Brilio.net - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh serta sejumlah federasi serikat pekerja mengenai uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Kamis (31/10), MK memutuskan untuk menerima sebagian permohonan pemohon dalam perkara dengan nomor 168/PUU-XXI/2023.
Setidaknya 21 norma dalam UU Cipta Kerja dinyatakan konstitusional untuk diuji, sementara satu pasal tidak diterima, dan permohonan lainnya ditolak karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Permohonan ini diajukan oleh Partai Buruh bersama Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), serta Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
BACA JUGA :
Ribuan buruh unjuk rasa kawal putusan judicial review UU Cipta Kerja, pahami istilah dan prosedurnya
Para pemohon mengajukan total 71 poin yang terbagi dalam tujuh klaster utama, termasuk isu tenaga kerja asing (TKA), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja outsourcing, hak cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga uang pesangon dan penghargaan masa kerja. Nah, berikut brilio.net himpun dari berbagai sumber, Jumat (1/11), 12 poin penting dari putusan MK terkait gugatan ini.
1. Pemisahan UU Ketenagakerjaan.
foto: freepik.com
BACA JUGA :
Pesona 9 anak anggota DPR yang terkenal, putri Puan Maharani disorot
MK memerintahkan agar undang-undang ketenagakerjaan dipisahkan dari UU Cipta Kerja. MK menilai bahwa norma-norma terkait ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja terlalu sulit dipahami masyarakat umum, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menciptakan ketidakadilan yang berkepanjangan.
2. Prioritas tenaga kerja Indonesia.
MK menegaskan bahwa tenaga kerja asing hanya boleh bekerja untuk jabatan dan waktu tertentu, sesuai dengan kompetensinya. Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja kini memuat klausul tambahan yang menekankan penggunaan tenaga kerja Indonesia sebagai prioritas.
3. Penegasan durasi PKWT.
MK mengembalikan batas durasi kontrak kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi maksimal 5 tahun, termasuk perpanjangan. Hal ini diatur agar para pekerja/buruh tetap mendapatkan hak atas pekerjaan yang layak.
4. Pembatasan jenis outsourcing.
MK meminta agar pemerintah menentukan jenis dan bidang pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing). Hal ini bertujuan memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi pekerja dan memastikan perjanjian outsourcing hanya berlaku untuk pekerjaan yang telah disepakati dalam kontrak.
5. Opsi libur dua hari dalam seminggu.
foto: freepik.com
MK mengembalikan opsi untuk libur dua hari dalam seminggu bagi pekerja. Sebelumnya, UU Cipta Kerja hanya menetapkan satu hari libur dalam seminggu tanpa pilihan lain.
6. Upah mengandung komponen hidup layak.
MK menegaskan bahwa aturan mengenai pengupahan harus mempertimbangkan komponen hidup layak. Hal ini mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
7. Pengaktifan kembali dewan pengupahan.
Dewan pengupahan yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja kini dihidupkan kembali oleh MK. Dewan ini harus melibatkan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan upah agar tidak hanya bergantung pada pemerintah pusat.
8. Skala upah proporsional.
Frasa "yang proporsional" ditambahkan dalam penentuan struktur dan skala upah untuk memastikan upah mencerminkan kontribusi tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi daerah.
9. Pemberlakuan upah minimum sektoral (UMS).
foto: freepik.com
MK memutuskan bahwa upah minimum sektoral perlu diberlakukan kembali. Penghapusan UMS dalam UU Cipta Kerja dinilai menghilangkan perlindungan bagi pekerja di sektor tertentu yang memiliki risiko kerja yang berbeda.
10. Peran serikat pekerja dalam penentuan upah.
Frasa "serikat pekerja/buruh" dikembalikan dalam aturan pengupahan. Hal ini berarti kesepakatan pengupahan di atas upah minimum harus melibatkan serikat pekerja, tidak hanya melalui kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.
11. PHK hanya setelah putusan inkrah.
MK menetapkan bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah ada putusan hukum yang berkekuatan tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Proses PHK harus melalui musyawarah mufakat terlebih dahulu antara pekerja dan perusahaan.
12. Batas bawah uang penghargaan masa kerja (UPMK).
MK mengoreksi pasal dalam UU Cipta Kerja mengenai uang penghargaan masa kerja (UPMK). Pasal ini kini harus dipahami bahwa nominal UPMK adalah batas minimum, dan perusahaan tidak boleh memberikan kurang dari nominal tersebut.