Brilio.net - Manusia memiliki banyak sekali cerita dalam hidupnya. Saya, kamu, kita semua punya cerita yang menarik. Saya sendiri senang mendengarkan kisah-kisah hidup orang lain. Dari sana saya belajar banyak, punya pengalaman dan pandangan baru akan suatu hal.
Kali ini saya beruntung dipertemukan dengan seorang pria yang memiliki pengalaman segudang. Kisah hidupnya yang pelik memberikan inspirasi buat saya. Meski usianya hampir setengah abad, namun semangatnya luar biasa. Pepatah "tidak ada kata terlambat" memang pantas menggambarkan perjalan hidup pria bernama Dodok ini.
BACA JUGA :
Bingung cari kerja, mahasiswa ini ubah kecintaannya pada kucing jadi untung jutaan rupiah
Mungkin kamu pernah mendengar namanya lewat cerita-cerita orang atau sebuah tulisan di media online. Nggak heran memang, belakangan Dodok cukup terkenal lantaran berhasil menjadi Stand Up Comedian atau komika di usianya yang terbilang sudah tidak muda lagi.
Melihat kesuksesannya sekarang saya tertarik untuk mengetahui lebih banyak soal Dodok. Dari cerita-cerita orang, dia sosok yang cukup mengagumkan. Datang dari latar belakang bukan siapa-siapa namun kini menjadi sosok yang dikagumi banyak orang.
Di sebuah kompleks sekretariat LKis di bilangan Banguntapan, Bantul, persis di halaman depannya terdapat warung kopi, dan disanalah saya bertemu dengan Dodok. Tepatnya pada Senin (15/1). Layaknya tempat ngopi pada umumnya, tempat ini juga cukup ramai dengan mahasiswa yang berkutat dengan tugas mereka. Tak sedikit pula pengunjung yang sekadar nongkrong sambil menikmati secangkir kopi khas Jawa Timur.
BACA JUGA :
Mengintip kisah juang para mahasiswa "burung hantu", minim tidur demi cuan
Hidup dari jalanan sebagai pengamen
Malam itu terasa cukup hangat. Langit terang, tak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda akan hujan. Saya menikmati setiap hirupan kopi dan mendengarkan selentingan candaan dan tawa dari meja-meja pengunjung.
Menyadari tujuan saya adalah bertemu Dodok, saya pun berusaha untuk fokus dan mengabaikan suara-suara di sekitar. Saya mulai mencari-cari topik menarik untuk mencairkan suasana, sampai akhirnya pria 46 tahun itu mulai menceritakan kisahnya yang sangat menarik.
Dodok menceritakan bagaimana perjalanan masa mudanya yang dihabiskan di jalan, menjadi pengamen, membentuk band, berkecimpung dalam aktivisme, sampai akhirnya menjadi pelawak lewat kesenian Stand Up Comedy.
Saya mendengarkan dengan saksama ketika Dodok menceritakan masa mudanya. Bukan soal pendidikan, bukan prestasi, namun Dodok lebih senang menyebutnya dengan istilah "urakan", saking tidak ada masa depan yang tergambar dalam kehidupannya kala itu.
Memiliki jiwa bebas sebagai anak muda, pendidikan bukanlah prioritasnya kala itu. Terbukti, Dodok meninggalkan bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan beraksi sebagai pengamen jalanan. Kemudian pada 1995 dia melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA), namun hanya hitungan bulan saja dia sudah terlibat perkelahian hingga berakhir di kantor polisi.
Saya ingat betul bagaimana cara Dodok menuturkannya malam itu. "Aku lahir di Jogja, tahun 1977. Sekolah di Jogja terus berhenti sekolah (saat SMP), terus aku ngamen itu tahun 1993 untuk mencari uang, terus tahun 1995 aku sekolah lagi (SMA) tapi baru beberapa bulan langsung ditangkap polisi, berantem. Pokoknya ra keru-keruan lah." Saat Dodok bercerita, saya hanya bisa tersenyum, dan sesekali tertawa. Mengingat betapa badungnya pria satu ini.
Sempat mendekam dipenjara, Dodok pun akhirnya bebas. Namun dia tidak menyelesaikan pendidikan. Dodok muda akhirnya bekerja serabutan. Kebanyakan waktunya dihabiskan untuk mengamen. "Setelah keluar (dari penjara), udah nggak sekolah, ya aku ngapa-ngapain aja pokoknya, jadi tukang batu, ngamen, ke Jakarta, wah pokoknya kemana-mana lah."
Obrolan penuh nostalgia ini membuat saya semakin penasaran dengan sosok Dodok. Saya ingin malam ini berlangsung lama, agar saya bisa mendengar Dodok bercerita lebih banyak.
Sebagai orang yang kerap bersentuhan dengan jalanan, Dodok cukup peka akan lingkungan sekitarnya. Akhir dekade 90-an, dia mulai tertarik dengan isu-isu yang sedang ramai diperbincangkan. Dodok berceripa pada saya, dia mulai tertarik dengan dunia aktivisme. Ketertarikan ini berawal dari rasa penasarannya terhadap kegiatan mahasiswa kala itu yang sedang masif menuntut lengsernya rezim Orde Baru.
"Ini ngapain sih mahasiswa enak-enak belajar kok pakai demo segala, baliho tuntutannya besar sekali saya lihat waktu itu di IAIN Jogja (sekarang UIN Jogja) tertulis: 'turunkan harga!', saya lihat kok tuntutannya nggak mahasiswa banget lho. Nah, disana aku ngerasa lho ternyata yang diperjuangkan ini aku," cerita Dodok yang tampak mengingat-ingat kejadian masa lalu. Dari situ lah akhirnya Dodok turut ikut dalam banyak aksi demonstrasi.
Mendengar kisah masa lalu Dodok ini membuat saya geleng kepala. Saya semakin antusias dan ingin tahu lebih banyak. Sambil menyeruput kopi, saya terus menatap Dodok, berharap dia tidak bosan menceritakan pengalaman hidupnya pada saya.
Dodok melanjutkan, kala itu dia bak tersengat aliran listrik. Dia tergerak untuk menginisiasi berbagai ide. Dodok membuat organisasi pengamen, serta sebuah band bernama Spoer yang kini telah berusia 25 tahun.
"Aku ngamen seneng lagu-lagu kritik sosial. Iwan Fals, dan juga beberapa juga bawain lagu Koes Plus. Biasa ngamen ya di IAIN itu. Kalau siang udah dapat uang, main ke tongkrongan di Malioboro. Nah, sepanjang pengalaman ngamen itu akhirnya muncul keresahan kalau anak jalanan sering kena razia, jadi kepikiran bikin organisasi kayak mahasiswa-mahasiswa itu. Terus juga bikin band Spoer yang sekarang usianya sudah 25 tahun," ujar Dodok sambil tersenyum.
Perjalana panjang dan berkutat dengan dunia jalanan terus berlangsung hingga era 2000-an. Namun Dodok tidak hanya sekadar hidup dan besar di sebagai anak jalanan. Dia memiliki misi yang cukup besar. Buktinya, Dodok berhasil membangun jaringan dengan banyak organisasi kaum miskin kota, dari banyak kota di Indonesia.
Dari situ, Dodok aktif dalam berbagai kegiatan advokasi. Salah satunya membuat gerakan "Jogja Ora Di Dol", sebagai respon dari maraknya pembangunan hotel yang berimbas pada fenomena kekeringan air di dusun Miliran, Muja Muju, Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
"Di Jogja sendiri aku menginisiasi Jogja Ora didol sebagai respon kekeringan di dusun tempat tinggalku di Miliran." Ucapan Dodok ini membuat saya mengangguk salut dengan apa yang sudah dia lewati.
Malam itu saya merasa banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil dari cerita Dodok, terutama tentang semangat juang. Soal kenakalan di masa lalu seperti apa yang diceritakan Dodok, saya jadikan itu sebagai pelajaran pula. Tidak satupun dari kisahnya yang saya nilai tidak berbobot. Kembali lagi, kita semua punya cerita menarik.
Di sela-sela obrolan saya sesekali melirik arloji, memastikan masih banyak waktu untuk mendengarkan cerita-cerita menarik Dodok.