penyelarasan kurikulum dengan tren industri hingga pelibatan langsung perusahaan dalam program magang. Tujuannya sederhana, SMK harus kembali ke track-nya sebagai pencetak tenaga kerja siap pakai, bukan malah jadi pabrik pengangguran.
Ditambah lagi, kurikulum yang diajarkan di SMK belum banyak yang memperhitungkan perkembangan terkini dalam industri. Tentu saja ini dapat menyebabkan lulusan SMK tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Terkadang, lulusan SMK tidak memilih jurusan atau program yang sesuai dengan minat atau kebutuhan industri. Ini bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang pasar kerja atau faktor-faktor lain yang memengaruhi pilihan karier.
Mampukah SMK berubah jadi garda terdepan penyedia tenaga kerja berkualitas?