Brilio.net - Serangkaian kebijakan dan pembatasan yang dibuat akibat munculnya pandemi virus corona tak hanya memengaruhi kesehatan mental masyarakat. Lebih dari itu, ia juga berpengaruh pada tingkat produktivitas banyak orang.
Dalam kasus ini, adanya pembatasan aktivitas di ruang publik sedikit banyak lantas membuat sebagian orang mengalami penurunan produktivitas. Keseharian yang menjadi monoton lantaran hampir seluruh aktivitas dilakukan di rumah, sehingga memicu munculnya rasa bosan, kerap kali dijadikan alasan atas hal tersebut.
BACA JUGA :
Dampak pandemi, Teuku Wisnu terpaksa tutup salah satu outlet oleh-oleh
Uniknya tak sedikit pula yang justru terpacu untuk berkreasi dan beraktivitas guna mengatasi rasa bosan dan bahkan cemas. Sofia Hasna adalah salah satu contoh di antara sosok kreatif dan produktif di tengah pandemi.
Alih-alih membiarkan diri untuk terus-menerus merasa tertekan lantaran pandemi Covid-19 yang tak diketahui kapan usainya, bersama dengan seorang temannya ia pun memilih berkarya melalui podcast. Ia lalu memberi nama kanal podcast miliknya dengan sebutan Mind Talks Podcast.
"Anjuran untuk di rumah aja terkadang membuat beberapa orang semakin merasa tidak produktif dan tertekan. Namun saya justru ingin produktif selama pandemi berlangsung, yakni dengan memunculkan platform media digital baru bernama Mind Talk Podcast," ucap Sofia saat dihubungi oleh brilio.net pada Sabtu (7/11).
BACA JUGA :
Panduan menonton bioskop selama pandemi sesuai protokol kesehatan
Di sisi lain, Sofia menuturkan bahwa keinginannya dalam membuat podcast dilatarbelakangi pula dengan adanya sejumlah fenomena yang meresahkan di Indonesia. Dari situ, ia dan sang teman yang bernama Aziz kemudian memutuskan jika akan lebih baik apabila gagasan dan opini mereka atas keresahan tersebut dapat tersampaikan ke publik.
"Aku dan partner siaranku tidak membangun podcast untuk mengikuti tren, tapi kami punya misi untuk menuangkan hal-hal baik kepada orang lain, dalam hal ini memberikan insight kepada orang lain terkait isu-isu yang sedang terjadi," jelas Sofia.
"Misalnya, kemarin sempat ramai pembicaraan terkait teori konspirasi di tengah pandemi Covid-19 di Indonesia. Beberapa netizen pun mengamini apa yang dikatakan oleh seorang influencer yang belum tentu menguasai hal tersebut. Dampaknya beberapa masyarakat menjadi abai terkait anjuran selama pandemi Covid-19 berlangsung. Nah, ini kan jadi satu permasalahan lagi kan," ucap Sofia.
Pandemi bukan halangan untuk berkarya lewat podcast.
Meski begitu, harus diakui bahwa berkarya melalui podcast pada musim pandemi seperti saat ini bukannya tidak memiliki halangan. Pada kanal podcast yang memiliki konsep mengundang narasumber di setiap episode, misalnya.
Perlu diterapkannya physical distancing sedikit banyak turut menghambat proses kreatif yang ada. Akan tetapi, solusi untuk mengatasi problem tersebut pun sejatinya tidaklah sulit.
Keberadaan teknologi saat ini memampukan setiap individu untuk berkomunikasi dengan siapa saja tanpa perlu khawatir terhalang jarak dan waktu. Dalam konteks ini, obrolan bersama narasumber pun dapat dilakukan secara virtual.
"Kalau semenjak pandemi ini (konten podcast) dibuat menggunakan Zoom. Jadi, kita talk show menggunakan Zoom, terus temanku merekam," ucap Bagus Zidni pemilik Podcast History atau yang lebih sering disebut sebagai Podtory saat dihubungi brilio.net melalui pesan singkat.
Lebih jauh, hal serupa pun turut dilakukan oleh kanal podcast ternama Thirty Days of Lunch. Sebelumnya, channel podcast yang secara eksklusif bekerja sama dengan Spotify ini memiliki konsep mengobrol bersama narasumber inspiratif di suatu tempat sembari makan siang.
Akan tetapi, melihat kondisi yang tidak kondusif, Fellexandro Ruby dan Ario Pratomo selaku podcaster kanal podcast tersebut pun lantas sedikit mengubah konsep tersebut. Kini, talk show dalam podcast sepenuhnya mereka lakukan secara virtual.
Menariknya, ide talk show secara virtual ini pun justru membawa mereka berkesempatan untuk mengobrol dengan sosok-sosok inspiratif yang saat ini tinggal di luar negeri. Misalnya saja Maudy Ayunda atau Pinot Wahyu Ichwandardi, seorang animator asal Indonesia yang kini berkarier di New York, Amerika Serikat. Lalu, ada pula Yanjaa Wintersoul, seorang atlet memori berusia 27 tahun dari Mongolia yang pernah menyabet medali emas di World Memory Championships pada 2014.
Cara membuat podcast dan kesulitannya
Lebih-lebih, cara membuat kanal podcast secara teknis itu sendiri pun terbilang mudah. Dalam sebuah sesi di webinar bertajuk Podcast for Creators: Impactful Content for Audience & Brands, Fellexandro Ruby mengatakan bahwa setiap podcaster setidaknya hanya membutuhkan alat perekam dan aplikasi editing suara. Adapun alat rekam yang dimaksudnya pun tak harus yang selalu mahal atau bermerek ternama.
foto: brilio.net/Aliftya Amarilisya
"It is not about the gear. Ada salah satu podcaster yang gue suka banget. Dia bisa disebut bapak podcast Indonesia, dia udah mulai bertahun-tahun yang lalu. Namanya Adriano Qalbi. Dia kalau bikin podcast rekamannya cuma pakai handphone," ujar Ruby.
Kendati demikian, Ruby tak menyangkal jika peralatan yang mumpuni sejatinya juga penting. Hanya saja, hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan ialah konten dari podcast itu sendiri.
"(Jadi) sebenarnya yang dicari (pendengar) menurut gue adalah authenticity. Orang pengen bisa relate ke podcaster itu. That's why, di podcast kami, ada noise orang makan segala macam, kita biarin. Supaya apa? Orang kayak 'gue ngerasa di tengah-tengah, duduk makan siang sama lo, Rub' gitu. Jadi, buat temen-temen cari karakter kalian sendiri, otentiknya di mana," jelasnya.
Sementara itu, untuk kesulitan sendiri biasanya justru hadir dalam hal konsistensi. Dalam hal ini, banyak orang yang tiba-tiba tertarik untuk membuat podcast, tetapi mereka berhenti begitu saja setelah membuat satu-dua episode.
"Konsisten itu adalah yang paling sulit saat kita melakukan apapun. (Itu makanya pula nama podcast ini) Thirty Days of Lunch. Jadi, gue nggak bisa bail out. Gue harus selesaiin sampai 30. Kalau nggak selesai, gue akan ditanyain orang, 'Katanya 30, ini 21 kok udah setop'. Jadi, bikin diri sendiri pressured in a good way," ucap Ruby.
Perkembangan podcast di Indonesia
Sementara itu, untuk saat ini, podcast memang tengah menjadi salah satu platform media alternatif yang populer di dunia. Hasil survei dari Reuters Institute dan University of Oxford pada 2019 mengatakan bahwa lebih dari sepertiga orang dari segala umur di 38 negara mendengarkan podcast.
Di Indonesia sendiri, menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga riset pasar Populix, dari 2500 responden sebanyak 67 persen di antaranya mengaku tidak asing dengan keberadaan podcast. Lebih jauh, dari riset yang dilakukan pada Juli 2020 tersebut diperoleh data bahwa 71,13 persen masyarakat sudah pernah mendengarkan podcast, setidaknya sekali dalam enam bulan terakhir.
Di sisi lain, berdasar laporan Nielsen, pada awal 2020 tercatat bahwa jumlah pendengar podcast tumbuh lebih dari 3,6 juta. Bersamaan dengan itu, rata-rata jumlah episode yang didengar per minggu pun meningkat sebesar 10 persen, sedangkan total pendengarnya tumbuh dengan rata-rata angka gabungan sebesar 20 persen.
Tingginya angka tersebut tak pelak membuat popularitas podcast mengungguli radio dan musik streaming. Di sisi lain, data tersebut bisa menjadi penyemangat bagi generasi muda untuk menyalurkan ide-ide kreatifnya melalui podcast.
Nah, jadi gimana nih Sobat Brilio, apakah makin tertarik untuk membuat kanal podcast?