Brilio.net - Tsunami yang menerjang Selat Sunda Sabtu (22/12) cukup mengagetkan khalayak. Pasalnya sempat muncul kabar simpang siur mengenai tsunami ini. Bahkan awalnya tsunami ini hanya diduga sebagai gelombang pasang.
Selain itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) belum memberikan peringatan dini adanya tsunami. Alat pendeteksi tsunami hanya bisa mendeteksi aktivitas tektonik.
BACA JUGA :
Cerita istri Herman Seventeen terus diajak ikut ke Tanjung Lesung
"Alat early warning yang kita punya saat ini untuk diakibatkan tektonik, bukan vulkanik. Jadi, karena ini vulkanik, maka tidak ada early warning," ujar Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, dalam jumpa pers di Gedung BMKG, Jakarta, Minggu (23/12).
Akibat kejadian ini, Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho melalui akun Twitter @Sutopo_PN melaporkan, jumlah korban dan kerusakan akibat tsunami di Selat Sunda per 23/12/2018 pukul 16.00 WIB tercatat 222 orang meninggal dunia, 843 orang luka-luka & 28 orang hilang. Kerusakan fisik: 556 unit rumah rusak, 9 unit hotel rusak berat, 60 warung kuliner rusak, 350 kapal-perahu rusak.
Tsunami di Selat Sunda ini ada kaitannya dengan aktivitas Anak Gunung Krakatau yang sangat kuat. Menurut Eddie Dempsey, seorang dosen geologi struktural di School of Environmental Sciences, University of Hull, Inggris Raya, menyatakan bahkan jika sistem peringatan telah ada, alat tersebut tidak akan mungkin memiliki banyak efek.
BACA JUGA :
Alasan early warning system tsunami belum berjalan
"Mereka sangat kuat, sehingga ada sedikit yang bisa dilakukan dari sudut pandang teknik dan ketika peristiwa ini terjadi dekat dengan populasi, tidak ada sistem peringatan dini yang cukup cepat," ujar Eddie Dempsey dilansir Brilio.net dari aljazeera.com Senin (24/12).
Penyebab tsunami ini sangat mungkin akibat tanah longsor karena aktivitas Anak Gunung Krakatau.
"Gunung berapi seperti ini tumbuh sangat cepat, sehingga dapat menjadi sangat tidak stabil secara struktural, menyebabkan keruntuhan dan tanah longsor. Ketika ini terjadi di air, bumi yang bergerak menyebabkan sejumlah besar air dipindahkan, yang mengarah ke tsunami," ujar Eddie Dempsey dilansir Brilio.net dari aljazeera.com Senin (24/12)
Anak Gunung Krakatau dalam beberapa bulan terakhir memang aktivitasnya cukup tinggi.
"Letusan dan kegempaan Gunung Anak Krakatau selama 3 bulan terakhir. Hampir setiap hari Gunung Anak Krakatau meletus. Status tetap Waspada. Radius berbahaya 2 km dari puncak kawah. Gunung Anak Krakatau masih dalam tahap pertumbuhan. Tubuhnya tambah tinggi 4-6 meter per tahun," cuitan Twitter @Sutopo_PN.
Letusan dan kegempaan Gunung Anak Krakatau selama 3 bulan terakhir. Hampir setiap hari Gunung Anak Krakatau meletus. Status tetap Waspada. Radius berbahaya 2 km dari puncak kawah. Gunung Anak Krakatau masih dalam tahap pertumbuhan. Tubuhnya tambah tinggi 4-6 meter per tahun. pic.twitter.com/nclETTyW5y
Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) 24 Desember 2018
Aktivitas Gunung Berapi bagi Indonesia yang berada di Ring of Fire memang akan menjadi ancaman setiap waktu.
"Sedihnya di bagian dunia itu (Indonesia), gunung berapi adalah bahaya sehari-hari, yang sangat membahayakan. Hal utama yang selalu harus diingat di Indonesia adalah bahwa jika melihat sesuatu yang aneh tentang lautan, pergi ke daerah yang setinggi mungkin. Jangan menunggu peringatan. Lakukan saja," jelas Eddie Dempsey dilansir Brilio.net dari aljazeera.com, Senin (24/12).