Brilio.net - Universitas Gadjah Mada (UGM) baru-baru ini merampungkan penyelidikan atas dugaan plagiarisme yang menyasar dua buku karya Sri Margana dan rekan-rekan dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Meskipun ada unsur kesamaan dengan karya sejarawan Inggris, Peter Carey, UGM menyatakan tuduhan plagiat tidak terbukti. Namun, keputusan ini seolah membuat harapan Carey agar UGM menyampaikan permintaan maaf secara publik jadi tak terpenuhi.
Tim ad hoc yang dibentuk oleh Dekan FIB UGM, beranggotakan enam dosen independen, menyelesaikan investigasi atas kesamaan konten dua buku kontroversial tersebut dengan buku Carey berjudul Kuasa Ramalan. Dengan memanfaatkan pedoman plagiarisme nasional dan internasional, tim mengkaji isi kedua karya tersebut. Salah satu poin penting dari hasil penyelidikan menyatakan, Pengutipan sudah mencantumkan sumber secara lengkap sesuai kaidah ilmiah, sehingga tuduhan plagiasi dinilai tidak terbukti. Meski demikian, mereka menyoroti perlunya pedoman yang lebih jelas untuk mengatur pengutipan panjang.
BACA JUGA :
UGM sudah ambil sikap soal Peter Carey, nyatakan dosennya bersih dari plagiat
"Kami berharap ke depan regulasi mengenai hal ini lebih diperjelas demi meminimalisasi potensi salah paham dan menjaga kredibilitas karya ilmiah," ungkap Tim Ad Hoc UGM dalam rilis pers yang diterima brilio.net, Jumat (15/11). Hasil akhir investigasi menyimpulkan tidak adanya unsur plagiarisme. Kedua buku tersebut telah ditarik dari peredaran oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dan diterbitkan ulang dalam versi revisi.
foto: istimewa
BACA JUGA :
Belajar dari kasus Peter Carey dan Bahlil Lahadalia, benarkah perguruan tinggi mengalami krisis etika?
Kekecewaan Peter Carey.
Sebelumnya, Peter Carey tidak merasa puas dengan penyelesaian masalah yang sudah bergulir sejak 2020 lalu. Melalui media sosial, sejarawan yang dikenal dengan kajian mendalam tentang sejarah Jawa ini mengecam sikap UGM yang enggan meminta maaf secara terbuka. Carey menyebut langkah UGM sebagai cermin dari karakter institusi tersebut.
"Mari bersikap realistis, mungkin permintaan maaf publik tidak akan pernah terjadi. Tapi, yang sudah kita capai adalah bahwa kasus ini kini menjadi catatan publik," ungkap Carey pada brilio.net melalui wawancara daring.
Dugaan plagiarisme ini muncul setelah beberapa kesamaan ditemukan antara karya Carey dengan dua buku sejarah karya dosen UGM. Sejumlah pihak, termasuk akun media sosial anonim, sempat mengangkat isu ini hingga menjadi perbincangan luas.
Menurut Carey, walaupun UGM telah menyusun versi revisi, pengakuan kesalahan dan permintaan maaf tetap penting.
Reputasi mereka akan terganggu jika tidak segera bertindak. Noda pada nama baik mereka akan sulit dihapus atau dilupakan, tegas Carey.
"Jika mereka tidak akan mengeluarkan permintaan maaf publik, itu adalah masalah mereka, bukan masalah saya," ujar Carey.
Meskipun keadilan sebagian telah tercapai melalui pernyataan publik penerbit, ia tetap menilai UGM memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menjaga integritas akademik.
UGM, melalui Dekan FIB Prof. Setiadi, sejak awal menegaskan bahwa mereka akan menanggapi tuduhan ini secara serius. Tim khusus dibentuk untuk mendalami tuduhan tersebut, dan hasilnya diharapkan menjadi acuan untuk mencegah kasus serupa di masa depan.
Namun, tanpa adanya permintaan maaf publik, upaya UGM pun belum sepenuhnya memenuhi tuntutan Peter Carey. Kasus ini mencerminkan perlunya transparansi lebih besar dalam proses akademik, serta pentingnya menghargai kerja ilmiah demi menjaga kredibilitas lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.