Brilio.net - Soal kuliner, Yogyakarta bisa dibilang menjadi salah satu kota yang memanjakan para pemburu kuliner. Bagaimana tidak, di Yogyakarta kamu bisa menemukan berbagai cita rasa kuliner yang harganya sudah pasti bersahabat. Salah satu makanan khas Yogyakarta yang wajib diburu adalah gudeg.
Ada begitu banyak rekomendasi tempat makan gudeg yang bisa jadi pilihan kamu buat sarapan atau makan malam. Salah satu tempat gudeg yang legendaris adalah milik Mbah Waginah di Jalan Kabupaten, KM 1,5, Sleman, Yogyakarta. Meskipun dijual di sebuah tempat sederhana, namun rasa gudeg buatan Mbah Waginah ini nggak kalah dari tempat-tempat lainnya lho.
BACA JUGA :
Rumah reyot dibongkar, lansia ini ternyata punya berkarung-karung uang
foto: brilio.net/Ivanovich Aldino
Di usianya yang sudah 95 tahun, Mbah Waginah masih gesit mempersiapkan dagangannya sendiri. Setiap harinya, ibu dua orang ini berjualan dari pukul 06.00 hingga 10.00 WIB. Tak sendirian, Mbah Waginah juga dibantu seseorang yang membantunya mempersiapkan dagangan sejak beberapa tahun belakangan ini.
BACA JUGA :
Berusia satu abad, nenek ini kuat gendong kayu naik-turun bukit
Meskipun sudah memiliki tenaga bantuan, namun Mbah Waginah tetap meracik masakan gudegnya sendiri. Resep untuk gudegnya tersebut masih ia pertahankan selama 45 tahun lamanya. Mbah Waginah sendiri baru berjualan di Jalan Kabupaten sejak 17 tahun lalu. Sebelumnya, Mbah Waginah pernah berjualan di kawasan Baselo, Yogyakarta.
Setiap hari, Mbah Waginah terbiasa menyiapkan gudegnya yang masih dimasak dengan kayu bakar sejak subuh seorang diri. Untuk urusan belanja, Mbah Waginah dibantu sang anak yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Para penjual seperti ayam dan krecek juga sudah terbiasa mengantarkan dagangannya untuk Mbah Waginah.
Puluhan tahun berjualan gudeg, Mbah Waginah tentu saja sudah merasakan jatuh bangun sebagai pedagang berkali-kali. Meskipun termasuk salah satu gudeg yang legendaris, namun dagangan Mbah Waginah tak melulu ramai. Perempuan asli Sleman ini mengungkapkan jika gudegnya kadang hanya laku 3-4 porsi. Sebaliknya, jika sedang ramai, Mbah Waginah bisa beberapa kali mencuci piringnya yang hanya berjumlah 7-8 piring.
"Kalau pas ramai pembeli, piring saya 7-8 piring itu bisa beberapa kali dicuci pakai. Ya ini sudah seminggu masih sepi. Nggak ada orang yang makan di tempat," ungkap Mbah Waginah dalam bahasa Jawa kepada brilio.net, Rabu (24/4).
foto: brilio.net/Syamsu Dhuha
Mbah Waginah memang tak banyak menyediakan banyak piring di warungnya, lantaran para pembeli biasanya membungkus gudeg Mbah Waginah untuk disantap di rumah. Kondisi warung yang sepi, menjadi duka tersendiri bagi Mbah Waginah sebagai pedagang. Jika warungnya sepi, Mbah Waginah mengaku tak memiliki modal yang cukup untuk bisa berjualan untuk esok harinya.
"Kalau ramai pembeli ya senang, tapi kalau seperti (sepi) ini ya susah. Buat modal lagi nggak ada," ujar Mbah Waginah.
Mulai banyaknya penjual gudeg yang hampir bisa ditemui di beberapa titik di Yogyakarta, diakui Mbah Waginah cukup berpengaruh kepada dagangannya. Mbah Waginah mengungkapkan, jika dulu ia bisa menghabiskan semua gudegnya hanya dalam tiga jam, yakni dari jam 06.00-09.00 WIB. Maka sekarang hal tersebut sudah jarang dialami Mbah Waginah.
"Dulu waktu belum banyak saingan, jam segini (09.00 WIB) sudah pulang. Gudeg satu panci, telur satu panci, ayam satu panci, bubur satu panci, nasi seperti ini sudah habis. Jam segini sudah pulang. Kalau sekarang ini, jam 10 kadang masih belum laku setengah," jelas perempuan kelahiran tahun 1924 ini.
Beberapa waktu lalu, gudeg Mbah Waginah sempat menjadi salah satu buruan para penggemar gudeg setelah beberapa akun makanan di Instagram di Yogyakarta mempromosikan dagangannya. Sejak saat itu, gudeg Mbah Waginah juga diliput beberapa media. Diakui Mbah Waginah, hal tersebut memberikan efek positif bagi warungnya. Namun sayang, kondisi warungnya yang ramai tak bertahan lama.
foto: brilio.net/Syamsu Dhuha
"Setelah diliput, dalam setengah bulan itu ramai. Tapi setelah itu ya mulai sepi lagi nggak ada pembeli. Biasanya masih ada orang yang mencari-cari, setelah ini nggak ada yang beli lagi. Paling ya orang-orang sini yang lapar," keluh Mbah Waginah.
Meskipun begitu, semangat Mbah Waginah untuk berjualan gudeg tak pernah luntur. Di usianya yang tak muda lagi, Mbah Waginah tetap bertahan untuk menjajakan gudegnya. Menjadi yatim piatu sejak kecil saat masa penjajahan membuat Mbah Waginah tak terbiasa untuk berdiam di rumah tanpa kegiatan. Berjualan gudeg ini tak hanya dijadikan sumber penghasilan, namun juga untuk mengisi hari-harinya.
"Saya nggak betah di rumah cuma duduk-duduk aja, bosan. Lebih suka di warung, paling nggak bisa lihat kendaraan lalu lalang," ungkap Mbah Waginah.
Hal tersebut juga membuat Mbah Waginah begitu semangat untuk segera berjualan setelah dirinya harus libur selama lima bulan. Ya, Mbah Waginah sempat menutup warung gudegnya selama lima bulan lamanya lantaran ia harus beristirahat paska menjalani operasi daging tumbuh di pahanya beberapa waktu lalu. Mbah Waginah memang tinggal seorang diri setelah suaminya meninggal dunia 15 tahun lalu. Sedangkan kedua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah.
Buat kamu yang nggak terlalu suka dengan rasa gudeg yang manis, gudeg Mbah Waginah ini bisa jadi rekomendasi sarapan buat kamu. Cukup dengan Rp 8.000 kamu bisa menikmati sepiring bubur gudeg yang lembut dengan rasa gurih dari kuah areh, dan rasa pedas dari kuah sayur kacang tolo dan krecek serta lauk telur gudeg yang empuk dan lembut. Tak hanya telur, gudeg Mbah Waginah juga menyediakan lauk ayam kampung yang hanya dibanderol Rp 12.000-Rp 15.000. Buat kamu yang suka bubur, bisa menggantinya dengan nasi.