Brilio.net - Mungkin beberapa orang menganggap privilege diartikan dengan memiliki harta berlimpah, punya gelar tinggi atau punya ketenaran dan sejenisnya. Padahal, apapun yang dimiliki bisa menjadi privilege yang dapat diubah menjadi kesempatan menuju kesuksesan.
Prinsip ini juga diamini oleh pria bernama Cahyo Satria yang melihat privilege dari kondisi terendah dalam hidupnya. Baginya, bekerja sebagai karyawan serabutan di perusahaan penerbitan menjadi peluang besar untuk memulai bisnis penerbitan buku sendiri. Berawal menjadi pekerja serabutan, kini ia telah menerbitkan ribuan buku yang mungkin saja salah satunya sedang kamu baca saat ini.
BACA JUGA :
Lepas gaji gede usai S2 LPDP di London, kisah wanita jadi PNS guru SD pakai ijazah S1 ini bikin respek
"Sebenarnya saya punya privilege karena saya bekerja di perusahaan distributor buku. Saya punya data dan pengetahuan bisnis buku yang bisa saya akses gitu," ungkapnya saat ditemui brilio.net pada Sabtu (1/6) lalu.
CEO sekaligus owner Shira Media, salah satu penerbitan di Yogyakarta ini memulai usaha penerbitan dengan modal yang terbilang kecil. Bahkan Cahyo butuh usaha berbulan-bulan untuk memperoleh modal demi membangun usahanya kala itu.
Latar belakang.
BACA JUGA :
Jadi guru honorer 20 tahun dan dilantik PNS bareng anak, kisah perjuangan wanita ini penuh haru
Usai lulus SMA, Cahyo langsung melancong ke Yogyakarta. Bukan untuk menempuh pendidikan, pria asal Cilacap ini justru ke Jogja untuk mengais rezeki.
Kala itu, dirinya tidak bisa melanjutkan perkuliahan lantaran desakan ekonomi yang dihadapi keluarganya. Meski begitu, menurut Cahyo keluarganya bukan berasal dari keluarga yang tidak mampu.
"Saya lahir bukan dari keluarga yang susah-susah amat sebenarnya. Cuman memang karena orang tua saya pedagang juga," tutur Cahyo.
foto: brilio.net/Sri Jumiyarti Risno
Dahulu, orang tua Cahyo bekerja sebagai pedagang di bidang ekspor udang. Namun, karena kurangnya perhitungan usaha tersebut pun bangkrut.
"Ada masa di mana, apa yang dikerjakan orang tua saya mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi yang dibayangkan. Jadi, bisa dibilang bertaruh cukup besar waktu itu di kampung ada potensi ekspor udang yang dipanen 8 bulan sekali," ungkap pria kelahiran 1987 itu.
Demi membesarkan usaha tersebut, orang tua Cahyo bahkan sudah menjual tanah, sawah, hingga meminjam uang ke bank.
"Pada akhirnya merugi dan habis-habisan. Sawah dijual, tanah-tanah sudah dijadikan modal usaha. Mungkin kurang perhitungan dan sebagainya kemudian jadinya sulit ekonominya," lanjutnya.
Kerugian bisnis udang itu akhirnya meninggalkan utang besar yang membuat Cahyo tidak bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Mau tidak mau, Cahyo pun harus merantau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan besar hati, Cahyo harus menerima keadaan keluarganya dan mencoba merantau mengikuti saudaranya ke Yogyakarta. Pada momen itulah yang menjadi awal mula Cahyo berkenalan dengan dunia penerbitan.
Awal mula terjun ke industri penerbitan.
Pada 2005 ketika masih berusia 19 tahun, menjadi awal perkenalan Cahyo dengan penerbitan buku. Kala itu, Cahyo baru saja lulus SMA namun keterbatasan biaya memaksanya untuk tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
"Tahun 2005, 19 tahun yang lalu itu awal mula perkenalan saya dengan buku. Di 2005 waktu itu saya lulus SMA dan karena belum bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan dana maka kemudian 2005 itu setelah SMA saya bekerja di salah satu distributor buku," tutur Cahyo.
Berbekal ijazah SMA, Cahyo pun bekerja di distributor buku, yang dikenal sebagai Solusi Distributor. Kebetulan saat itu sang kakak bekerja di penerbitan yang sama, sembari cari pekerjaan lain. Cahyo lantas dititipkan sang kakak untuk bekerja di Solusi Distributor sebagai pekerja serabutan.
Pekerjaan yang dilakukannya terbilang sepele seperti menata file, mengirim buku, membuat kopi untuk karyawan, dan fotokopi berkas yang diminta. Upah yang diperolehnya selama sebulan bekerja hanya sebesar Rp 150 ribu dengan UMR Jogja pada 2005-an sekitar Rp 600 ribu.
foto: brilio.net/Sri Jumiyarti Risno
"Jadi, gaji pertama saya di distribusi buku itu Rp 150 ribu per bulannya. Karena memang bukan karyawan yang dibutuhkan. 'Udahlah kamu bantu-bantu disini gitu, menata file, mengirim buku, ini tolong di fotocopy-kan'," cerita Cahyo.
Mesk hanya bekerja seadanya sembari mencari pekerjaan lain, tetapi semangat belajarnya kala itu membuatnya terus berkembang. Dua tahun bekerja di sana, Cahyo memiliki visi besar untuk keluar dari keterpurukan ekonomi yang dialami keluarganya saat itu. Ia pun mempelajari berbagai hal secara otodidak, termasuk belajar menganalisis data penerbitan, membuat layout buku, cover, hingga menulis sebuah buku.
Singkat cerita, Cahyo akhirnya dipercaya menjadi tim warehouse distributor buku lalu menjadi sales marketing yang menjadi pegangan untuk membangun usaha penerbitan sendiri.
Tercetus ide bisnis penerbitan buku.
Pada awalnya Cahyo tidak terpikir merintis bisnis penerbitan. Dia hanya mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melihat relasi yang ia punya saat bekerja di distributor buku, Cahyo lantas menjadikan kesempatan tersebut sebagai ladang cuan. Dia menawarkan jasa freelance sebagai layouter buku, editing buku, dan jenisnya kepada pegiat buku.
Untuk menawarkan jasa tersebut tentu Cahyo harus memiliki portofolio, ia pun memberanikan diri membuat karya pertamanya. Mulai dari produksi tulisan, drafting, layouting, editing, bahkan tahap pemasaran pun dilakukan oleh Cahyo seorang diri.
"Cuman karena belum punya portofolio yang memadai maka saya mengandalkan teman-teman dekat," ucapnya.
"Kemudian jika nggak ada naskah yang di-layout, buku yang desain cover-nya kira-kira siapa nih yang bakal jadi mitra saya. Supaya bisa mempercayai saya untuk bekerja. Pada akhirnya karena tidak ada klien maka saya desain dan bikin buku saya sendiri. Mulanya disitu," lanjutnya menjelaskan.
foto: brilio.net/Sri Jumiyarti Risno
Selain itu, Cahyo melihat peluang lain bahwa penerbitan offline saat itu cukup sederhana, di mana house publishing bisa untung besar meski tidak perlu kerja setiap hari.
"Kok enak jadi penerbitan yang kerja sekali abis itu bisa punya penghasilan yang besar. Kayaknya enak deh nggak kerja setiap hari, setelah bukunya terbit penghasilannya ada terus gitu," papar Cahyo.
"Idenya berangkat dari situ, penerbit jarang terbit tetapi setiap bulan dapat laporan penjualan yang besar," lanjutnya.
Berangkat dari pemikiran tersebut, bekal pengalaman sekaligus pengetahuan yang dimilikinya selama bekerja di Solusi Distribusi, akhirnya Cahyo memutuskan untuk merintis Shira Media pada 2008 lalu.
Berbekal modal Rp 5 Juta.
Modal Rp 5 juta dikumpulkan Cahyo dari hasil bekerja selama dua tahun di Solusi Distributor, hasil penjualan buku, dan pekerjaan freelance yang dilakoninya. Kala itu, niatnya ingin membeli motor Astrea untuk keperluan pekerjaan setiap hari. Tapi ia urungkan, karena Cahyo melihat ada peluang lain yang bisa mengubah modal Rp 5 juta menjadi puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Alhasil, dia memilih untuk memulai bisnis penerbitan buku.
"Shira Media lahir dengan modal awal Rp 5 juta, yang waktu itu pengen menuntaskan mimpi besar saya waktu itu. Punya motor Astrea tapi saya urungkan dan putuskan untuk bikin usaha Shira Media itu. Berdasarkan perhitungan saya waktu itu kayaknya Rp 5 juta ini punya potensi menjadi lebih dari Rp 50 juta dan seterusnya, kalau Rp 5 juta ini jadi modal awal yang kemudian bisa berkembang," papar Cahyo.
foto: brilio.net/Sri Jumiyarti Risno
Selain itu, Cahyo juga mengaku memiliki kesukaan di dunia marketing yang membuatnya semakin bertekad membangun usahanya.
"Saya punya pengalaman jualan buku itu kemudian paham alur dan skema pemasaran buku dan seterusnya. Berdasarkan perhitungan itu, saya mulai penerbitan dengan modal kecil itu, alhamdulillah dengan buku pertama disambut dan diterima pasar," pungkasnya.
Bekerja sembari melanjutkan kuliah.
Sembari bekerja di Solusi Distributor, melakukan pekerjaan freelance, hingga menjalankan Shira Media, Cahyo akhirnya memutuskan untuk melanjutkan Pendidikan sarjana di YKPN (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara) jurusan Marketing Manajemen tahun 2009.
Kemudian, dari pengalaman dan teori yang dipelajarinya, Cahyo pun menyusun strategi bisnis yang bisa bertahan dari nol hingga kini berdiri 16 tahun lamanya.
"Membangun Shira, saya kuliah sambil bekerja di penerbit Solusi, ilmu dari sana bisa saya aplikasikan. Jadi, mengombinasikan antara ilmu teori dan praktiknya langsung itu memberi experience ke saya untuk kembangkan bisnis ini,' ungkapnya.
foto: brilio.net/Sri Jumiyarti Risno
Jika ditelisik lebih dalam, beberapa faktor utama yang dilakukan Cahyo untuk mengembangkan usahanya adalah inovasi, kreativitas, dan kualitas suatu produk. Dia percaya bahwa ketika suatu usaha memiliki kualitas dan mampu beradaptasi pada perubahan, maka bukan tidak mungkin bila usahanya bisa berkembang hingga saat ini.
"Kenapa kami bertahan. Mungkin karena kita terus bergerak. Keep moving. Mungkin kami nggak punya rasa puas, artinya kami pengen terus belajar. Itu yang membuat Shira Media bertahan hingga hari ini. Kalau kami sudah puas dengan produk kami di tahun 2008 dan pancet wae (gas wae) mungkin kita sudah tertinggal," ujarnya lagi.
Strategi bisnis pertahankan usaha penerbitan buku hingga saat ini.
Eksistensi Shira media tidak terlepas dari kualitas maupun upaya yang dilakukan Cahyo untuk memasarkan produk ke berbagai lini.
Ketika bekerja di penerbitan Solusi Distribusi, menjadi peluang bagi Cahyo untuk menganalisis data penjualan, permintaan pasar, marketing, dan berbagai hal penting lain dalam penerbitan, sehingga memudahkannya mengembangkan usahanya kini.
foto: brilio.net/Sri Jumiyarti Risno
Memahami alur penerbitan buku, membuatnya mudah memasarkan buku yang dimilikinya. Akhirnya Cahyo memiliki jangkauan pemasaran buku yang luas sehingga mudah mengenalkan produk bukunya kepada masyarakat.
Padahal, saat itu belum ramai penggunaan platform toko online. Berkat relasi yang dimiliki hingga kualitas produk yang mumpuni membuat hasil karyanya dipasarkan ke berbagai toko buku seperti Gramedia, Kurnia Agung, dan sejenisnya.
Menurutnya, semakin luas jaringan produk maka otomatis bisnis tersebut akan semakin berkembang pesat. Terlebih kini sudah ada platform online, sehingga orang lebih mudah mengakses buku. Shira Media juga terus beradaptasi dengan perubahan, tujuannya agar mampu menjangkau market yang lebih luas.
"Lagi-lagi dalam rangka menjangkau market yang lebih besar. Kuncinya di situ, mungkin penerbitan yang sekarang ini punya banyak cara untuk menjangkau customer yang lebih luas karena market online sudah teredukasi dan offline juga masih ada," timpalnya menjelaskan.
Selain itu, kunci utama suatu penerbitan miliknya bisa berjalan hingga kini adalah dengan menjaga kualitas produk.
"Menjaga kualitas buku yang penting. Semua brand juga berangkat dari nol. Nggak tiba-tiba brand itu besar, selama produknya itu kita jaga kualitasnya, kepercayaan customer-nya pasti datang," ungkap Cahyo.
16 Tahun mendirikan bisnis penerbitan buku, Cahyo memperoleh penghasilan yang cukup besar. Berkat usahanya tersebut ia mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mendirikan rumah di Yogyakarta, hingga mampu membayar karyawannya sendiri.