Brilio.net - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini mendukung usulan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengenai pendirian sekolah khusus untuk anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
"Jangan sampai mereka malah dikeluarkan dari sekolah. Kalau bisa kita beri atensi khusus, kalau bisa dibangunkan sekolah khusus untuk mereka. Ini idenya Pak Menteri ya, bukan ide saya. Dan ini saya kira ide yang sangat baik," kata Wapres saat memberi arahan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Evaluasi Pendidikan Dasar dan Menengah.
BACA JUGA :
Mendikdasmen serius akan terapkan pelajaran Matematika sejak TK, begini rencana finalnya
foto: YouTube/Wakil Presiden Republik Indonesia
Langkah ini dianggap sebagai upaya pemerintah untuk memberikan perhatian lebih kepada anak-anak yang mengalami trauma akibat kekerasan, agar mereka tetap mendapatkan pendidikan yang layak di lingkungan yang aman dan mendukung pemulihan psikologis mereka. Namun, meskipun usulan ini mendapat apresiasi, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan agar program ini benar-benar memberikan manfaat optimal bagi anak-anak yang terdampak.
BACA JUGA :
Mendikdasmen ingin bangun sekolah khusus untuk korban kekerasan, cegah pelajar putus sekolah
Siti Zoura Humaira, pegiat pendidikan sekaligus aktivis dari Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Saranglidi), memberikan tanggapan terhadap usulan tersebut.
Ia menyatakan bahwa gagasan ini sangat positif, karena memberikan solusi konkret untuk anak-anak yang membutuhkan perhatian lebih setelah mengalami kekerasan.
"Sekolah khusus bagi anak-anak korban kekerasan adalah langkah yang tepat, karena mereka membutuhkan lingkungan yang aman untuk bisa pulih dan melanjutkan pendidikan tanpa merasa diasingkan atau diberi label negatif," ujar Siti Zoura lewat pesan singkat kepada Brilio.net.
Meski begitu, ia juga mengingatkan pentingnya beberapa hal yang harus dipikirkan lebih lanjut agar ide ini berjalan sesuai dengan tujuan awalnya.
Menurut Siti Zoura, salah satu hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah mekanisme identifikasi anak-anak yang layak untuk dimasukkan ke sekolah khusus ini. Proses identifikasi harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh empati, karena tidak semua anak yang mengalami kesulitan dalam belajar atau berperilaku buruk berasal dari latar belakang kekerasan.
"Harus ada prosedur yang jelas untuk memastikan bahwa hanya anak-anak yang benar-benar mengalami trauma akibat kekerasan yang akan diterima di sekolah khusus ini. Jangan sampai ada anak yang salah dikategorikan, atau malah ada anak yang benar-benar membutuhkan bantuan justru tidak terdeteksi," tambahnya.
Proses identifikasi yang jelas dan berbasis pada bukti juga penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kebijakan, seperti memindahkan anak-anak yang tidak seharusnya bersekolah di tempat tersebut.
Selain itu, Siti Zoura juga mengingatkan agar sekolah khusus ini tidak menambah stigma terhadap anak-anak korban kekerasan. Anak-anak tersebut, meskipun mengalami trauma, tetap memiliki hak untuk merasakan martabat dan kepercayaan diri seperti anak-anak lain pada umumnya. Jika tidak hati-hati, anak-anak bisa merasa terasing dan malu karena dianggap "bermasalah" hanya karena bersekolah di tempat yang berbeda.