Brilio.net - Kasus hukum yang membelit Fidelis Arie Suderwanto, warga Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat menyita perhatian publik. PNS ini menanam ganja yang kemudian digunakan untuk obat bagi istrinya yang sakit Syringomyelia. Fidelis akhirnya ditahan Badan Narkotika Nasional (BNN), dan selang beberapa hari kemudian istrinya meninggal dunia.
Kasus yang dihadapi Fidelis pun kemudian memunculkan polemik tentang legalitas ganja bagi dunia medis. Bagaimana Indonesia menerapkan hukum tentang ganja, dan bagaimana negara-negara lain menerapkan aturan tentang ganja ini?
BACA JUGA :
Bukan sepucuk surat, merpati ini bawa narkotika di punggungnya
Di Indonesia, regulasi tentang ganja sudah jelas tertera di Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terutama pasal 8 ayat 1 dan 2 yang melarang ganja untuk keperluan kesehatan. Ganja masuk ke dalam Narkotika Golongan 1. Daftar narkotika sendiri berada di lampiran UU yang mudah sekali diunduh oleh publik.
Foto: Fidelis Arie Suderwanto dan istri
Meski Indonesia melarang, ada beberapa negara yang melegalkan ganja untuk kesehatan. Menurut data Indonesia Cannabias News & Movement, ada 18 negara yang melegalkan ganja. Yakni Australia, Uruguay, Belanda, Jerman, Argentina, Siprus, Ekuador, Meksiko, Peru, Swiss, Spanyol, Republik Ceko, Brazil, Chili, Paraguay, Kolombia, serta dua negara bagian Amerika yakni Colorado dan Washinton DC.
BACA JUGA :
Apa sih tembakau Gorila yang bikin Andika The Titans ditangkap polisi
Ganja memang mempunyai sejarah panjang di dunia kesehatan manusia. Banyak ahli dan lembaga riset di dunia yang sudah lama meneliti tentang manfaat dan bahaya ganja bagi kesehatan. The New England Journal Of Medicine misalnya, mengungkap fakta-fakta mengenai kegunaan ganja untuk kesehatan. Data dalam jurnal tersebut menunjukan 90% penderita sindrom dravet bisa diatasi dengan ganja. Sindrom Dravet ialah penyakit epilepsi tingkat tinggi yang susah disembuhkan.
Penelitian mengenai manfaat ganja pun dilakukan Greewhich Biosciences yang kemudian menemukan ekstrak obat ganja yang diberi nama Epidiolex. Obat ganja ini dipercaya mampu mengobati sindrom dravet. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pengobatan menggunakan Epidiolex lebih cepat dari pada obat lain.
Hal ini juga diamini ahli medis lainnya. Dikutip dari Washingtonpost, Orrin Devinsky menyatakan ganja medis telah dinyatakan sebagai pengobatan untuk epilepsi sejak 3.800 tahun lalu. Cannabidol atau istilah lain zat dalam ganja, digunakan sebagai reseptor saraf agar tidak tegang. Cannabidol konon sangat berguna untuk beberapa terapi pengobatan seperti mengatasi efek dari kemoterapi.
Penemuan lain juga dituliskan oleh IOM (Institue of Medicine), Washington DC, dalam buku Marijuana and Medicine. Buku tersebut mengungkap beberapa manfaat zat dalam ganja sekaligus risiko dan efek sampingnya. Dari manfaat yang diungkap, membuktikan ganja mempunyai efek klinis. Namun perlu diketahui bahwa pengobatan secara klinis tidak bolek lebih dari 6 bulan karena dampaknya akan berbeda.
Penemuan dalam buku tersebut antara lain ganja berperan untuki memodulasi rasa sakit, mengontrol gerak, dan memori. Kerja otak pun mentolerir kehadiran zat dalam ganja. Ganja juga dalam beberapa kasus dapat menambah nafsu makan. Selain itu secara psikologis ganja dapat meredakan rasa cemas.
Namun penggunaan ganja dengan cara lain dapat menimbulkan beberpa risiko berbahaya. Merokok ganja dapat menimbulkan gangguan pernafasan. Untuk tubuh yang tidak tahan terhadap efek samping ganja akan menderita kelelahan, tidak bisa tidur, dan keram.
Meski memiliki dampak positif secara medis, ganja tetap dilarang mayoritas negara di dunia. Banyak negara beralasan bahwa ganja merupakan gerbang untuk konsumsi narkoba jenis lain. Dan ini bisa sangat berbahaya bagi manusia. Di Indonesia dan Amerika Serikat, ganja masuk narkotika golongan 1 yang mana tidak boleh di konsumsi.
Akibat larangan penggunaan ganja, untuk tetap mendapatkan efek kandungan ganja, pernah beredar ganja sintesis di Indonsia. Ganja sintesis merupakan tembakau yang disemprot dengan bahan kimia tertentu sehingga menimbulkan efek seperti ganja pada umunya. Padahal, ganja sintesis justru lebih berbahaya karena kandungannya mungkin menimbulkan gejala tremor dan bisa berujung kematiaan.
Meski ada ganja sintetis, pemerintah Indonesia tetap tidak mengubah aturan dan tetap melarang keras peredaran ganja. Tak heran jika ancaman pidaha untuk kepemilikan dan peredaran ganja adalah penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun.
Sejumlah studi juga menunjukkan bagaimana bahanya ganja bagi kesehatan. Beberapa efek ganja bagi kesehatan diantaranya hilangnya kendali, mudah berhalusinasi, gangguan paru, kecanduan, sakit jiwa, mengganggu sistem produksi.
Sebuah riset dilakukan oleh Nurlia Puspita Ratnasari (2015) tentang efek penggunaan ganja, menyebut ada efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Jangka pendek diantaranya gangguan memori dan perubahan pancaindra. Sedang efek jangka panjang adalah gangguan pada fungsi otak.
Di Indonesia, BNN terus mengampanyekan bahaya ganja bagi masyarakat, meski sejumlah negara sudah melegalkan ganja untuk medis.