Brilio.net - Banyak generasi milenial berusaha mencapai pendidikan setinggi-tingginya. Mereka berusaha mendapat pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Menapat gaji besar dan hidup tenang.
Di Amerika, fenomena ini dipicu kebijakan pemerintah yang memberi pinjaman uang untuk membayar biaya kuliah. Pinjaman ini meliputi semua kebutuhan kuliah. Lulusan bisa membayar pelan-pelan ketika mereka sudah bekerja. Pinjaman ini dikenal dengan nama Student Debt.
BACA JUGA :
Produk halal berebut pasar kelas menengah muslim Indonesia
Sementara di Indonesia, keinginan untuk mendapat gaji besar dari pendidikan tinggi dipunyai hampir semua mahasiswa. Saat kuliah, mereka mengangankan lulus dengan hasil nilai bagus dan diterima perusahaan dengan gaji besar.
Sebuah artikel di The Atlantic yang ditulis oleh Rachel M.Cohen melihat bahwa pendidikan nyatanya bukan kunci dari pendapatan besar. Dia mengutip sebuah penelitian dari universitas Berkeley yang dipimpin oleh ekonomis Jesse Rothstein yang berfokus pada faktor pendidikan. Fakta yang dia dapat sangat mengejutkan.
BACA JUGA :
Menggaet pasar milenial dari bisnis menonton
foto: jobmail.co.za
Jesse Rothstein menggabungkan data dari berbagai penelitian di bidang ekonomi dan pendidikan dalam skala nasional Amerika Serikat. Secara umum, Jesse ingin mencari data di mana jika banyak anak yang lulus dari SMA dan mencapai nilai tinggi di ujian akan meningkatkan jumlah pendaftar kuliah. Lulus dari kuliah ini nantinya akan menjanjikan mereka pendapatan setara dengan kelas menengah di Amerika.
Tapi data yang diolah Jesse malah tidak melihat adanya hubungan antara pendidikan dan banyaknya pendapatan. Dia malah melihat bahwa faktor seperti UMR, serikat pekerja, dan jenjang karir yang jelas menjadi faktor penentu untuk mendapatkan pendapatan yang besar. "Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini hanya dengan mengajari masyarakat," ujar Jesse.
Tapi Jesse mengatakan bahwa penelitiannya bukan untuk mengucilkan pendidikan atau mengatakan bahwa pendidikan adalah hal yang percuma. "Pendidikan hanya bagian kecil dari permasalahan ini," ujar Marie Connolly yang berkolaborasi dengan Jesse. Dia melihat bahwa dengan pendidikan, banyak orang akan bisa mengetahui peluang yang ada.
Tapi sistem edukasi tidak menentukan perbedaan dari tingkat pendapatan. "Kualitas pendidikan memang berperan, tapi struktur dari pasar tenaga kerja malah menjadi faktor utama dari tingkat pendapatan," ujarnya.
foto: Shutterstock
Bagaimana dengan Indonesia? Badan Pusat Statistik (BPS) melihat angka pengangguran di Indonesia pada Februari 2017 mencapai 7.01 juta jiwa. Hal ini disebabkan karena tidak cocoknya kebutuhan industri dengan lulusan universitas. "Masyarakat kita itu sebenarnya lebih banyak membutuhkan teknisi daripada akademisi. Akibatnya apa? Sekarang masih banyak sarjana pengangguran, yang dihasilkan dari perguruan tinggi ini adalah yang tidak sesuai dari kebutuhan masyarakat," ujar Anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT), Sofian Effendi dilansir dari Merdeka.
Di Indonesia maupun AS, gelar sarjana tidak menjamin upah besar. Tapi paradigma masyarakat yang menilai pendidikan tinggi menjadi kunci dari gaji besar tetap mengakar kuat. Struktur pasar tenaga kerja yang sehat, skill pekerja yang mumpuni, dan serikat pekerja yang baik menjadi acuan untuk mendapatkan gaji besar. Walaupun hal ini terasa sulit, setidaknya gaji yang ada mencukupi untuk kehidupan sehari-hari.