Brilio.net - Bagi sebagian kalangan, IPK kuliah adalah segalanya. Tak hanya sebagai patokan berhasil atau tidaknya perkuliahan, tapi seringkali dianggap sebagai jaminan masa depan.
Namun hal ini sepertinya tak berlaku bagi Yoyok Dwi Prastyo. Walau saat kuliah ia harus menempuh selama tujuh tahun dan dengan IPK 'hanya' 2,71, ia kini menjadi penulis yang telah menelurkan banyak buku dalam berbagai genre.
BACA JUGA :
Ternyata Moammar Emka sekali 'ngetweet' dihargai jutaan rupiah, wow!
Gilanya lagi, ia berhasil menulis dua buku dengan genre yang berbeda dalam waktu yang bersamaan dan selesai dalam sebulan saja. Lalu bagaimana awal kisahnya?
Yoyok mulai menulis sekitar tahun 2006/2007. Saat itu ia membuat LKS (Lembar Kerja Siswa) bersama tiga kawan seprofesinya. Namun setelah menikah, ia mulai menganggap kegiatan menulis adalah hal yang wajib untuk memperoleh penghasilan tambahan.
Ia pun mulai menulis buku berbahasa Prancis. Buku pertamanya adalah LKS dengan judul Bonjour, kemudian disusul Je suis le meilleur. Tak disangka penjualan kedua buku ini terbilang baik.
BACA JUGA :
15 Kalimat sakti ini bikin kamu nggak ragu lagi untuk jadi penulis
Yoyok lantas semakin mantap berkarya. Hingga berhasil menghasilkan buku lain berjudul Gnial, Mieux, Curieux 1, Curieux 2, Coucou, dan Coucou 2. Kesemua buku itu adalah buku pelajaran Bahasa Prancis yang digunakan di beberapa kabupaten di Jawa Tengah.
Buku-buku Prancis inilah yang membuat pria berkacamata ini semakin semangat berkarya. Yoyok pun mencoba terjun ke penulisan buku berbahasa Indonesia. Buku berbahasa Indonesia pertamanya adalah Bahkan Einstein pun Berduka.
BACA JUGA:12 Meme 'beda pacaran dan jomblo' ini bikin jombloers makin ngenes
Kegemarannya menulis buku Prancis membuat Yoyok memperoleh beasiswa kuliah singkat di Prancis. Pulang dari Prancis, sebuah penerbit memintanya untuk membuat buku. Waktu itu ia hanya diberi waktu satu bulan untuk merampungkan buku dengan ketebalan minimal 200 halaman.
Tentu saja ini sangat menantang, apalagi saat itu ia sudah kadung menawarkan pada penerbit Narasi sebuah naskah yang merupakan lanjutan dari kisah Kyai Sandal Jepit. Jadilah kemudian dalam jangka satu bulan ia harus merampungkan dua naskah yang memiliki genre berbeda. Satu buku pendidikan sedangkan satunya lagi adalah buku religi.
Ia pun mengerjakan buku itu secara bersamaan. Bersamaan di sini maksudnya benar-benar dalam waktu yang sama. "Saya buka dua jendela Word. Jika pikiran saya pas tidak dapat menulis yang buku pendidikan, maka saya tulislah yang religi, begitu sebaliknya," kata pria yang saat sekolah pernah dibilang syaraf (gila) oleh gurunya ini.
Bagi Yoyok, cara mengetik marathon ini sungguh menguras tenaga, namun bagus untuk menjaga ritme dan irama. Ia kemudian bercerita, ada kalanya pikirannya mampet, apalagi saat mendekati deadline. Di saat pikiran mampet itulah ia mengobatinya dengan salat malam, atau sekadar minum kopi.
Gilanya lagi, saat menulis dua buku itu ia juga harus sambil mengurus anaknya. "Biasanya saya mulai mengetik jam 2 malam. Namun, di jam-jam tersebut biasanya anak saya bolak-balik ke kamar mandi, jadilah saya mengetik sembari mengantar anak ke kamar mandi," ceritanya.
Dengan model mengetik di atas, maka dalam satu bulan dua buku yang menjadi target dapat ia selesaikan. Dua buku itu adalah "Guru Monyet, Bukan Guru Biasa", dimana buku itu sukses masuk ke dalam jajaran buku best seller Gramedia. Dan satu lagi berjudul "Beruntungnya Si Bahlul".