Brilio.net - Lonjakan kasus penularan Covid-19 ternyata masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Terlebih, kabar soal Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa kembali terinfeksi Covid-19 juga baru-baru ini menjadi perbincangan hangat. Pasalnya kasus ini akan membuka kewaspadaan terhadap reinfection (infeksi ulang) Covid-19.
Profesor neurologi klinis di MU School Of Medicine, Adnan I. Qureshi, MD, mengungkapkan jika pasien yang terpapar Covid-19 kemungkinan besar akan mengalami hal yang serupa.
BACA JUGA :
Khofifah Indar Parawansa positif Covid-19 untuk kedua kalinya
"Di sini adalah bahwa infeksi ulang Covid-19 setelah kasus awal mungkin terjadi, dan durasi kekebalan yang diberikan oleh infeksi awal tidak sepenuhnya jelas," terangnya, dilansir brilio.net pada Jumat (25/6).
Lebih lanjut, berikut ulasan soal kasus reinfection Covid-19 serta penyebabnya, seperti dirangkum brilio.net dari berbagai sumber pada Jumat (25/6).
Adanya mutasi virus.
BACA JUGA :
Cara mudah cek ketersediaan tempat tidur pasien Covid-19 di RS
foto: pixabay.com
Reinfection Covid-19 ini juga bisa terjadi karena adanya mutasi virus. Centers for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat menyatakan bahwa ilmuwan hanya mengandalkan analisis genom dari sampel virus untuk meneliti kasus ini. Analisis genom adalah prosedur yang rumit dan membutuhkan waktu dan usaha. Sampel dari hanya beberapa pasien yang dipilih secara acak dikirim untuk analisis genom untuk mempelajari sifat dan perilaku virus.
Namun karena virus bermutasi terus menerus, urutan genom dari kedua sampel akan memiliki beberapa perbedaan. Artinya ketika seseorang dites positif untuk kedua kalinya, dan harus diperiksa untuk infeksi ulang, biasanya tidak ada urutan genom dari infeksi sebelumnya untuk dibandingkan. Hingga kini, studi soal infeksi ulang Covid-19 ini masih terus dilakukan.
Penyakit penyerta orang yang terkena Covid-19 dua kali.
foto: pixabay.com
Dari studi baru yang dicetak pada 13 Juni di medRxiv, terdapat 23 pasien terinfeksi ulang yang diteliti. Hasilnya ada 96 persen dari pasien yang terinfeksi ulang ini memiliki dua atau lebih penyakit penyerta, yaitu adanya penyakit atau kondisi medis secara bersamaan dalam diri seorang pasien. 70 persen pasien memiliki hipertensi, 26 persen memiliki penyakit kardiovaskular, fibrilasi atrium, atau penyakit ginjal kronis, dan 22 persen memiliki diabetes tipe 2 atau riwayat tromboemboli vena atau antikoagulasi jangka panjang.
Para peneliti juga menemukan bahwa 61 persen dari pasien yang terinfeksi ulang memiliki kelebihan berat badan atau obesitas, 83 persen memiliki kondisi kekebalan yang membahayakan, dan 83 persennya adalah perokok. Sementara usia rata-rata pasien yang terinfeksi ulang adalah sekitar 64 hingga 65 tahun.
"Berdasarkan apa yang kami ketahui dari virus serupa, beberapa infeksi ulang diperkirakan terjadi. Kami masih mempelajari lebih lanjut tentang Covid-19," kata CDC dalam sebuah pernyataan di situs webnya. Namun, mereka menambahkan bahwa sementara kasus reinfeksi Covid-19 telah dilaporkan, hal tersebut jarang terjadi.
Orang yang sudah vaksin masih bisa terinfeksi Covid-19.
foto: pixabay.com
Pemerintah sudah memberikan kebijakan soal pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro di berbagai daerah serta program vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai sejak Januari 2021 lalu. Saat ini memang vaksin dinilai menjadi salah satu upaya terbaik untuk mencapai kekebalan komunal, sehingga tidak ada lagi yang terpapar Covid-19.
Namun tak ada jaminan seseorang yang sudah divaksinasi, tidak akan terinfeksi Covid-19 lagi. Dilansir brilio.net dari The New York Times pada Jumat (25/6), bahkan orang yang sudah di vaksin pun masih memiliki risiko untuk kembali terinfeksi. "Ya, ini akan terjadi, tidak biasa tetapi akan terjadi," kata Dr. Sandro Galea, dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Boston. Hal ini terjadi karena efikasi vaksinasi ini tak sampai 100 persen. Efikasi adalah persentase penurunan kejadian penyakit pada kelompok orang yang divaksinasi.
Lebih lanjut, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultasi Alergi Imunologi, dr Gatot Soegiarto menjelaskan bahwa efikasi vaksinasi ini tak sampai 100 persen. Efikasi adalah persentase penurunan kejadian penyakit pada kelompok orang yang divaksinasi.
Selain itu, reinfection ini juga bisa terjadi karena adanya mutasi virus. Bila herd immunity karena vaksinasi ini tidak tercapai, penularan akan terus terjadi. Dan kalau penularan terus terjadi, potensi mutasi virus juga akan terus terjadi.