Brilio.net - Sudah bukan rahasia lagi jika hutan selain bernilai ekologis juga memiliki nilai ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Selain sebagai sumber kehidupan, hutan juga berfungsi sebagai sistem penyangga biodiversitas serta memperbaiki kualitas air dan udara termasuk meredam kenaikan gas rumah kaca yang menjadi pemicu perubahan iklim.
Nah di masa pandemi, pengendalian lingkungan yang memicu perubahan iklim juga punya tantangan lain. Meski selama pandemi sempat terjadi penurunan emisi karena aktivitas ekonomi dan moblitas masyarakat dibatasi, namun pasca pandemi nanti, bisakah kondisi ini dipertahankan? Topik inilah yang mencuat dalam diskusi webinar Earth Day Forum 2021 yang diselenggarakan Katadata, Rabu (21/4).
BACA JUGA :
Peduli lingkungan warisan sejarah bisa dari rumah koq, nih 5 caranya
Karena itu kita mulai dibicarakan skema net zero emision, ini menjadi tantangan. Masalah ini tidak bisa lagi ditangani business as usual, ujar Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam.
Selama ini pemerintah fokus terkait terhadap lingkungan dan perubaan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurutnya, pemerintah telah menyusun prioritas nasional terkait perubahan iklim, lingkungan hidup dan ketahahan nasional. Di dalamya ada target pencapaian emisi.
BACA JUGA :
Kampanye bersihkan udara Jakarta lewat street art mural berlanjut
Arah pembangunan seperti apa, isu perubahan iklim harus diantisipasi betul, karena dampaknya besar. Pemerintah sudah sangat aware bujetnya sudah ada dan rencana implementasinya, ujarnya lagi.
Saat ini sedang diupayakan pembangunan ekonomi dan prioritas pembangunan rendah karbon. Untuk merealisasikannya, perlu dukungan berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah daerah, masyarakat hingga dunia usaha.
Pemerintah juga melalukan sejumlah upaya mitigasi perubahan iklim termasuk pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan yang bertugas memobilisasi dana dalam dan luar negeri untuk membiayai program lingkungan hidup dan berperan besar dalam mencegah deforestasi, mendorong rehabilitasi lahan dan hutan, serta menurunkan emisi.
Direktur Utama BPDLH, Kementerian Keuangan, Djoko Hendratto mengatakan dalam menjalankan tugasnya, BPDLH memiliki beberapa tantangan, salah satunya karena Indonesia saat ini belum memiliki Undang-undang (UU) khusus yang mengatur tentang trustee atau badan atau lembaga penerima dana dan masih mengadopsi UU pasar modal.
Sehingga perlu sering melakukan sosialisasi ke lembaga internasional. Setiap kami mendapatkan donor atau program, kami alokasikan tersendiri. Sehingga setiap langkahnya terkawal dan terpantau, kata Djoko.
Peran hutan sosial
Pengelolaan kawasan hutan sejauh ini menghadapi sejumlah permasalahan, salah satunya, terkait laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia. Nah untuk menjaga kelestarian hutan, pemerintah telah meluncurkan program Perhutanan Sosial sejak 2015. Program ini merupakan pengelolaan hutan berbasis pemberdayaan masyarakat melalui pemberian akses atau izin kelola bagi masyarakat di kawasan hutan.
Program perhutanan sosial yang sudah diterapkan, salah satunya yaitu hutan desa di Bujang Raba, Jambi. Di mana area ini merupakan bagian dari skema melindungi hutan untuk penyimpanan karbon. Sejalan dengan program tersebut, masyarakat desa ini pun mendapatkan manfaat dari skema perdagangan karbon atas hutan yang mereka kelola.
Masyarakat terbukti bisa menjaga hutan sejak 2013-2018 terjadi zero deforestasi, baru pada 2019 turun. Poinnya dengan perhutanan sosial, masyatkat mampu menjaga hutan, ungkap Direktur Eksekutif Konservasi Indonesia (WARSI), Rudi Syaf.
Sementara itu, Direktur Program Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menilai Indonesia berperan penting dalam mencapai net zero emisi, meski di satu sisi diperlukan transformasi besar-besaran. Salah satu program yang bisa dilakukan untuk mendukung target tersebut ialah kampung iklim dengan perhutanan sosial yang sudah dikembangkan sejak 2011 melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lokasi percontontohan program ramah iklim (proklim) saat ini berada di Desa Lampo dan Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Inisiatif kami menggabungkan proklim dan perhutanan sosial untuk mendorong kesejahteraan masyarat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan. Sehingga kontribusinya bisa dilihat sebagai bagian penuruna emisi dan rumah kaca, ujar Nadia.