1. Home
  2. ยป
  3. Sosok
6 Februari 2024 23:10

Cerita Risa dan Gram dirikan pasar artisan campur budaya, ajak masyarakat kota hidup minim sampah

Digelar di taman yang penuh rumput hijau dan pepohonan rimbun memberikan kesan asri pada pasar ini. Annathiqotul Laduniyah
brilio.net/annatiqo

Brilio.net - Ada banyak sekali pasar di Yogyakarta yang terbagi sesuai wilayah, produk yang dijual, hingga waktu saat buka. Menurut data dari bappeda.jogjaprov.go.id, ada empat jenis pasar yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Di antaranya pasar tradisional, pasar kabupaten, pasar desa, dan toko modern. Dari jenis tersebut, pasar rakyat atau pasar tradisional menjadi ruang jual beli paling banyak di Yogyakarta dengan jumlah mencapai 344 pasar.

Jika berbicara soal pasar, tentu yang terbayang adalah landscape atau pemandangan penjual yang menjajakan dagangan atau hasil buminya secara lesehan. Berbeda dengan toko modern, pasar lebih identik dengan barang-barang lokal dan tradisional. Selain barang, tentu ada juga kegiatan jual beli jasa yang semakin meramaikan.

BACA JUGA :
Kisah sukses anak pedagang pecel lele jadi juragan bakpia di Jogja


Namun tak hanya aktivitas jual beli, pasar sebenarnya juga bisa menjadi tempat untuk piknik dan belajar, lho. Pasar Wiguna menjadi salah satu pasar yang digelar dengan konsep pop dan menghibur (entertain). Pasar yang diadakan 2 kali dalam sebulan ini justru lebih banyak didatangi oleh anak muda dan keluarga yang hendak piknik.

Sekilas, Pasar Wiguna banyak dikenal sebagai tempat untuk berlibur bagi sejumlah orang. Bukan tanpa sebab, pasar ini terletak di sebelah mall yang berada di wilayah kota Yogyakarta. Lebih tepatnya, ada di taman halaman Pendopo Agung Royal Ambarukmo. Digelar di taman yang penuh rumput hijau dan pepohonan rimbun memberikan kesan asri pada pasar ini.

Memang sejak adanya Pasar Wiguna, taman Pendopo Ambarukmo ini terasa lebih hidup dalam tiga tahun terakhir. Bukan tanpa sebab, agenda Pasar Wiguna sendiri digelar selama 2 minggu sekali. Karena digelar secara rutin, taman Ambarukmo jadi tampak selalu ramai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

BACA JUGA :
Cerita bocah 11 tahun yang tulis 37 buku dalam bahasa Inggris, dapat royalti Rp 20 juta di usia belia

foto: brilio.net/annatiqo

Nah, pada Minggu (17/12) lalu, tim brilio.net menyempatkan berkunjung ke pasar yang buka pada pukul 8.00 WIB pagi. Saat memasuki halaman depan, ambience (suasana) pasar ini justru terasa nyaman karena tempatnya luas. Bahkan sekilas seperti gelaran acara piknik dengan diramaikan dengan lagu-lagu pop.

Setiap sudut Pasar Wiguna diisi dengan sekumpulan anak muda dan keluarga yang sedang berbincang atau sekadar menikmati makanan. Ada banyak sekali tenant atau stand menjajakan dagangannya di pasar yang hanya buka pada hari Minggu ini. Sebagian besar merupakan makanan atau minuman yang disajikan untuk sarapan pagi.

Sejumlah pengunjung pasar juga tampak asyik berswa foto. Tim brilio.net lantas menyapa salah satu di antaranya. Desi dan Selin tampak begitu asyik berfoto dan berbincang hangat tepat di area tengah taman Pasar Wiguna. Ketika disapa, kedua perempuan berdomisili Yogyakarta ini mengaku merasakan suasana yang berbeda saat mendatangi Pasar Wiguna. Karena digelar di taman, maka Pasar Wiguna lebih memberikan kesan damai dan nyaman.

"Senang, ya. Lebih ke damai, gitu, karena kan di Yogya kalau aku pribadi jarang nemuin yang kayak gini, taman kayak gini, ya. Kalau bazar kan sering, tapi kan suasananya tuh nggak kayak gini. Ini lebih ngerasa asri karena kayak di taman gitu,"ujar Desi.

foto: brilio.net/annatiqo

Bagi mereka, Pasar Wiguna juga sudah menjadi tempat untuk berlibur di tengah kota. Selain itu, kedua perempuan ini mengaku sudah memiliki tujuan tersendiri saat menghadiri gelaran Wiguna. Sembari piknik, Desi juga menyerahkan sampah anorganik miliknya yang hendak didaur ulang ke salah satu stand di Pasar Wiguna. Di sisi lain, dia turut tertarik dan melihat-lihat produk pakaian yang dibuat secara ecoprint dengan pewarna alami dari tumbuhan. Nah, berbeda halnya dengan Selin yang justru tertarik dengan produk pemanfaatan bunga kering.

"Kalau aku lebih ke liat-liat (stand) pemanfaatan bunga. Dijadikan kayak batas buku, gantungan kunci, kayak gitu. Herbarium. Ya, Herbarium di pojokan," terangnya.

Menggabungkan dua latar belakang yang berbeda.

Sebagian besar tenant atau penjual di Pasar Wiguna memang tampak memiliki kesamaan, yakni produk-produk lokal dan ramah lingkungan. Setelah ditelisik lebih lanjut, Pasar Wiguna memang memiliki konsep eco-culture market yang mengusung tiga nilai, wellness (kesehatan), local culture (budaya lokal), dan less waste (minim sampah). Nilai inilah yang kemudian masih dijadikan patokan kuat oleh Risa Vibia dan Gilang Ramadan selaku otak di balik gelaran Pasar Wiguna.

"Ide awal itu sebenarnya itu aku sudah punya misi bikin pasar, dari kecil kayaknya, deh. Pengen bikin pasar. Kalau dulu kebayangnyaya pasar tradisional. Nggak kebayang kalau akan jadi event yang menurut aku besar, ya, ini. Terus kemudian aku pernah riset juga dengan pasar dan hubungannya dengan sustainability (keberlanjutan) di Yogya," kata Risa saat ditemui di sebuah kafe pada Rabu (13/12).

foto: brilio.net/annatiqo

Sejak berdirinya Pasar Wiguna pada April 2021 silam, Risa dan Gilang lantas menggunakan tiga nilai tadi sebagai konsep, desain, dan eksekusi Pasar Wiguna. Lebih tepatnya, Risa sebagai konseptor yang juga membawa nilai dari segi ekologi dan budaya. Sedangkan Gilang atau pria yang akrab dipanggil Gram bertugas mengaktivasi desain market (pasar) dari segi kreatif.

Kedua orang tersebut memang memiliki latar belakang kuat dari masing-masing bidang yang ditekuninya. Risa mengaku bahwa ketertarikannya di bidang lingkungan memiliki hubungan dengan sang ibu yang berprofesi sebagai guru biologi. Saat masih kecil, perempuan berkacamata ini dikenalkan dengan berbagai jenis tanaman. Hal tersebut kemudian membuatnya mempelajari lebih dalam tentang tanaman, khususnya tanaman lokal.

Selain ilmu dari sang ibu, Risa kemudian sempat belajar tentang ekofeminisme di bangku kuliah. Setelah lulus, dia sempat bekerja di perusahaan bidang sustainability and environment (keberlanjutan dan lingkungan). Dari situ, Risa lebih banyak mengeksplor diri lebih dalam mengenai isu lingkungan dan hal yang disuka. Termasuk hubungan isu lingkungan dengan persoalan sandang, pangan, dan papan.

"Jadi ternyata pekerjaan-pekerjaan yang aku ambil juga relate nya ke sustainability (keberlanjutan), gitu. Tapi ya tetap connecting the dots (menghubungkan titik-titik), namanya hidup, ya. Pasti kan kita ketemu yang segala macam rupa tiba-tiba. Oh ternyata kok ke sini, ke sini, ke sini terus, gitu. Maksudnya memang rootnya (akarnya) dari situ. Terus dari situ juga muncul valuenya wellness, local, less waste terbentuk. Yang itu kaitannya memang akhirnya, kesehatan manusia tuh nggak bisa terlepas dari keselarasan alam yang ada di sekitarnya, gitu. Jadi itu pemahaman yang juga ibu kasih ke aku," ujar Risa lebih lanjut.

foto: brilio.net/annatiqo

Berbeda halnya dengan Gram yang memiliki latar belakang desain kreatif. Dosen di salah satu universitas swasta di Purwokerto ini gemar membuat program dengan mengumpulkan para pelaku artisan. Artisan menjadi istilah yang mulai populer untuk menyebut pengrajin atau pekerja yang menghasilkan dan membuat barang-barang secara mandiri dengan tangan secara langsung (produk lokal skala kecil). Sejak awal 2019, dia mulai aktif mengumpulkan para artisan untuk berdiskusi atau sekadar melakukan tour demi memperkenalkan produk dari budaya lokal, khususnya di Yogyakarta.

Dari kegiatan itu juga, Gram bertemu dengan Risa yang juga mengumpulkan nama atau produk khas artisan tersebut. Mereka lantas berkolaborasi membuat sebuah wadah atau ruang demi memperkenalkan para artisan ini secara lebih luas ke masyarakat. Di tahap itu juga, mereka bertemu dengan Managing Director Ambarukmo, Haris Susanto yang kemudian menawarkan ruang atau tempat di Ambarukmo.

"Mas Haris dari Ambarukmo kebetulan memang sudah sering beberapa kali beliau ikut juga acara untuk program-program yang tadi 19 program (artisan) itu tadi. Nah, terus akhirnya kita sempat diskusi tentang 'gimana kalau coba mengaktivasi ruang ini, taman ini?' Terus di situ, awalnya kita coba develop (membangun) kurang lebih sebulan lah," terang Gram ketika ditemui secara terpisah dengan Risa di Pasar Wiguna, Minggu (17/12).

foto:brilio.net/annatiqo

Di beberapa bulan pertama, Pasar Wiguna memang hanya menampung para artisan sebagai kerabat karya (istilah untuk pedagang atau pihak yang menjual produk). Namun kini, Pasar Wiguna juga menampung UMKM lokal yang bisa membawa tiga nilai atau konsep tadi, yakni wellness, local culture, dan less waste. Kegiatan ini lantas mulai banyak dikenal ketika Risa dan Gram mulai menggandeng kerabat karya dari luar daerah, seperti Jawa Tengah, Bandung, dan Malang.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags