Brilio.net - "Rakyat harus punya kebebasan memikirkan dan memperdebatkan masa depan." Begitu kata Indonesianis Max Lane pada diskusi publik 'Mengembalikan Reformasi Yang Kita Mau', memperingat 44 tahun peristiwa Malari dan 18 In-Demo di Gedung University Club UGM, Senin (15/1). Max Lane hadir sebagai pembicara bersama beberapa tokoh lainnya, Ari Sujito (akademisi UGM), Max Lane (Indonesianis dari Australia), Daniel Dhakidae (jurnalis senior), Bhima Yudhistira (ekonom Indef), Cak Nun (budayawan).
Sosok Max Lane tidak bisa dipisahkan dari perjuangan Indonesia menuju reformasi. Max, biasa ia disapa, selalu mendukung pergerakan dan perlawanan untuk demokrasi. Selain itu, Max merupakan orang pertama yang mengenalkan karya sastra yang ditulis Pramoedya Ananta Toer kepada dunia.
BACA JUGA :
15 Potret Solo zaman dulu, mulai warung opium legal sampai kereta kuno
Max Lane juga merasa punya tanggung jawab, bagaimana perkembangan reformasi ke depan. Menurutnya syarat yang harus dipenuhi adalah kembali ke rakyat Indonesia sendiri, bisa menentukan nasib sendiri, memikirkannya, membayangkannya, menganalisanya, merumuskannya, dan menurutnya harus ada kebebasan yang sepenuhnya.
"Rakyat harus punya akses kepada informasi tentang keadaan negerinya, kalau nggak punya akses bagaimana bisa ambil kesimpulan. Itu satu, kebebasan untuk memikirkan dan memperdebatkan masa depan," kata Max Lane.
Selain itu, yang kedua rakyat harus punya organisasi sendiri, mahasiswa harus mulai kembali berperan menjadi pelopor. Buat Max, pelaku perubahan yang bisa membuat Indonesia maju itu adalah mereka-mereka yang di bawah umur 25 tahun.
BACA JUGA :
Sebelum Gunung Agung, ini 5 letusan gunung paling dahsyat di Indonesia