Brilio.net - Kasus yang menimpa seorang guru honorer di SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, bernama Supriyani, terus berlanjut di meja hijau. Dalam sidang yang memperdalam keterangan saksi, sejumlah pengungkapan mencengangkan terungkap terkait tuduhan yang dialamatkan kepada Supriyani. Ia diduga telah melakukan kekerasan pada siswanya, D (8 tahun), namun terdapat banyak kejanggalan dalam proses pemeriksaan yang melibatkan pihak kepolisian.
Pada sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima saksi untuk memberikan kesaksian. Mereka adalah Aipda Wibowo Hasyim, ayah korban dan seorang anggota Polsek Baito; Nur Fitriana, ibu korban; serta tiga saksi dari pihak sekolah, yaitu guru bernama Siti Nuraisah, Lilis Herlina, dan Kepala SDN 4 Baito, Sana Ali.
BACA JUGA :
Pencopotan camat Baito, Bupati Konawe Selatan sebut tak ada kaitannya dengan kasus Guru Supriyani
Kepala SDN 4 Baito, Sana Ali, mengungkapkan peristiwa mengejutkan yang ia alami. Ia menceritakan bahwa dirinya sempat dihubungi oleh seorang penyidik Polsek Baito bernama Jefri yang menyatakan bahwa bukti untuk menetapkan Supriyani sebagai tersangka sudah ada. Berdasarkan keterangan Jefri, penetapan sebagai tersangka serta penjemputan Supriyani akan dilakukan keesokan harinya.
Mendengar hal tersebut, Sana Ali mengaku sangat terkejut dan berusaha mempertanyakan kepada Jefri mengapa proses penetapan tersangka begitu cepat, padahal ia meyakini bahwa masalah ini masih bisa diselesaikan secara baik-baik tanpa harus membawa kasus ini ke ranah hukum. Sana Ali menawarkan untuk membantu mengatasi persoalan ini secara kekeluargaan di sekolah.
Usaha meminta maaf yang diduga dipaksakan.
BACA JUGA :
Penyebab Aipda Wibowo polisikan Supriyani, kata-kata sang guru bikin tak bisa menahan diri
foto: X/@MoXweet
Menurut penuturan Sana Ali dalam sidang seperti dilansir brilio.net, Jumat (1/11), penyidik Jefri kemudian menyarankannya untuk membujuk Supriyani agar mengakui perbuatan tersebut dan mendampingi Supriyani untuk meminta maaf kepada keluarga korban. Dengan terpaksa, Supriyani, yang mengaku tidak melakukan penganiayaan, akhirnya bersedia memenuhi permintaan tersebut demi menghormati saran dari kepala sekolahnya.
Supriyani, didampingi suaminya dan Sana Ali, kemudian menuju rumah keluarga D untuk menyampaikan permintaan maaf. Dalam suasana yang penuh tekanan, Supriyani menangis ketika diminta untuk mengakui perbuatan yang ia yakini tidak pernah dilakukannya. Namun, dengan berat hati, ia mengikuti permintaan dari kepala sekolahnya untuk tetap meminta maaf.
Ketika tiba di rumah keluarga korban, Aipda Wibowo, ayah dari D, menerima mereka dengan perasaan yang campur aduk. Aipda Wibowo menyatakan bahwa ia kurang suka dengan cara kedatangan mereka yang dianggapnya tidak langsung dan penuh rasa ragu. Meski demikian, mereka tetap mendengarkan permohonan maaf dari Supriyani. Meski istri Aipda Wibowo sempat menenangkan suasana, Wibowo menyatakan akan membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan maaf tersebut (Sumber: Konsel).
Setelah pulang dari rumah keluarga korban, Sana Ali berinisiatif untuk kembali berkoordinasi dengan penyidik Jefri untuk memberi laporan bahwa arahan untuk meminta maaf telah mereka lakukan. Selain itu, ia juga mendatangi Kepala Desa Wonua Raya, tempat Supriyani tinggal, untuk memohon bantuan agar bisa menyelesaikan masalah ini secara damai. Sana Ali mengaku bahwa tindakan tersebut adalah bentuk ikhtiarnya untuk meredam situasi yang semakin rumit.
Sempat terjadi perdamaian dalam kasus ini selama beberapa bulan, namun ketenangan itu ternyata hanya sementara. Supriyani akhirnya mendapatkan surat panggilan resmi yang menandai bahwa dirinya kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan ini. Penetapan tersangka tersebut semakin mengagetkan Sana Ali dan orang-orang terdekat Supriyani, terutama mengingat mereka merasa telah berusaha menyelesaikan masalah ini di tingkat keluarga.
Saksi ungkap kejanggalan proses penetapan tersangka.
foto: liputan6.com
Saat bersaksi di hadapan majelis hakim, Sana Ali juga mengungkapkan bahwa penyidik Jefri yang sempat mengarahkan proses damai ini justru pindah tugas tepat setelah Supriyani ditetapkan sebagai tersangka. Pergantian tugas penyidik ini pun membuat kasus Supriyani menjadi lebih sulit untuk diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, mengingat penyidik baru mungkin tidak mengenal situasi sebelumnya yang sudah ditempuh untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Kepindahan penyidik ini membuat proses hukum terhadap Supriyani menjadi lebih kompleks. Ia dan orang-orang terdekatnya mempertanyakan bagaimana alur penetapan tersangka yang seolah dipaksakan terjadi, padahal guru honorer ini sudah berupaya untuk menyampaikan permintaan maaf dan menunjukkan itikad baik.
Kasus ini mengundang perhatian banyak pihak yang melihat bahwa ada ketidakadilan dalam perlakuan terhadap Supriyani sebagai seorang guru honorer. Banyak orang beranggapan bahwa Supriyani diperlakukan tidak adil, terlebih lagi karena adanya desakan dari pihak penyidik yang diduga kuat memaksanya mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Situasi ini semakin membuatnya tertekan, terutama karena latar belakang Supriyani yang merupakan guru honorer, yang mungkin lebih rentan terhadap tekanan hukum.
Kepala sekolah serta rekan-rekan guru lainnya merasa bahwa Supriyani adalah sosok yang tidak mungkin melakukan tindak kekerasan terhadap siswa. Banyak pihak menilai bahwa ia hanya menjadi korban dalam konflik yang sebenarnya bisa diselesaikan secara damai. Hingga kini, dukungan dari berbagai pihak terus mengalir untuk memberikan kekuatan kepada Supriyani yang harus menghadapi proses hukum yang terkesan memihak dan penuh tekanan.