Brilio.net - Bekerja di Jepang ternyata tidak seindah yang kita bayangkan. Dunia kerja di sana sangat keras. Pekerja sangat berdedikasi dalam melakukan pekerjaannya. "Bagi masyarakat Jepang, bekerja tanpa mengenal waktu adalah sebuah nilai budaya," kata Kotaro Tamura, peneliti di institut Milken dan mantan senator dan sekretaris parlemen di kabinet Jepang dikutip dari NBC.
Budaya ini memicu stres bagi karyawan. Bahkan kematian akibat terlalu banyak bekerja mendapat lema tersendiri di Jepang. Lema 'Karoshi' diakui di Jepang sebagai sebutan untuk meninggal karena kebanyakan kerja.
BACA JUGA :
Dwi Hartanto dan kebohongan kaum terpelajar, apa motifnya?
Salah satu korban dari karoshi baru-baru ini adalah Matsuri Takahashi. Wanita yang baru berusia 24 tahun akhirnya bunuh diri pada tahun 2015 karena tekanan kerja. Dalam penyelidikan, Matsuri ternyata bekerja lebih dari 100 jam sebulan sebelum kematiannya. Kematian wanita ini menjadi fokus masyarakat Jepang tentang Karoshi.
foto: Japantimes
BACA JUGA :
Kenapa media asing ragukan Jokowi menang mutlak di Pilpres 2019?
Dikutip dari Japantimes, Presiden Dentsu tempat Matsuri bekerja, Tadashi Ishii divonis bersalah dan harus membayar 500,000 atau setara dengan Rp 60 juta. Angka ini memang terlihat sepele, tapi sekarang Dentsu, Inc berada di bawah pengawasan pemerintah dan diharuskan untuk membuat kebijakan yang meringankan beban kerja karyawan.
Sebuah survei di Jepang digelar untuk meneliti fenomena Karoshi ini. Perdana Menteri Shinzo Abe juga mendukung survey ini sebagai upaya untuk mengurai budaya kerja ini. Dikutip dari theguardian, survei yang dilaksanakan antara bulan desember 2015 sampai januari 2016 ini mendapatkan hasil yang menyedihkan. Menurut survei tersebut, 22,7% dari karyawan perusahaan responden bekerja selama 80 jam di atas jam kerja biasa. Survei itu juga menyebutkan bahwa 1 dari 5 pekerja di Jepang berpotensi menjadi korban dari Karoshi.
foto: Japantimes
Menariknya lagi, budaya ini sudah mendarah-daging di masyarakat Jepang. Pemerintah sendiri sudah mencoba berbagai cara untuk mengurangi jam kerja karyawan. Salah satu dari program tersebut bernama 'Premium Friday' yang diluncurkan pada bulan Februari 2017. Program nasional ini memberi peluang terhadap karyawan untuk pergi meninggalkan kantor pada pukul 15.00. Menariknya lagi, beberapa perusahaan bahkan memberikan bonus senilai 3,200 yen atau Rp 384 ribu.
Bagaimana reaksi karyawan?
Salah satu perusahaan yang mengikuti program 'premium friday' adalah Sunny Side Up. Perusahaan iklan ini memberikan bonus untuk karyawan agar mau pulang cepat. "Di budaya bekerja Jepang, kita bekerja sangat keras dan lama sehingga jarang orang mau pulang cepat," kata kepala departemen komunikasi global, Ryuta Hattori kepada BBC.
foto: Pinterest
Tak mempan, Dentsu, Inc bahkan mencoba untuk mematikan lampu di kantornya setiap jam 10 malam. Dilansir dari Financial Times, langkah ini tak membuahkan hasil karena beberapa karyawan mengakalinya dengan menggunakan lampu meja. Walaupun sudah berada dalam pengawasan pemerintah, Dentsu, Inc masih kesulitan untuk mengubah budaya kerjanya.
Banyaknya hadiah dan keuntungan yang didapat dengan pulang cepat tidak menggoda pekerja Jepang untuk istirahat sejenak. Bagi mereka, mendedikasikan diri mereka dalam pekerjaan sudah menjadi nilai budaya. Tekanan dari perusahaan dan masyarakat membuat pekerja di Jepang sangat rentan menjadi korban dari Karoshi.