Brilio.net - Pernikahan beda agama masih menjadi isu sensitif di Indonesia. Tak hanya pernikahan, masalah beda agama juga kerap menjadi polemik di keseharian. Beberapa waktu lalu, brilio.net menuliskan kisah Danial Sutami yang punya orangtua beda agama, bikin terenyuh.
Kisah tersebut menjadi viral dan menimbulkan berbagai respon. Tak berselang lama, Danial kembali menuliskan kisahnya tentang perbedaan agama di akun Facebooknya.
Pada curhatan yang diunggah di Facebook pada Rabu (16/3) lalu, Danial mengisahkan tentang isu agama yang dikaitkan dengan kepemimpinan. Berikut kisah Danial yang diambil brilio.net dari Facebooknya, Jumat (18/3).
"Saya tak pernah hirau soal agama pemimpin hingga duduk di bangku SMA. Saat itu sedang diadakan pemilihan Ketua OSIS dan untuk kali pertama saya terekspos pada realitas dikotomi kandidat Ketua: Muslim vs Non-Muslim. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya temukan ketika aktif sebagai wakil ketua OSIS, komandan Paskibra dan PKS (Patroli Keamanan Sekolah) di SMP dimana penunjukan saya untuk mengemban amanah tersebut murni karena kualitas kepemimpinan yang menonjol dan bukan karena faktor keyakinan religius yang sama dengan mayoritas.
Sebagai catatan, SMP saya ini sekolah negeri di daerah Comoro, Dili, Timor-Timur daerah dimana mayoritas beragama Katolik. Yang Muslim umumnya hanya pendatang. Menjadi pemimpin yang berasal dari kalangan minoritas di daerah mayoritas menurut saya malah menjadi sebuah prestasi karena itu berarti mayoritas pemilih memilih secara objektif tanpa terikat sentimen etnis maupun religiusitas.
Keadaannya berbeda di SMA. Untuk pertama kalinya saya merasakan propaganda (lebih tepatnya doktrinasi) yang intensif dari para kakak kelas yang Muslim. Secara khusus mereka yang memegang peran sebagai aktivis Rohis sekaligus pengurus Mushalla. Di sinilah benih-benih radikalitas saya disemai yang kelak berbuahkan kebencian yang buta terhadap Ibu saya dan menganggap halal darahnya.
Beragam dalil persis seperti yang sekarang beredar berulang kali disampaikan di berbagai forum internal, termasuk shalat Jumat. Kandidat Muslim harus dikerucutkan jadi satu orang saja agar suara tidak terpecah. Caranya masih sama hingga sekarang.
Sementara hubungan dengan teman2 non-Muslim terasa dingin, hambar, bahkan cenderung basi terhanyut suasana kompetisi sepanjang proses pemilihan. Meskipun saya pikir ini lebih elegan dimana kami tidak pernah menyerang kandidat non-Muslim, baik secara personal maupun program-programnya. Tidak seperti sekarang dimana segala cara dipakai untuk menjatuhkan lawan, termasuk fitnah. Atau mungkin saat itu karena masih SMA, dimana idealisme masih murni belum terlalu terkontaminasi kepentingan.
Isu Israel-Palestina juga lazim jadi bumbu pengangkat citarasa untuk semakin meyakinkan bahwa kita umat Islam senantiasa berada dalam kepungan dan intaian kaum kafir yang sewaktu-waktu akan menghabisi dan memusnahkan umat Islam. Ironis karena disaat yang sama jumlah umat Islam di Indonesia hampir 90% dari total populasi. Bongsor tapi penakut.
Belum lagi sejarah kepemimpinan dan kepahlawanan Islam untuk membakar semangat bahwa kami adalah generasi rabbani yang akan berjihad, dengan harta dan diri, demi mengembalikan kejayaan Islam. Oleh karenanya adalah sebuah keadaan yang memalukan kalau kami, yang katanya ingin mengembalikan Islam seperti kejayaan di masa lalu, membiarkan diri kami dipimpin oleh seorang non-Muslim (baca: kafir). Ini baru di level SMA.
Di tingkat lembaga pemerintah, ayah saya juga merasakan dampak dari polarisasi ini. Meskipun beliau Muslim, tapi istrinya Nasrani. Sebuah 'titik lemah' yang kerapkali dieksploitasi ketika tiba masa promosi jabatan. Beliau dianggap tidak kompeten untuk jadi pemimpin karena mengarahkan istrinya jadi Muslim saja tidak sanggup. Argumentasi basi. Makanya bagi mereka yang pragmatis, menjadi muallaf adalah jalan untuk menyelamatkan diri.
Ayah saya seorang PNS yang idealis, tidak sekalipun tertarik memberikan upeti pada atasannya demi mendapatkan atau mempertahankan 'posisi basah'. Ini sudah jadi rahasia umum kebiasaan di kalangan birokrat, potret korupnya sistem pemerintahan kita. Mereka yang anti konformitas terhadap sistem akan terkucilkan. Maka tidak heran kami sekeluarga selalu 'terbuang' ke daerah Timur. Hikmahnya saya tamat dari SDN 10 Perumnas Bairopite, Dili. Jelek-jelek gini saya tamatan luar negeri.
Ayah menderita stroke, tidak kunjung sembuh hingga akhir hidupnya. Penyebabnya? Tentu selain gaya hidup yang memang kurang sehat, ada faktor perlakuan sistem yang teramat sangat menyakitinya. Terlalu panjang untuk diuraikan di sini dan terlalu pedih bagi saya untuk mengorek luka lama. Bagi saya, beliau adalah contoh bagaimana jahatnya sistem koruptif memperlakukan seorang idealis. Padahal dia Muslim.
Jadi kalau ada orang yang paling skeptis terhadap sistem, saya salah satunya. Negara ini hopeless, simpul saya di waktu lalu. Kejahatan sistem bukanlah soal agama pemimpinnya. Bahkan malaikat pun bisa jatuh karena mabuk kekuasaan.
Namun beberapa figur pemimpin nasional teranyar tampaknya berpotensi mengikis skeptisme saya. Mereka mendobrak dan merombak sistem yang koruptif langsung ke akar-akarnya. Kerja mereka lebih riil terasa ketimbang propaganda agar Pancasila diganti dengan Quran dan Khilafah sebagai solusi.
Pilihlah pemimpin yang menolak untuk takluk dan konformis terhadap sistem koruptif, apapun agamanya.
Berhentilah jualan agama. Menukar ayat-ayat Allah demi kekuasaan yang hanya sekejap mata.
Gak enak kalau kalah soalnya. Tercela dunia akhirat."