Brilio.net - Siang itu, seperti hari-hari sebelumnya, Ode menyempatkan diri ke rumah tua bercat kuning. Ia menyebutnya studio. Rumah sewa di daerah Ngaglik, Sleman ini digunakannya sebagai tempat produksi kaos "Dreammerch", bisnis sablon kaos yang ia dirikan setelah pandemi.
Di sana ia bekerja bersama Hendri, satu-satunya karyawan yang bertahan sejak bisnisnya berantakan lantaran badai pandemi empat tahun lalu. Bisnis restoran yang awalnya jadi faktor kejayaannya sebagai pengusaha, luluh lantak. 70 Karyawannya terpaksa pergi satu-persatu karena sudah tak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan. Semua aset terpaksa dijual untuk menutupi kerugian, dan tanggungan gaji karyawan.
BACA JUGA :
Sempat tolak pekerjaan di kapal pesiar, pria ini justru sukses jualan mi biangbiang otentik ala Cina
"Sisanya cuma mesin press satu ini," ucap Ode sambil memperlihatkan seonggok mesin press kaos di ruang tengah rumah produksinya ini, Senin (27/5).
Setelah semuanya habis, kini Ode memulai kembali usaha barunya itu. Setiap siang, kegiatan mengecek persediaan kaos, menerima pesanan, merencanakan pengiriman, sampai membuat konten promosi, semuanya dilakukan di ruang tengah rumah berubin jadul tersebut.
"Tadinya ada rumah di seberang sana. Tapi yang punya katanya mau dijual. Yaudah deh pindah kesini," ujar Ode sambil menunjuk arah selatan dari rumah cat kuning tersebut.
BACA JUGA :
Nasib cemerlang bayi kembar siam pertama di Indonesia, dari operasi rumit hingga sukses menjadi dokter
foto: Odesensei
Nama lengkapnya La Ode Ilham. Pria 31 tahun ini datang dari ujung timur Indonesia, tepatnya Serui, Papua. Ia datang ke Jogja menjadi mahasiswa UII jurusan Teknik Elektro pada 2010 silam.
Ode tak seperti kebanyakan rekan sejawatnya sesama Papua, yang setelah kuliah mengincar pekerjaan di tambang, atau menjadi pegawai negeri di instansi pemerintahan. Ode yang orang tuanya pedagang, menganggap bekerja menjadi pegawai bukanlah pilihan dalam hidupnya. Ode hanya kenal satu cara untuk menghasilkan uang: berdagang.
Bahkan, meski berstatus sarjana, Ode tak pernah berpikir menggunakan ijazahnya sebagai alat untuk mencari kerja. Sebab menurutnya, kuliah hanya untuk cari ilmu dan relasi. Mau cari uang, ya dagang.
"Saya ke Jogja 2010, kuliah teknik elektro UII. Pas itu ya udah dagang-dagang. Karena orang tua di Serui ya dagang juga di pasar. Kalau di pola pikir saya tidak opsi untuk bekerja. Jadi pikiranku, nyari uang ya dagang. Kuliah cuma cari ilmu, wawasan dan relasi, sudah," katanya ketika ditemui brilio.net, Senin (29/5).
foto: Odesensei
Sejak kuliah ia pun sudah mulai berdagang. Ode menyebutnya sebagai eksperimen bisnis. Pasalnya, usaha yang ia lakukan cenderung random dan tidak berhasil. Ode pernah ternak lele, sidat, sampai unagi. Namun namanya eksperimen, usahanya mangkrak alias tak menghasilkan cuan. Uniknya, Ode tidak menyesal. Ia menganggap kalau saat itu ia seperti baru mencoba game baru. Jika gagal menjajaki permainan awal, itu hal yang wajar.
"Dulu pernah ternak lele, sidat, unagi yang pasar ekspornya ke Jepang. Tapi nggak jadi ekspor karena gagal hahaha. Tapi nggak apa-apa, karena kalau aku tuh gini, dagang tuh ya kayak permainan gitu. Kita tes, coba-coba dulu, kita lihat dulu nih, oh ternyata ada prospek, kendala begini. Jadi kalau permainan pertama gagal yang penting kita jadi tahu cara mainnya gimana," tutur Ode.
Udara Sleman siang itu semakin mendung, namun obrolan kami justru tambah hangat. Ode melanjutkan kisahnya.
"Saya lulus 4 tahun. Abis itu mulai coba jualan jersey bola. Lumayan laku. Tapi saya pikir jersey kan musiman jadi saya mau jualan kaos yang kapan aja tetap laku. Makanya saya bikin brand kaos. Nanya VOP, Voice Of Papua. Kaos yang desainnya gambar tulisan yang Papua banget lah," katanya pada brilio.net, Senin (29/5).
foto: Odesensei
Usahanya membuahkan hasil. Omset yang didapatkan berkembang. Semulanya Rp 5 juta perbulan, jadi Rp 10 juta, sampai puncaknya ada di omset Rp 75 juta dalam sebulan pada 2016. POV pun berkembang menjadi brand kaos kepercayaan anak-anak Papua khususnya yang merantau di Yogyakarta.
"VOP tuh termasuk brand tertua untuk brand pakaian di Papua. Dan sampai sekarang yang masih ada ya ini POV. Karena kita segmented pasarnya khusus anak-anak Papua," ujar Ode pada brilio.net.
Pada pertengahan 2019, Ode pun melebarkan sayap bisnisnya ke bidang kuliner. Berawal dari keberhasilannya mengerjakan proyek digital marketing sebuah restoran daging sapi, ia tertarik untuk mendirikan usahanya sendiri. Ia membuat usaha makanan kari dan lumpia basah.
Gayung bersambut, usahanya gacor. Pasar mahasiswa yang gemar kulineran di tempat yang estetik menjadikan restoran karirnya melejit. Ode berhasil menggandakan gerai makanannya menjadi empat cabang di empat titik berbeda di Yogyakarta.
Karyawannya makin banyak, omsetnya pun mencapai nilai yang besar sebanyak Rp 65 juta sehari. Namun, kejayaannya hanya bertahan hingga triwulan pertama di tahun 2020. Wabah pandemi Covid-19 menjadi badai yang menghempaskan semua bangunan bisnisnya.
Ketatnya protokol kesehatan bikin gerainya sepi. Pemasukan menurun drastis, untung tak ada, sementara pengeluaran harus tetap dilakukan. Alhasil, kerugian besar yang menimpa bisnis kulinernya adalah pil pahit yang harus ditelan Ode sepanjang pertengahan 2020 hingga awal 2022.
"Usaha spesial kari itu sampai buka empat cabang. Alhamdulillahnya omset sehari tuh bisa Rp 65 juta sehari. Pandemi itu ya bikin semuanya hancur. Ya mungkin kesalahan saya juga. Salah spekulasi gitu. Saya mikirnya pandemi itu akan selesai paling lama April 2021. Ternyata masih lanjut," tutur Ode pada brilio.net.
Bak ikutan mendengar cerita kami, langit terlihat semakin kelabu. Saya tak menghiraukannya sebagaimana sebagaimana Ode juga tak mau berlama-lama menghiraukan kondisi terpuruknya saat itu.
Bangkrutnya usaha kuliner milik Ode diiringi dengan penjualan semua aset. Hasil penjualannya dipakai untuk menutup utang usaha, dan melunasi tanggungan gaji karyawan yang belum dibayar. Dari total 70 karyawannya yang awalnya ia pertahankan, semuanya pergi kecuali satu orang bernama Hendri.
"Pas masa-masa sulit itu, saya nggak pecat satupun karyawan. Tapi karena akhirnya bangkrut ya mau gimana lagi, pada pergi satu-satu. Dan akhirnya kalau aku simpulkan ya mereka nggak peduli sama bisnisku, yang ada malah makian ke aku. Yaudah akhirnya aset semuanya dijual, sama lunasi semua gaji-gaji mereka," ujar Ode kembali mengenang, Senin (29/5).
Bersamanya Hendri, Ode mencoba bangkit dengan kembali berdagang kaos, bisnis yang jadi akarnya sebagai pengusaha. Dengan bermodal satu mesin press, Ode mulai menjadi produsen kaos yang ia jual secara online.
"Dengan bermodal satu mesin itu aja akhirnya saya balik lagi jualan kaos. Sisanya ya saya beli dengan cara nyicil kayak HP ini buat kebutuhan konten ya akhirnya beli yang bagus tapi bayarnya nyicil. Saya bangun lagi pelan-pelan. Akhirnya penjualan juga lumayan, omsetnya sudah sampai Rp 10 juta perhari," kata Ode pada brilio.net, Senin (29/5).
Ia mengaku banyak belajar dari pengalaman bisnisnya tersebut. Salah satunya adalah tidak ingin terlalu berekspektasi dan lebih ingin berjalan lebih pelan saja sebagai pengusaha.
"Yang penting sekarang bikin target nggak muluk-muluk. Yang penting bisa nutup modal dan kasih nafkah anak Istri," pungkas Ode yang belakangan diketahui punya istri asli Jawa dengan dua anak perempuan ini pada brilio.net sekaligus mengakhiri percakapan kami siang itu.