Brilio.net - Setiap orang bisa menjadi penulis. Namun tidak semuanya mampu meramu tulisan dengan lihai sehingga bisa dibaca dan dicerna dengan baik oleh pembaca, baik itu tulisan fiksi maupun non-fiksi.
Menulis bukan hanya menelurkan karya fiksi seperti novel, cerita pendek (cerpen), atau puisi. Menulis berita juga pekerjaan mengolah kata. Bedanya, fakta adalah ruhnya.
BACA JUGA :
10 Foto Aliya Shagieva, putri Presiden Kyrgyztan yang cantik menawan
Nah, kali ini brilio.netmengulas singkat deretan penulis tersohor Indonesia yang ternyata seorang wartawan. Sobat Brilio bisa membayangkan, bagaimana terlatihnya mereka dalam menulis? Sudah pernah menulis tentang fakta, mengolah kata demi kata, berlatih mencermati keruntutan alur berita, mengecek kelogisan isi berita, kemudian menulis cerita, baik fiksi maupun non-fiksi. Hebat sekali, kan? Nah, cek yuk ulasan sosok-sosok hebat tersebut dihimpun brilio.net, Rabu (2/8).
1. Ahmad Fuadi (43).
BACA JUGA :
10 Potret perjalanan Khamim Setiawan, haji backpacker asal Pekalongan
foto: ubudwritersfestival.com
Penulis novel best seller trilogi Negeri 5 Menara ini ternyata dulunya wartawan Tempo, lho. 'Bapak' novel anyar Anak Rantau ini bekerja di Tempo pada tahun 1998-2002. Bahkan sang istri, Danya Dewanti atau Yayi, juga seorang wartawan di tempat yang sama.
Saat Ahmad Fuadi mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University pada tahun 1999, dia dan istri nyambi menjadi koresponden Tempo sekaligus wartawan Voice of America (VOA). Sekembalinya dari Washington DC, Ahmad Fuadi menjadi wartawan VOA di Jakarta pada November 2002 - November 2005.
Saat menjadi penulis, beberapa penghargaan berhasil dia sabet. Sebut saja seperti Penulis dan Fiksi Terfavorit, Anugerah Pembaca Indonesia (2010), Penulis/Buku Fiksi Terbaik, Perpustakaan Nasional Indonesia (2011), bahkan Writer in Residence, Bellagio, Lake Como - Italy, Rockefeller Foundation (2012).
2. Ayu Utami (48).
foto: princeclausfund.org
Novelis lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini juga pernah mengecap dunia jurnalis. Penulis novel Bilangan Fu (2008) dan Soegija: 100% Indonesia (2012) ini dulu pernah menjadi wartawan media Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D & R.
Pemilik novel debut berjudul Saman (1998) ini ternyata juga salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen setelah terjadi aksi pembredelan terhadap sejumlah media pada masa Orde Baru.
Novel yang telah ditulis Ayu Utami antara lain Larung (2001), Manjali Dan Cakrabirawa (2010), Cerita Cinta Enrico (2012), Lalita (Seri Bilangan Fu) (2012), dan masih ada beberapa yang lain. Lantas, penghargaan dalam dunia kepenulisan yang pernah dia raih seperti Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998, Prince Claus Award 2000, dan Khatulistiwa Literary Awards, kategori prosa (2008).
3. Putu Wijaya (73).
foto: writersunlimited.nl
Pria satu ini dikenal sebagai penulis bertalenta. Dia menulis skenario film, skenario sinetron, drama, novel, cerpen, sampai esai. Pemilik nama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya ini ternyata dulunya juga seorang pewarta. Putu Wijaya pernah menjadi wartawan majalah Ekspres pada tahun 1969, lalu majalah Tempo pada 1971-1979.
Saat menjadi penulis di luar dunia jurnalis, belasan bahkan puluhan karya sudah dia telurkan. Beberapa di antaranya misalnya novel Bila Malam Bertambah Malam (1971), novel Byar Pet (1995), skenario film Perawan Desa (menyabet Piala Citra FFI 1980), skenario Kembang Kembangan (memperoleh Piala Citra FFI 1985), cerpen Keadilan (2012), cerpen Darah (1995), skenario drama Jepretin tuh Staples! (2011), dan skenario drama Dalam Cahaya Bulan (1966).
Cerita pendeknya sering ada di Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novelnya pun menghiasi majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sejumlah karyanya juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Belanda, Inggris, Prancis, Jepang, dan Rusia.
4. Martin Aleida (73).
foto: merdeka.com
Martin Aleida adalah salah satu sastrawan tersohor negeri ini. Pria kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara tersebut banyak menulis cerpen dan novel. Beberapa deretan karyanya seperti cerpen Jangan Kembali Lagi (1969), kumpulan cerpen atau kumcer Perempuan Depan Kaca (2000), novel Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi (1999), dan novel Mati Baik-Baik Kawan (2010).
Pemilik nama asli Nurlan ini ternyata pernah menjadi wartawan di harian Zaman Baru. Sayangnya tak sampai satu tahun, Martin keluar dan bekerja serabutan. Tak lama setelah itu, dia kembali menjadi jurnalis di Harian Rakyat. Saat di sini, dia kerap meliput kegiatan Presiden Soekarno hampir setengah tahun.
Saat telah menjadi penulis, Martin menyabet beberapa penghargaan, seperti Kumpulan cerpen Liontin Dewangga (2004) dari Departeman Pendidikan Nasional, Anugerah Kebudayaan Kategori Anugerah Seni dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2014), sampai yang terbaru adalah penghargaan Cerpen Pilihan Kompas 2017 lewat karyanya yang berjudul Tanah Air (terbit 19 Juni 2016 di Harian Kompas).
5. Goenawan Mohamad (76).
foto: Lau Fook Kong via straitstimes.com
Pria kelahiran Kabupaten Batang, Jawa Tengah ini adalah pendiri dan mantan pemimpin redaksi Majalah Berita Tempo. Saat masih kecil, Goen atau GM, panggilan akrabnya, suka sekali dengan puisi. Namun karier Goen semasa dewasa, cenderung ke arah jurnalistik.
Dia pernah menjadi redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985). Dia juga yang mendirikan majalah Mingguan Tempo bersama rekan-rekannya. Fokusnya kala itu mengkritisi rezim Soeharto. Tak pelak, Tempo dianggap sebagai oposisi pemerintah sehingga pernah diberhentikan penerbitannya pada tahun 1994.
Meski berkecimpung di dunia jurnalistik, Goen tak melupakan sastra. Setelah malang melintang sekitar 30 tahun di dunia pers, dia membuat kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis.
Tak hanya itu, dia juga menulis esai Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Penghargaan yang pernah dia raih adalah anugerah sastra Dan David Prize, bersama esais dan pejuang kemerdekaan Polandia, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma. Lalu juga pernah mendapat Wertheim Award bersama wartawan Joesoef Ishak pada tahun 2005.
6. Leila S. Chudori (54).
foto: aaww.org
Leila adalah seorang sastrawan penulis banyak cerpen, novel, dan skenario drama televisi. Beberapa karyanya antara lain Kelopak-kelopak yang Berguguran (1984), Pulang: Sebuah Novel (2012), 9 dari Nadira (2009), skenario Dunia Tanpa Koma (2006), dan skenario Drupadi (2009).
Penghargaan yang pernah dia raih antara lain Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji (2006) untuk skenario Dunia Tanpa Koma dan Penghargaan Sastra Badan Bahasa Indonesia (2011) untuk karyanya 9 Dari Nadira.
Nah, ternyata Leila seorang jurnalis bahkan sampai detik ini. Dia merupakan wartawan di bawah naungan Tempo. Dalam sebuah wawancaranya dengan media Femina Pesona, dia menyatakan meski akan pensiun, dia tak akan meninggalkan profesinya sebagai wartawan. Bahkan tak akan meninggalkan dunia menulis yang telah dia tekuni sejak lama.
7. Linda Christanty (47).
foto: islandsofimagination.id
Wanita kelahiran Pulau Bangka, Bangka-Belitung ini suka sekali menulis catatan harian, puisi, dan cerpen. Pada usia 19 tahun, karyanya berjudul Daun-Daun Kering lolos lomba cerpen Kompas, dan menjadikan Linda sebagai pemenang termuda kala itu.
Pemilik gelar Sarjana Sastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini pernah bekerja di majalah komunikasi bisnis dan periklanan. Pada tahun 1999, Linda berlabuh di tabloid tentang ekonomi dan politik. Dia juga menjadi pendiri dan pemimpin kantor berita di Banda Aceh pada Oktober 2005 guna memantau rekonstruksi dan rehabilitasi pascatsunami proses perdamaian di Aceh. Karya-karyanya dalam dunia jurnalis fokus pada persoalan politik dan kemanusiaan baik di Indonesia maupun kancah global.
Di luar dunia pers, Linda menulis sejumlah buku fiksi maupun non fiksi. Sebut saja seperti Kuda Terbang Maria Pinto (2004), Dari Jawa Menuju Atjeh (2009), Rahasia Selma (2010), Jangan Tulis Kami Teroris (2011), Seekor Anjing Mati di Bala Murghab (2013), dan Seekor Burung Kecil Biru di Naha; Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi (2015). Dia juga kerap diundang ke acara pertemuan sastra dan media seperti Melbourne Writers Festival di Australia, Ubud Writers Festival di Ubud, Bali, The Man Hong Kong Literary Festival di Hongkong, World P.E.N Symposium di Jepang, dan masih banyak lagi.
8. Dahlan Iskan (65).
foto: merdeka.com
Sebelum menjadi penulis buku, Dahlan Iskan adalah wartawan. Dialah pendiri perusahaan koran raksasa Jawa Pos Group yang berbasis di Surabaya, Jawa Timur. Awal karier pria kelahiran Magetan ini sebagai pewarta saat dia menjadi reporter sebuah surat kabar di Samarinda, Kalimantan Timur pada 1975. Kemudian pada 1976, dia berpindah naungan ke media besar Tempo.
Nah, pada tahun 1982, dia merintis Jawa Pos yang semula dimiliki oleh pebisnis The Chung Shen yang berada di ujung tanduk kebangkrutan. Eric F.H. Samola yang kala itu merupakan Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos lantas memilih Dahlan Iskan memimpinnya.
Seiring berjalannya waktu menjadi wartawan senior dan pengusaha bidang media, Dahlan Iskan menulis buku. Beberapa judul buku yang pernah ditulis Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini antara lain Ganti Hati (2008), Karmaka Surjaudaja: Tidak Ada Yang Tidak Bisa (2009), dan Dua Tangis dan Ribuan Tawa (2011).
9. Oka Rusmini (50).
foto: UWRF - Flickr via idwriters.com
Pemilik nama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini ini adalah seorang penulis puisi, novel, dan cerpen. Karya-karyanya terkenal dan tak jarang menimbulkan kontroversi karena mengangkat sejumlah persoalan adat-istiadat dan tradisi Bali yang kolot dan merugikan wanita.
Beberapa karyanya seperti puisi Monolog Pohon (1997), puisi Patiwangi (2003), novel Tarian Bumi (2000), cerpen Sagra (2001), dan novel Tempurung (2010). Untuk novel Tarian Bumi, ternyata sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris berjudul Earth Dance, dan Bahasa Jerman dengan judul Erdentanz.
Sejumlah penghargaan yang pernah dia raih seperti penghargaan cerpen terbaik majalah Femina pada tahun 1994 untuk karyanya Putu Menolong Tuhan, novel Sagra menjadi novelet terbaik Femina pada tahun 1998, dan Tarian Bumi meraih penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Nah, ternyata Oka juga dulunya pernah menekuni dunia pers. Dia pernah menjadi wartawan Bali Post. Dari profesinya inilah Oka bisa menambah bahan tulisan hasil dari riset dan wawancara saat peliputan.
10. Rosihan Anwar (lahir 10 Mei 1922, meninggal 14 April 2011).
foto: kapanlagi.com
Pria kelahiran Sumatera saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda ini adalah seorang wartawan sekaligus sejarawan, sastrawan, dan budayawan. Dia memulai karier jurnalis sebagai reporter Asia Raya saat Jepang masih berkuasa pada tahun 1943. Kemudian dia pernah menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Bahkan pada masa perjuangan, dia pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia atau Jakarta. Pada masa Orde Baru, dia adalah Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia.
Rosihan juga merambah dunia perfilman. Bersama Usmar Ismail, dia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada tahun 1950. Film pertama yang diproduksi berjudul Darah dan Doa, di mana dia juga seorang figuran di dalamnya. Selanjutnya dia rajin mempromosikan film-film Indonesia di luar negeri sekaligus menjadi pengamat dan kritikus film.
Di bidang kepenulisan, ada sekitar 21 buku dan ratusan artikel di koran dan majalah yang dia tulis. Baik itu di Indonesia maupun luar negeri. Beberapa karyanya seperti Raja Kecil (1967), Kisah-kisah Zaman Revolusi (1975), Musim Berganti (1985), dan Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia: Jilid 1-4, 2004-2010.
Selain beberapa nama di atas, masih banyak penulis terkenal Indonesia yang dulunya menjadi wartawan, seperti Mochtar Lubis, Hamka, Sitor Situmorang, dan banyak lagi. Belum lagi generasi-generasi muda yang menekuni dunia menulis di luar jurnalistik sekaligus menjadi insan pers.
Mereka semua menjadi sosok inspiratif bagi kaum muda lainnya untuk semangat berkarya dan mengabadikan nama. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, 'Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian'. Setuju kan, Sobat Brilio?