Brilio.net - Kepergian Presiden Republik Indonesia ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 11 September 2019 lalu belum hilang dari ingatan warga Indonesia. Kisah hidupnya dalam memimpin negara hingga keluarga selain disorot, juga dijadikan panutan. Sepak terjangnya di dunia penerbangan hingga kisah romantis dengan sang istri, Hasri Ainun Besari bahkan diangkat ke layar lebar.
Sejarah mencatat salah satu prestasi Bapak Teknologi Indonesia itu lewat pesawat N250 Gatot Kaca. Berkat tangan dingin sang putra bangsa, Indonesia berhasil memiliki pesawat pertama sendiri pada 1995 yang diproduksi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) atau sekarang PT Dirgantara Indonesia.
BACA JUGA :
6 Potret kebersamaan Putri Tanjung dan adiknya yang jarang tersorot
Tak hanya Habibie seorang yang terlibat dalam proses lahirnya pesawat N250 hingga mengudara di langit Nusantara. Banyak pihak yang ikut serta, termasuk pilot dan teknisi (engineer). Ada tujuh pilot dan delapan teknisi yang bergabung dalam proyek akbar ini. Mereka para pilot antara lain Captain Pilot Erwin Danuwinata, Captain Pilot Sumarwoto, Captain Pilot Mursanto, Captain Pilot Adi Budi, Captain Pilot Chris Sukarjono, Captain Pilot QA Supriyadi, dan Captain Pilot Jhon Bolton. Sementara deretan teknisi antara lain Ir Edwin Sudarmo, Ir Hindawan, Ir Setyo, Ir Djatmiko, Ir Yuares, Ir Satya, Ir Yustinus, dan Ir Nurcholis.
Captain Sumarwoto (duduk paling depan kanan) bersama tim yang mengoperasikan pesawat N250/foto: dok. pribadi keluarga
BACA JUGA :
7 Karya desain Didit Prabowo berunsur Indonesia ini kece abis
Salah satu pilot yang mencuat namanya dan sebelum berpulang kerap menjadi narasumber informasi dunia penerbangan Tanah Air adalah Captain Sumarwoto. Dia merupakan pilot dari TNI AU. Beruntung, Brilio.net berkesempatan mengetahui kisahnya menjadi pilot uji terbang pesawat ciptaan Habibie.
Sumarwoto ketika berpangkat Mayor dengan call sign Wivern "Eagle 18", tahun 1984-1985, berdiri di depan pesawat F-5 Tiger/foto: dok. pribadi keluarga
Meski pria yang memiliki pangkat terakhir Kolonel Penerbang itu telah berpulang pada 21 Desember 2015 lalu, masih ada cerita tersisa, kenangan abadi, dan cita-cita yang belum terwujud. Brilio.net menguliknya dari anak sulung sang kolonel, Indrihadi Bayu Wibowo (38).
Lahir dari keluarga anggota Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU, Sumarwoto tak lari jauh dari dunia militer. Prestasi pun pernah dia torehkan di dunia militer. Lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1978 itu menyabet predikat siswa terbaik angkatan 25 (XXV) saat menjalani pendidikan Sekolah Penerbang (Sekbang) TNI AU tahun 1979-1980. Selepas lulus Sekbang, Sumarwoto ditugaskan di Lanud Iswahjudi, Magetan. Pesawat A4 SkyHawk, Hawk 100, F16, F5, hingga Sukhoi 27-30 pernah dia terbangkan.
Kenangan Sumarwoto menerima trofi penghargaan lulusan terbaik Sekbang/foto: dok. pribadi keluarga
Sumarwoto mulai merambah penerbangan sipil ketika tawaran sebagai pilot uji terbang pesawat N250 datang. Kala itu tahun 1989, Sumarwoto yang berpangkat Mayor dan menjabat Komandan Wing (Danwing) tempur F5, dinilai memiliki kualifikasi uji terbang. Mengingat IPTN masih memiliki sedikit pilot dengan kualifikasi uji terbang, tak jarang kebutuhan pilotnya 'di-supply' TNI AU.
Circa 1990-1993, proyek N250 membawa Sumarwoto, kawan-kawan pilot lain, dan beberapa Flight Test Engineer ke Mojave, California, Amerika Serikat untuk menjalani training. Atas saran Habibie lah, mereka berangkat agar kemampuan semakin terasah.
"Dalam masa pendidikan tersebut, design dan kemampuan N250 semua disimulasikan menggunakan pesawat Learjet Bombardier dan Total Inflight Simulator, sehingga diharapkan baik pilot dan semua FT Engineer mampu dan menguasai teknologi N250, dan mampu menerbangkannya," tutur Indrihadi memutar ulang kisah sang ayah lewat surat elektronik yang dikirimkan pada Brilio.net belum lama ini.
Sumarwoto (berdiri paling kiri) saat menjalani flight test school di NTPS (National Test Pilot School) Mojave Air & Space Port, California, Amerika Serikat/foto: dok. pribadi keluarga
Bagi Sumarwoto, menjadi pilot uji terbang bukan tugas enteng. Meski penuh risiko dan melalui prosedur panjang, pria kelahiran Yogyakarta, 26 Agustus 1951 itu optimis semua berjalan lancar.
"Menurut beliau, asalkan semua SOP dijalankan dengan benar dan pengecekan dilakukan dengan baik, insyaAllah semua akan berjalan baik atas izin Allah SWT," papar Indrihadi yang sekarang berdomisili di Bekasi itu.
Kecintaan Sumarwoto pada dunia penerbangan tak ada habisnya. Setelah memutuskan pensiun dini tahun 2000, dia masih fokus melanjutkan karier di IPTN hingga 2012 sebagai Senior Test Pilot. Pria yang pernah mengajar di Bandung Pilot Academy itu juga sempat mengemban tugas sebagai Captain Pilot Dornier 328 di Xpress Air pada 20122015. Koleksi bukunya terkait dunia penerbangan juga banyak.
"Beliau sangat mencintai profesinya sampai-sampai enggan kalau ditugaskan di balik meja. Pernah dikasih jabatan posisi sebagai chief test pilot namun bapak menolak," terang pria yang bekerja di Manufacturing Automative Industries tersebut.
Selain dikenal sebagai pilot andal, kemampuan Sumarwoto mengenali jeroan sebuah pesawat juga layak diacungi jempol. Menurut Indrihadi, ayahnya selalu dicari untuk melakukan uji coba dan menganalisis problem sebuah pesawat. Setiap kali ada pesawat yang 'abnormal', Sumarwoto akan ditugaskan membawa terbang ferry menuju hanggar perbaikan.
"Analisis yang disampaikan kepada ground engineer selalu tepat dan membuat heran para engineer," ujar Indrihadi.
Sumarwoto dan cita-citanya tentang pesawat N250
Hingga menjelang akhir hayatnya, Sumarwoto masih aktif terbang walaupun usianya sudah lebih dari 64 tahun. Cita-cita terpendamnya adalah pesawat N250 bisa kembali diproduksi dan mengangkasa di langit Indonesia. Persis cita-cita Habibie sedari awal, ingin Indonesia berdaya membuat pesawat sendiri untuk menyatukan negara kepulauan ini sehingga pembangunan bisa lebih merata.
"Pesawat kebanggaan anak bangsa tersebut jangan dibiarkan mangkrak tidak terurus. Padahal dari sisi kemampuan sangat canggih di kelasnya dengan perawatan yang terbilang bersahabat," lanjut Indrihadi menirukan maksud Sumarwoto.
Sumarwoto (berdiri dua dari kiri) bersama mendiang BJ Habibie yang kala itu menjabatMenteri Negara Riset dan Teknologi/foto: dok. pribadi keluarga
Seperti diketahui, pesawat N250 yang pernah tampil dalam ajang bergengsi Paris Air Show Le Bourget 1997 itu kini diparkir di hanggar PT Dirgantara Indonesia. Rencana produksi massal pesawat N250 terpaksa berhenti lantaran krisis moneter pada 1998.
Proyek memassalkan pesawat tercanggih di kelasnya itu juga tersandung perjanjian Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Masih pada 1998, Indonesia membutuhkan bantuan pendanaan dari IMF. Mereka mau memberikan bantuan asal Indonesia tidak mengembangkan pesawat sendiri. Alhasil, pesawat bermesin turboprop (pembangkitnya menggunakan turbin gas untuk menggerakkan baling-baling) tersebut hanya parkir hingga kini. Rencananya, tak lama lagi pesawat berteknologi fly by wire dan kemudahan flight control itu akan menambah koleksi Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta.
Sumarwoto di mata keluarga
Di mata anak-anaknya, Sumarwoto adalah sosok yang sangat tegas sekaligus penyabar, pilot senior yang sangat dicintai orang banyak, kemampuan terbang yang mumpuni, serta cepat tanggap mengatasi masalah.
Meski Sumarwoto kerap meninggalkan keluarga untuk dinas keluar pulau, dia tetap menjalankan perannya sebagai ayah yang penuh kasih sayang. Tak heran jika dia tetap memenangkan hati ketiga putra-putrinya. Setiap kali libur, pilot yang hobi memancing serta mengoleksi batu cincin semasa hidupnya itu selalu menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta.
"Beliau adalah panutan bagi kami putra-putrinya. Kami paham bapak harus mengabdi tugas untuk negaranya. Untuk itu kami harus ikhlas," ujar Indrihadi mengenang sang ayah.
Berada di balik tuas kendali pesawatadalah semangat dan kebahagiaan tersendiri bagiSumarwoto/foto: dok. pribadi keluarga
Pada ketiga anaknya, Sumarwoto pernah berbagi cerita tentang karier yang amat dia cintai. Tak segan Sumarwoto memperkenalkan anak-anaknya untuk lebih dekat dengan pesawat yang dia kendalikan.
Indrihadi contohnya. Dia ingat betul kenangan diajak sang ayah naik kokpit pesawat tempur F5 saat usianya sekitar 5 tahun. Kebanggaan baginya duduk di kokpit, menggerak-gerakkan joystick pesawat, serta membayangkan menjadi pilot pesawat tempur.
Kenangan Indrihadi bersama sang ayah/foto: dok. pribadi keluarga
Tak berhenti di situ, Indrihadi juga pernah ikut terbang Tetuko CN235 dan beberapa produk CN235 dalam misi uji terbang. Dia masih SMA saat merasakan sensasi mesin dimatikan secara bergiliran, tes gravitasi, tes take off dari short runaway, dan masih banyak lagi.
"Seru pokoknya. Tentu semuanya sudah diperhitungkan dengan matang karena bapak sudah mengalkulasi semua risk-nya. Pengalaman berharga yang semua orang belum tentu bisa merasakannya," kenang Indrihadi.
Masih banyak cerita tentang Sumarwoto yang disimpan Indrihadi. Kebanggaan tiada terkira atas prestasi sang ayah semasa hidup. Begitupun kasih sayangnya yang akan selalu abadi dalam hati Indrihadi.
Meski tak mengikuti jejak sang ayah, antusiasme Indrihadi terhadap dunia penerbangan sama besar dengan Sumarwoto. Lewat tulisan-tulisan dunia dirgantara yang diterbitkan di internet, Indrihadi mencoba mengaktualisasikan diri. Sosok Sumarwoto telah banyak memberinya inspirasi dan motivasi.
"Dimulai sejak kecil munculnya rasa bangga menjadi anak seorang pilot, mencoba menulis sedikit-sedikit dalam tulisan sederhana namun tidak di-publish sampai akhirnya kisah N250 muncul. Bakat yang masih perlu banyak diasah dan waktu luang yang cukup," pungkas Indrihadi menutup cerita tentang salah seorang pahlawan uji terbang N250 Gatot Kaca, ayahnya.