Brilio.net - Siapa sih yang nggak kenal Rhenald Kasali? Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini dikenal sebagai sosok reformatif pembawa arus perubahan. Makanya nggak heran jika founder Rumah Perubahan ini nggak hanya dikenal di kalangan generasi tua. Tapi dia juga cukup akrab di mata anak muda.
Maklum, sosok yang meraih gelar profesor dari UI pada 2009 itu memang dikenal sebagai akademisi yang selalu berpikir out of the box. Gaya penyampaian gagasan dan idenya juga tidak menggurui. Cenderung mendengarkan dan memberikan solusi.
BACA JUGA :
Koleksi bunga bangkai Rhenald Kasali mekar Senin, tertarik melihat?
Soal produktivitas menyampaikan gagasan lewat tulisan, sosok penyuka gajah ini nggak diragukan lagi deh. Gagasannya sering dituangkan dalam kolom di berbagai media massa. Selai itu sederet buku terus dia tulis. Hebatnya lagi, buku-bukunya selalu mengikuti tren perkembangan zaman.
Tak heran jika baru-baru ini Rhenald dinobatkan sebagai Writer of the Year oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) di ajang International Book Fair 2018 di Jakarta.
BACA JUGA :
7 Kisah unik mahasiswa yang pergi keluar negeri sendirian, kayak apa?
IKAPI menilai Rhenald sebagai penulis Indonesia yang berpengaruh. Buku-bukunya selalu menjadi best seller, pandangan-pandangannya dikutip sebagai referensi kaum muda dan para pemimpin.
Setiap kali kolomnya terbit selalu viral dan turut meluruskan segala kesimpangsiuran. Dialah orang pertama yang memaksa masyarakat Indonesia agar berwirausaha pada tahun 1998-2000 saat terjadi gelombang PHK besar-besaran.
Ia juga yang memperkenalkan pentingnya perubahan. Hal inilah yang dia tuangkan dalam buku Change! Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda Tempuh, Putar Arah Sekarang Juga.
Lalu, begitu sejumlah orang menuding masalah menurunnya daya beli, dia pula yang menjelaskan penyebabnya, lewat buku efek Disruption (2017). Tahun ini, pandangan-pandangannya menjadi fenomenal karena uraiannya yang menggoda dalam buku The Great Shifting yang menjadi top book sale mengalahkan buku-buku fiksi.
Manusia punya kecenderungan untuk lebih percaya pada cerita (fiksi) ketimbang fakta atau data, ujar Rhenald saat menerima anugerah Writer of the Year 2018.
Pria kelahiran Jakarta 13 Agustus 1960 yang tahun ini juga dinobatkan sebagai pemikir manajemen kelas dunia nomor 22 oleh yayasan The Global Gurus dalam orasinya menjelaskan, di era disrupsi seperti sekarang semuanya menjadi rumit. Karena mesin pintar mempunyai fitur filter bubble yang membuat manusia tenggelam dalam realitas subyektifnya masing-masing.
Mesin pintar dengan kecerdasan buatan itu bisa membaca keinginan manusia, sehingga bukan lagi fakta, melainkan cerita-cerita yang memuaskan batin yang sampai ke tangan masing-masing manusia Indonesia, ujarnya.
Dengan demikian, maka peran akademisi sebagai penjaga pintu gerbang ilmu menjadi lebih rumit. Akademisi dengan keahlian nonfiksi dituntut mengartikulasikan kebenaran dalam bentuk cerita untuk turut mencerdaskan bangsa karena di tangan ilmuwan yang teguh, setiap informasi harus melewati proses validasi.
Ketidakmampuan para akademisi melakukan hal itu bisa berakibat fatal bagi masa depan persatuan bangsa, kedamaian, dan kemajuan. Masyarakat akan dipenuhi ruang-ruang kosong kebenaran yang lalu diisi oleh hoax, cerita-cerita yang menakutkan namun menorehkan luka-luka dan kebencian.
Maka, di negeri ini critical thinking dan big picture thinking menjadi suatu kemewahan. Di situlah ilmuwan nonfiksi menghadirkan gagasannya, membuka mata masyarakat, tutup Rhenald.
Semoga Pak Rhenald terus menggelorakan semangat perubahan di era disruptif lewat tulisan-tulisan yang membangun pemikiran positif.