Brilio.net - Keberadaan kaum waria di kalangan masyarakat Indonesia masih menjadi polemik tersendiri. Mereka sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang karena dianggap berbeda dan menyalahi kodratnya sebagai manusia. Tak hanya lingkungan yang membuat mereka terasing, bahkan ada juga yang keluarganya tak menerima mereka.
Pengalaman menyakitkan seperti ini pernah dialami Vinolia Wakidjo, seorang waria yang berasal dari Terban, Yogyakarta yang sering disapa Mami Vin. Terlahir sebagai seorang laki-laki, Vinolia tumbuh menjadi seorang anak dengan perasaan berbeda.
BACA JUGA :
10 Potret kisah bocah rawat dua adiknya ini bikin mewek
Ia suka bermain bekel dan bermain bersama anak perempuan sejak kecil. Saat itu ia belum mengerti betul tentang perasaannya tersebut. Beranjak remaja, Vinolia mulai merasakan bahwa ia memang berbeda dengan nalurinya sebagai perempuan bukan laki-laki.
Mengetahui jalan hidup yang ia pilih, keluarganya tak bisa menerima Vinolia. Waria berusia 62 tahun tersebut pun memutuskan untuk keluar dari rumah dan hidup di jalanan.
Vinolia juga mengaku kerap mendapat pukulan dari sang kakak. Hal itu semakin membulatkan keinginannya meninggalkan keluarga saat dia duduk di kelas 2 SMA pada tahun 1978 silam. "Keluarga aja tidak menerima, apalagi saudara. Jadi saya kaburlah, saya harus cari aman. Kalau di rumah sama kakak sering dipukulin," ungkapnya saat ditemui brilio.net, Senin (29/1).
BACA JUGA :
Octa Viantary, model trainer cantik & jadi Ketua RW di usia 23 tahun
Mami Vin/foto: Brilio.net/Nisa Akmala
Hidup sendiri di jalanan membuatbungsu dari enam bersaudara ini harus berjuang melawan kerasnya hidup. Dia harus berpikir dan bekerja keras untuk bisa menghidupi dirinya. Tapi, sangat sulit bagi waria untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Alhasil, sosok yang akrab disapa Mami Vin itu terpaksa terjun ke lembah hitam sebagai pekerja seks demi bisa menyambung hidup.
Selama bertahun-tahunpada era 80-90an sosok kelahiran 9 Mei 1958 itu menggeluti pekerjaan ini. Hingga akhirnya sebuah situasi sulit yang menimpa teman-temannya menjadi awal kehidupan baru baginya. Mami Vin tidak ingat kapan pastinya peristiwa itu terjadi, tapi di kepalanya terekam jelas bagaimana ketika itu banyak temannya sesama waria dan berprofesi seperti dirinya, positif terjangkit virus mematikan HIV/Aids.
Mami Vin kemudian terdorong untuk memeriksakan dirinya dengan melakukan tes HIV/Aids. Dia bersyukur karena hasilnya negatif. Dia yang tidak ingin mengalami penderitaan seperti teman-temannya, akhirnya meninggalkan profesi sebagai pekerja seks komersial. Bahkan Mami Vin tidak saja bertekat untuk berubah, melainkan juga berupaya membantu teman-temannya.
Dia akhirnya memutuskan untuk belajar mengenai HIV dan Aids dari yang paling dasar hingga bagaimana cara merawat orang dengan HIV/Aids (Odha). Mami Vin mulai rutin melakukan perawatan bagi para Odha pada tahun 1993 dengan bergabung bersama PKBI (Persatuan Keluarga Berencana Indonesia) sampai tahun 2015.
Di sanalah Mami Vin belajar banyak mengenai seluk beluk penyakit HIV. Dari tempat tinggalnya di daerah Gembira Loka, Mami Vin berangkat antara pukul 03.00-04.00 pagi ke rumah-rumah para penderita Odha di daerah Magelang dan Bantul dengan berjalan kaki.
"Saya lakukan tidak dengan naik bis karena tidak punya duit. Kalau jam 3 jam 4 jalan kaki kan nggak capek karena belum ada matahari," cerita Mami Vin.
Perjuangan pantang menyerah Mami Vin akhirnya dimudahkan saat lembaga UNAids mengajaknya berkerja sama dalam menjalankan program edukasi mengenai HIV dan Aids bagi komunitas waria. Mami Vin juga terjun secara langsung dalam merawat para Odha dan mendampingi mereka selama proses penyembuhan.
Yayasan Rumah Kebaya
Tahun 2006, Mami Vin bersama ke empat rekannya mendirikan sebuah yayasan bernama Rumah Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta). Jalan yang harus dilalui Yayasan yang berada di Jalan Gowangan Lor, Yogyakarta ini tidak selalu mulus. Ketika bantuan dari UNAids hanya bertahan selama empat tahun (2006-2010), organiasi ini nyaris tak ada kegiatan karena kendala dana. Sejumlah pengurus pun akhirnya tak tahan dan mengundurkan diri. Padahal, kasus-kasus HIV/Aids yang menimpa para waria semakin banyak ditemui.
Mami Vin dan Rumah Kebaya/foto: brilio.net/Nisa Akmala
Mami Vin yang tidak putus asa, tetap meneruskan Rumah Kebaya bersama dua rekannya, Mami Ruli dan Mak Onah. Yayasan ini pun perlahan tapi pasti masih terus melayani warga, mulai dari waria maupun gay dengan latar belakang status sosial beragam, dari PSK, pekerja swasta, PNS, ibu rumah tangga, hingga mahasiswa.
Mami Vin menggunakan uang pribadi yang didapat dari upah menjadi pemateri berbagai seminar, maupun honor dari tugasnya sebagai dosen tamu untuk menggerakkan Rumah Kebaya. Sejak tahun 2010, waria kelahiran Mei 1958 tersebut sering didaulat sebagai narasumber acara-acara di dalam dan luar negeri. Dia juga menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Yogyakarta.
Mami Vin juga menggunakan gajinya dari bekerja di Victory Plus, lembaga yang bergerak di bidang penanganan Odha, untuk kebutuhan Rumah Kebaya. "Memang ya kalau namanya ikhlas pasti ada saja (jalannya)," tuturnya.
Baru mulai tahun 2015, Rumah Kebaya mendapat bantuan dari Dinas Sosial. Tapi, bantuan itu hanya menjangkau lima orang dalam 10 bulan. Padahal Rumah Kebaya menampung lebih dari delapan orang yang silih berganti datang dan pergi. Sudah ada ratusan penderita HIV/Aids dari seluruh Indonesia yang berhasil disembuhkan lewat ketelatenan Mami Vin dan para pengurus Rumah Kebaya yang jumlahnya 10 orang.
Mengenai metode perawatannya sendiri, Rumah Kebaya tak hanya fokus dengan penyakitnya, tapi juga memulihkan psikis penderita. Dengan dukungan dan motivasi, sehingga para Odha bisa bangkit dan kembali menjalani hidup meskipun mereka harus ketergantungan dengan obat seumur hidup. Para penderita Odha yang sudah meninggalkan Rumah Kebaya kini sudah mulai menjalani hidupnya kembali dengan normal, sebagian juga sudah ada yang bekerja kantoran.
"Di sini saya benar-benar rela berkorban apa saja. Waktu, dana, hati, tenaga dan pikiran. Tapi, saya senang," tegas Mami Vin.