Brilio.net - Keputusan pemindahan ibu kota negara telah disepakati oleh Presiden Jokowi. Setelah berbincang dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, Jokowi setuju ibu kota dipindah di luar Jawa. Masterplan pemindahan tersebut segera dibahas lebih lanjut dalam pertemuan lanjutan.
Kabar akan dipindahkannya ibu kota tentu menyita perhatian masyarakat. Banyak yang bertanya mengenai besaran biaya untuk pemindahan serta dari mana asal biayanya?
BACA JUGA :
Jika ibu kota jadi dipindahkan, ini yang terjadi pada Jakarta
Sejauh ini Bappenas telah mengusulkan dua skema pemindahan, yaitu skema rightsizing dan tidak. Dengan skema rightsizing, biaya yang diperlukan sekitar Rp 323 triliun dan untuk skema non-rightsizing sekitar Rp 466 triliun.
Dilansir dari Antara, Selasa (30/4), Bambang Brodjonegoro mengungkapkan estimasi biaya yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru seluas 40 ribu hektare di luar Pulau Jawa membutuhkan sekitar Rp 466 triliun.
"Kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan tadi di mana skenario satu diperkirakan sekali lagi akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun atau USD 33 miliar, " kata Bambang.
BACA JUGA :
Maria Ozawa: Happy fasting bosku, selamat berpuasa...
Luas lahan 40 ribu hektare dibutuhkan jika jumlah penduduk mencapai 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif serta pelaku ekonomi dan anggota TNI dan Polri turut migrasi ke ibu kota baru.
"Dengan penduduk 1,5 juta di mana pemerintahan akan membutuhkan 5 persen lahan, ekonomi 15 persen, sirkulasi infrastruktur 20 persen, permukiman 40 persen dan ruang terbuka hijau 20 persen. Diperkirakan dibutuhkan lahan minimal 40 ribu hektare untuk membuat ibu kota baru, itu skenario yang pertama," ujarnya.
Sementara untuk skenario kedua dengan keperluan luas lahan yang lebih kecil, yakni 30.000 hektare, dikalkulasi membutuhkan biaya Rp 323 triliun atau 23 miliar dolar AS.
Untuk skenario kedua, jumlah orang yang bermigrasi yakni 870.000 jiwa terdiri dari aparatur sipil negara kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif, aparat TNI dan Polri, dan pelaku ekonomi.
Bambang dalam jumpa pers juga menjelaskan arahan Presiden Joko Widodo terkait pembiayaan yakni membuat skema yang tidak memberatkan APBN dan melibatkan partisipasi pihak ketiga dengan kendali penuh di pemerintah.
"Sudah dikonfirmasi oleh Ibu Menteri Keuangan bahwa biayanya ini masih dalam batas yang wajar karena kita bisa melakukan kerja sama baik dengan BUMN, swasta secara langsung, maupun kerja sama dalam bentuk KPBU (Kerja sama Pemerintah-Badan Usaha), baik untuk prasarananya, infrastrukturnya, baik untuk gedung-gedung kantor, maupun fasilitas pendukung komersial dan juga untuk wilayah permukiman," kata Bambang.
Bambang Brodjonegoro menyatakan, sumber dana pemindahan ibu kota berasal dari APBN, BUMN, perusahaan swasta dan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
"Adapun untuk APBN akan kita minimalkan hanya untuk membiayai infrastruktur dasar. Kami upayakan agar tidak memberatkan APBN," papar Bambang.
Sementara untuk rinciannya, APBN nantinya dialokasikan untuk membangun infrastruktur dasar seperti fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen. Dana dari BUMN akan digunakan untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial.
Sementara dari skema KPBU, dana akan digunakan untuk beberapa infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Untuk perusahaan swasta, murni dialokasikan untuk properti perumahan dan fasilitas sosial.
Dikutip dari Liputan6.com, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan bahwa kota di Kalimantan menjadi lokasi yang cocok jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) benar-benar menginisiasi rencana pemindahan ibu kota. Ali menjelaskan ada beberapa alasan yang membuat kota di Kalimantan cocok sebagai lokasi ibu kota baru.
Indonesia akan memiliki kota pemerintahan dan kota bisnis yang terpisah seperti Amerika Serikat (AS) dan China apabila ibu kota negara jadi berpindah. Namun, ia menyoroti biaya yang harus dikeluarkan jika pemerintah hendak berpindah rumah.
"Jakarta pasti tetap sebagai kota bisnis. Yang harus dipikirkan masalah biaya yang sangat tinggi dan pembentukannya harus terencana dengan baik. Jangan seperti Jonggol yang berhenti di tengah jalan," kata Ali Tranghanda.
Dia menilai, pemerintah harus menjalankan proses politik yang sangat matang guna merealisasikan rencana pemindahan Ibu Kota tersebut. Selain itu, komitmen pemerintah pada keinginan pemindahan ibu kota juga harus dipastikan dapat berjalan berkesinambungan (sustain).
"Kan tidak tahu juga apakah ketika Presidenya ganti, kemudian kebijakannya akan tetap terus berjalan. Perlu ada kepastian jika ada perubahan kepengurusan maka kebijakan juga bisa on going," ujar Ali Tranghanda.
Meski masih mempertanyakan, dirinya menilai kebijakan ini sebaiknya dapat dielaborasi dan dipaparkan lebih jelas oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait komitmen pemerintah kedepan.
"Kita yang penting harus tahu hasil kajian atau grand design dari Bappenas. Kemudian bagaimana pembiayaannya serta komitmen pemerintah maupun MPR/DPR dalam mensokong rencana pemindahan Ibu Kota ini," imbuh Ali Tranghanda.