Brilio.net - Arif Prasetyo atau kerap disapa Tupis oleh teman-temannya ini terlahir dari pasangan difabel tuna netra. Arif menjadi difabel tuna netra dari lahir dan mendapatkan beasiswa pendidikan sejak SD. Saat ini Arif tengah menempuh pendidikan S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Manajemen Pendidikan Islam melalui program beasiswa LPDP.
BACA JUGA :
Kisah mantan apoteker sukses buka toko oleh-oleh bekal ilmu dari YouTube, pernah diare saat ulik resep
foto: Instagram/arifreal35
Bercita-cita sebagai pemain film dan sering diremehkan karena tuna netra, Arif memiliki tekad yang kuat untuk mewujudkan impiannya. Karena semangat dan tekadnya yang kuat kini Arif tak hanya menjadi pemain film, ia bahkan saat ini telah memiliki gelar sutradara tuna netra pertama di Indonesia.
BACA JUGA :
Viral bocah kelas 6 SD Papua mengajar kalkulus di depan mahasiswa, ternyata bukan anak sembarangan
foto: Instagram/@arifreal35
Kecintaannya pada dunia film berawal dari masa SMA. Ia pernah merasa berkecil hati karena tidak pernah diajak nonton film di bioskop oleh teman-temannya. Akhirnya ia mencoba menonton film, mencari tahu tentang film, mulai dari membaca berbagai sinopsis film terkini, hingga mencari tahu tentang produksi film. Ia menonton film dengan cara merasakannya melalui dialog audio dan efek suara yang membantunya memahami jalan cerita dari film tersebut.
Untuk dapat memahami secara baik isi dari film, ia kerap datang ke bioskop dengan ditemani oleh teman bisik yang akan membantunya menerjemahkan beberapa adegan-adegan non verbal yang akan menambah interpretasinya pada film tersebut. Rasa ketertarikannya pada dunia film pun semakin membuncah dan mulai memiliki cita-cita yang besar untuk terjun dalam dunia perfilman.
Pada awalnya, ia hanya berperan sebagai pemain figuran. Tapi akhirnya saya ikut kelas penyutradaraan, kelas film, kelas kameramen, dan kelas penulisan skenario. Disitu saya berpikir kenapa nggak diteruskan? Akhirnya saya dan teman-teman memutuskan untuk membuat film, tutur Arif pada tim brilio.net belum lama ini.
Menjadikan Hanung Bramantyo sebagai salah satu sutradara favoritnya membuat Arif semakin semangat dalam berkarya. Ia ingin masyarakat memahami film yang dibuat difabel tidak hanya sebatas menggiring perspektif untuk dikasihani namun pembuktian bahwa difabel dapat berkarya di dunia film dengan caranya sendiri. Terbukti dengan beberapa film yang telah digarapnya setiap screening film selalu ramai hingga full di berbagai komunitas dan kampus. Tak hanya sekali screening film, ia juga menghadiri berbagai acara sebagai pembicara untuk bedah film.
foto: Instagram/@uinsk
Respons dari masyarakat sangat antusias menyambut karya-karyanya. Tentunya hal ini sangat membahagiakan bagi Arif karena pada akhirnya masyarakat mampu melihat karya difabel dan menikmatinya dengan nafas yang berbeda. Bukan melihat karya dengan pandangan kasihan dan kental dengan diskriminasi, namun melihat karya film yang digarap olehnya menjadi suatu hal yang sangat membanggakan.
Kesuksesan akan karyanya setelah menjadi sutradara tuna netra tentunya tak luput dari berbagai tantangan dan kesulitan yang dihadapinya. Menurut saya tantangannya yang pertama sebagai sutradara harus mampu mengubah mindset masyarakat yang mayoritas masih percaya bahwa tuna netra itu tidak mampu menikmati film, ujar Arif pada tim brilio.net.
Selain itu tantangan yang cukup penting adalah inovasi karena ini merupakan hal yang baru dan butuh banyak penyesuaian. Sutradara tuna netra perlu memahami dan menguasai hal yang bersifat lapangan seperti visual, ekspresi dari para aktor, hingga mengawasi campers dan beberapa jobdesk lain dalam lokasi shooting. Aku mau menemukan inovasi dan kreatifitas untuk melakukan itu semua agar nantinya kalau ada tuna netra lain yang ingin belajar menjadi sutradara, cuman tinggal copas apa yang sudah aku kerjakan, salah satunya dengan membuat buku pedoman pembuatan film inklusi wujud keberagaman dalam sinema, ucap Arif.
Buku tersebut kini tengah digarapnya dan sedang masuk percetakan untuk segera diterbitkan. Ia berharap dengan buku yang ditulisnya tersebut mampu menjadi acuan untuk para sineas difabel yang ingin mengikuti jejaknya untuk terjun lebih dalam dan menjadi ahli dalam dunia perfilman.
Hal yang cukup diperhatikan oleh Arif dalam pembuatan filmnya adalah tim yang mampu bekerja sama dengan baik, yakni tim produksi yang inklusi. Crew dalam pembuatan film yang digarapnya harus paham dan paham dengan difabel sehingga mampu berkolaborasi dengan baik ketika di lapangan agar tidak terjadi ketidaksinambungan komunikasi dan mampu mengarahkan dengan mudah dipahami satu sama lain, baik difabel maupun tidak. Salah satunya seperti bagaimana perannya sebagai sutradara yang dibantu dengan hadirnya asisten sutradara yang tidak boleh tuna netra. Hal ini tentunya untuk membantu koreksi visual bagi sutradara netra untuk memperkaya pengetahuan di lapangan.
Kendala visual bagi seorang sutradara netra bagi Arif menjadikan ini adalah tantangan tersendiri. Alhasil di luar dari proses shooting ia rajin membaca novel untuk memperkaya gambaran dan pengetahuannya tentang setting tempat, ekspresi, dan gambaran bahasa tubuh. Membaca novel membantunya memiliki imajinasi yang baik terhadap visual yang akan ditampilkan dalam film. Selain itu, ia juga membuka saran visual dari para tim produksi agar hasilnya lebih maksimal.
Tantangan yang besar pada para difabel tuna netra yakni untuk menampilkan ekspresi yang baik. Namun sayangnya ini masih menjadi pekerjaan yang sulit untuk direalisasikan dengan sempurna karena belum ada teknologi yang bisa mendukung dengan baik para difabel tuna netra untuk memahami ekspresi. Namun beberapa cara bisa dikukan dan diakali dengan meraba wajah atau topeng dengan berbagai ekspresi dan mengimajinasikan terkait ekpresi seperti apa yang sedang diperagakan.
foto: brilio.net/Himmatul Ahsana
Di samping berbagai tantangan yang terjadi selama proses pembuatan film, Arif tetap merasa senang menjalani berbagai prosesnya dari awal hingga akhir. Shooting pasti lelah apalagi ketika melibatkan difabel dan non difabel. Namun setelah diterima masyarakat dengan respon positif akhirnya senang dan merasa usahanya sudah terbayarkan, ujar Arif pada brilio.net.
Sebagai sutradara tuna netra pertama di Indonesia, beberapa kali Arif ditawari bermain film dengan tokoh besar dan bahkan filmnya ditawari untuk tayang di platform streaming film online. Namun Arif menolaknya karena meyakini bahwa proses perjalanannya kini masih di awal dan perlu banyak pengalaman lain untuk ada di tahap tersebut. Ia tidak mau cepat berpuas diri dan langsung meroket. Harapan besarnya adalah ia ingin terus berkarya dengan pelan namun pasti.
Mendapatkan hati masyarakat melalui film yang dibuatnya kini menjadi tujuan utamanya. Selain itu ia ingin lebih banyak lagi menghadirkan para pemain film kawakan dalam film garapannya. Bekerja sama dan membangun relasi dengan orang-orang hebat serta menimba ilmu menjadi hal yang ingin terus ia lakukan agar filmnya dapat berkembang dan mampu menghadirkan karya-karya yang lebih baik.
Ia berharap ke depannya masyarakat mampu lebih ramah lagi terhadap difabel yang terjun dalam dunia perfilman dan mampu menghadirkan bioskop-bioskop yang ramah terhadap difabel. Menurutnya dengan menghadirkan difabel di dalam produksi film nantinya akan mengawali inklusifitas di dalam dunia perfilman yang ada di Indonesia.
Jangan takut berkarya. Pertama gagal tidak apa-apa, tapi percaya saja nantinya akan ada saatnya karyamu akan diterima di jalan yang dikehendaki-Nya, pesan Arif untuk para difabel yang ingin berkarya di dalam dunia perfilman yang disampaikan pada tim brilio.net.
Magang: Himmatul Ahsana