1. Home
  2. »
  3. Sosok
18 Oktober 2019 06:26

Mengenal Mbah Asih, juru kunci Merapi pengganti Mbah Maridjan

Menurut Mbah Asih, juru kunci sekarang ini juga harus melek teknologi Farika Maula
foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha Firman Ridho - Instagram/@wahyoetomo

Brilio.net - Tahun 2010 silam terjadi sebuah peristiwa bencana yang pastinya sulit dilupakan bagi masyarakat Yogyakarta, khususnya sekitar lereng Gunung Merapi. Teriakan, tangisan, rintihan, disertai dengan gemuruh suara Merapi saat itu menjadi kisah sedih yang masih terus melekat di benak semua orang yang langsung mengalaminya. Masyarakat seolah tak ingin menceritakannya kembali.

Tepatnya pada Rabu 3 November 2010, sebagian besar penduduk di lereng Merapi dan sekitarnya dibuat panik oleh meletusnya Gunung Merapi. Kepanikan merambat ke sebagian wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Salah satu gunung api paling aktif di dunia itu meletus dahsyat. Peristiwa itu dianggap letusan yang terbesar.

Padahal, letusan Merapi yang berlangsung setiap 3 sampai 5 tahun sekali tersebut biasanya diawali oleh munculnya lava pijar. Dalam volume dan tekanan yang meningkat, magma mendobrak sebagian kubah lava dan mengalir mengikuti lereng gunung. Masyarakat setempat menyebutnya wedhus gembel alias awan panas, karena dari kejauhan tampak seperti bulu domba yang keriting.

Kala itu material letusan membumbung tinggi karena tekanan yang sangat kuat sehingga menghancurkan kubah lava. Letusan ini tidak menghasilkan awan panas guguran, tetapi terjadi letusan eksplosif dan mengembuskan rempah bebatuan nun jauh ke angkasa hingga ribuan meter tingginya. Butiran bebatuan panas berbagai ukuran itu rubuh ke bumi dan merambah seluruh sudut perkampungan yang ada di lereng barat daya dan selatan Merapi.

Akibat letusan ini, banyak orang meninggal, binatang ternak mati terpanggang, dan ratusan hektar lahan pertanian meranggas. Jika ditotal, jumlah pengungsi erupsi Merapi 2010 silam mencapai setengah juta orang. Secara otomatis, bencana ini memukul perekonomian dan sempat memutus akses transportasi antar kota. Tak hanya itu, tragedi luar biasa ini menelan 277 korban jiwa, termasuk sang juru kunci Merapi, Mbah Maridjan. Sosok yang sangat populer pasca erupsi tahun 2006 silam.

Kini, sembilan tahun pasca letusan dahsyat Merapi 2010, kehidupan sekitar Merapi perlahan mulai berdenyut lagi. Pemandangan berangsur hijau dan asri. Udara sejuknya pun masih senantiasa menyelimuti setiap hembusan napas. Ah, Merapi sesekali berdamailah dengan kami.

Tak hanya pemandangannya yang indah, berbagai komunitas penduduk pun menggantungkan hidupnya di lereng Merapi. Jika kita menengok sambil menyusuri jalanan sekitar, banyak penambang batu-pasir, pengambil kayu bakar, hingga pengais rumput untuk ternak mereka. Oh iya, satu lagi, kreativitas masyarakat juga muncul demi memanfaatkan sisa-sisa letusan Merapi. Di antaranya adalah Wisata Keliling Lereng Merapi menggunakan mobil jeep sewaan.

Selain itu, banyak pula warung kopi dengan desain modern hingga klasik, berjejer di sepanjang jalan menuju petilasan Kinahrejo. Ya, Kinahrejo adalah salah satu dusun yang terletak di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Hanya empat kilometer dari puncak Merapi. Apa istimewanya? Ini adalah dusun tempat mendiang Mbah Maridjan tinggal.

BACA JUGA :
Kisah inspiratif tukang sayur jadi miliuner, hartanya Rp 14 T


foto: Brilio.net/Farika Maula



--

"Omahku Tinggal Kenangan"

Meski tinggal kenangan, dusun tempat Mbah Maridjan pernah tinggal ini tengah bermandikan sinar matahari dan pepohonan hijau. Tempat tinggalnya telah menjelma menjadi museum sekaligus tempat wisata bagi pengunjung. Memang menjadi kenangan, namun juga menambah perekonomian warga. Ada yang berdagang, ada yang penawarkan jasa tour guide, bahkan rute persewaan jeep bisa sampai tempat ini.

Mbah, bahkan kematianmu bisa menjadi berkah bagi orang lain. Semoga kau tenang Di Sana mbah. Jasamu, tak akan pernah terlupakan.

Pada 9 Oktober 2019 lalu, brilio.net berkesempatan mengunjungi Kinahrejo. Senang sekali rasanya bisa menapakkan kaki di tempat bersejarah itu. Saat itu kami disambut dengan langit biru, awan putih terbentang indah. Meski agak berkabut, tapi Merapi tampak terlihat gagah dari leher hingga kepalanya.

Bekas-bekas terjangan awan panas dan banjir lahar tahun 2010 silam, seolah telah hilang ditimpa hijaunya pepohonan. Yang lebih berkesan lagi, kami bisa melihat petilasan rumah Mbah Maridjan secara langsung. Bukan lewat gawai lagi, tapi benar-benar bisa merasakan euforia sekitar Merapi.

BACA JUGA :
Kisah bocah SD jualan sayur demi pengobatan adik ini bikin terenyuh

foto: Brilio.net/Farika Maula



Tak lama mengambil beberapa gambar dan berswafoto, kami pun berbincang dengan pedagang sekitar petilasan Kinahrejo. Saat itu matahari mulai terbenam, kami pun menutup berbincangan sambil bertanya kepada mereka, "Di mana rumah Pak Asih?".

Setelah mendapat informasi secukupnya, kami bergegas menemuinya. Iya, Suraksohargo Asihono alias Asih juru kunci Merapi. Kini ia menjadi penerus perjuangan Mbah Maridjan.

--

Mbah Asih juru kunci penerus Mbah Maridjan

Sore itu setelah berkunjung di petilasan Mbah Maridjan, kami menunggu seseorang yang istimewa. Setelah wafatnya Mbah Maridjan sebagai sesepuh Dusun Kinahrejo dan juru kunci Gunung Merapi, kini tugas itu telah beralih kepada anaknya, Asih.

Tempat tinggalnya kurang lebih 3 kilometer dari bekas rumah Mbah Maridjan yang kini dijadikan museum. Setelah Mbah Maridjan meninggal, peran juru kunci seakan tenggelam oleh abu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Merapi kala itu. Padahal, Keraton Ngayogyakarto pada April 2011 telah menunjuk Kliwon Suraksohargo Asihono atau yang akrab disapa Asih sebagai pengganti Mbah Maridjan.

foto: Brilio.net/Farika Maula



Karena kediamannya bersama sang ayah habis dilahap lahar Merapi, Asih pindah dan tinggal di Huntap, Karangkendal, Umbulharjo. Rumahnya tepat di samping Masjid Al-Amin. Usai menunaikan ibadah salat maghrib, ia pun bergegas mendatangi kami dengan murah senyum.

"Silakan masuk mbak, mas," sapanya sambal menunduk kepada kami.

Meski tak sepopuler ayahnya, Asih tetap terlihat andhap asor (rendah hati). Sosoknya pun sangat ramah, begitu pula dengan istrinya. Kami pun dipersilakan masuk dalam rumahnya dan disuguhi wedang teh yang biasa orang Jawa bilang 'Nasgitel' (panas, legi, kenthel) dalam Bahasa Indonesia, panas, manis dan kental.

Kami pun mulai bertanya dan berbincang santai. Meski awalnya kaku, Asih makin lama makin nyaman dengan semua pertanyaan kami.

Putra dari Mbah Maridjan ini memulai ceritanya tentang Keraton Yogyakarta yang mengangkat beliau menggantikan Mbah Maridjan untuk menjadi abdi dalem 'divisi' Gunung Merapi, yang menjadi penjaga harmoni antara berbagai alam dan makhluk di sekitarnya. Saat dilantik menjadi juru kunci Gunung Merapi oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Asih pun berjanji akan selalu berkoordinasi dan mengajak masyarakat untuk ikut menjaga gunung teraktif dunia tersebut.

Pembawaan Asih yang sangat sederhana dan sering merendah tidak akan diduga bahwa sebenarnya beliau adalah orang yang dipercaya sebagai 'penerjemah' geliat Gunung Merapi. Tak hanya sebagai pemerhati, ia juga memiliki tugas menyampaikan informasi kepada masyarakat sebagai sebuah peringatan dini.

Belajar dari peristiwa erupsi Merapi pada 2010, masyarakat era digital saat ini lebih disiplin atas informasi yang disampaikan pihak-pihak berwenang seperti Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selain karena informasi yang disampaikan lebih rinci, akurasinya lebih bisa dipercaya dan diterima masyarakat karena berdasarkan data-data empirik.

"Jadi, sekarang masyarakat sangat tanggap. Mereka selalu siap. Informasi dari BPPTKG, BNPB, BMKG, itu kan lebih valid dan rinci. Apalagi saya nggak punya alat. Hanya manual. Bisa saja meleset. Saya selalu mengimbau masyarakat untuk memantau dan saling menginfokan satu sama lain," kata dia.

--

Berawal dari Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi juru kunci Merapi

Siapa sangka, juru kunci pengganti Mbah Maridjan ini merupakan awalnya memang abdi dalem Keraton Ngayogyakarta. Kepada brilio.net, ia bercerita sejak tahun 2003 telah mengabdikan diri sebagai Abdi Dalem Keraton. Ia pun direkomendasikan oleh Abdi Dalem Keraton lainnya untuk mengikuti seleksi menjadi juru kunci Gunung Merapi.

Seperti ujian melamar pekerjaan pada umumnya, pria kelahiran Sleman 7 Agustus 1966 ini juga mengikuti beberapa tahapan seleksi sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh pihak Keraton. Saat bercerita kepada kami, Asih mengaku mengikuti tes wawancara dan beberapa tes lainnya. Meski putra dari Mbah Maridjan, Asih tidak serta merta mendapat keistimewaan dan kemudahan untuk mendapatkan amanah menjadi juru kunci Merapi.

"Saat itu teman-teman saya, Abdi Dalem Merapi banyak. Mereka memberitahu kira-kira siapa yang akan menggantikan Mbah Maridjan. Menurut prosedur, juru kunci adalah siapa yang paling lama mengabdi di dalam keraton. Meski sudah direkomendasi, tapi keraton juga mengadakan ujian wawancara," ujar Asih.

Namun pengalamannya menjadi Abdi Dalem yang didukung dengan pengetahuannya tentang Merapi langsung mengantarkannya untuk menggantikan sosok sang ayah. Ia pun dilantik dengan mengemban tugas pokok dan fungsi. Seperti di antaranya, menjalankan perintah dari Sri Sultan Hamengkubuwono XI untuk melakukan Labuhan Merapi setiap tahun pada 30 Rajab. Asih juga diwajibkan melestarikan budaya, terutama yang ada di wilayah Gunung Merapi. Yang terakhir, Asih dilantik untuk ikut menjaga kelestarian alam.

"Semua Abdi Dalem diuji oleh keraton, kebetulan saya lulus. Saya menjadi Abdi Dalem dari tahun 2003. Pemilihan juru kunci tak harus keluarga Mbah Maridjan. Tidak harus, tetapi harus sudah mengabdi dalam Keraton. Saya pun harus menjalani tupoksi yang ada," tuturnya.

Sebagai Abdi Dalem, dirinya juga tetap mematuhi semua aturan yang telah ditetapkan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Abdi dalem harus dapat mengemban tugas sebagai penjaga dan pelestari budaya di Yogyakarta.

--

Juru kunci tapi tetap aktif jadi karyawan di universitas

Sebelum bertemu dengan Mbah Asih, mindset kami tentang juru kunci Merapi adalah selalu berkaitan dengan hal-hal yang berbau mistis, klenik dan pertapaan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Gunung Merapi kerap dikaitkan dengan hal-hal mistis. Bahkan di waktu-waktu tertentu, di gunung itu pasti diadakan ritual khusus sebagai tanda penghormatan untuk 'penunggunya'.

Biasanya, upacara khusus itu harus dilakukan oleh sang juru kunci Merapi. Sebelum wafat, saat dalam peristiwa letusan Gunung Merapi beberapa waktu lalu, Mbah Maridjan pun juga melakukan ritual itu. Ritual tersebut dinamakan Ritual Labuhan.

Setelah almarhum Mbah Maridjan tiada, ritual ini tak semata-mata berhenti. Kegiatan itu kini diteruskan oleh sang juru kunci pengganti yaitu Mbah Asih yang juga putra Mbah Maridjan.

Sebagai juru kunci di zaman milenial, Asih juga terbuka dengan perkembangan teknologi. Segala informasi tentang Merapi tak hanya ia pikir dan terawang dari 'terjemahannya' saja.

Bak anak ABG, ia pun bertukar informasi dengan BMKG, BPPTKG atu juga BNPB lewat WhatsApp. Asih mengaku bahwa ia sebenarnya tak memiliki alat yang canggih untuk melihat geliat Merapi. Maka, ia pun sering 'WhatsApp-an' dengan pihak terkait agar tidak terjadi disinformasi.

"Ya jelas, karena sekarang zaman moder zaman canggih kita harus mengikuti. Kalau tidak, kita akan ketinggalan zaman. Kita tetap butuh informasi dari mana-mana. BMKG, internet, tapi kita selalu melihat ke BMKG," ujarnya santai.

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha Firman Ridho



Mindset yang tertanam selanjutnya adalah soal ritual. Sebelumnya, kami mengira bahwa Asih melantunkan doa dengan dupa, taburan bunga dan bertapa di petilasan Kinahrejo. Bisa dibilang imajinasi ini adalah bentukan dari televisi, film hingga sinetron Tanah Air yang saat ini sedang massif ditayangkan.

Ternyata Asih melakukan ritual untuk Merapi dengan melantunkan doa untuk keselamatan warga setelah salat fardhu tanpa dupa dan taburan bunga. Ia memanjatkan doa sebagai seorang muslim kepada Allah SWT.

"Kalau ritual, ya kita berdoa kepada Allah. Karena kami muslim, ya setelah salat kami berdoa sesuai kemampuan saya," tuturnya.

Nah, tapi ada hal lainnya yang menurut kami juga menarik, yaitu tentang pekerjaan sampingannya. Sang juru kunci di era milenial ini juga menjalankan pekerjaan formalnya sebagai staf administrasi di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) saban hari. Sehingga sore usai jam kantor, kami baru bisa menjumpai beliau untuk bersilaturahmi sembari ngobrol-ngobrol santai dan sesekali kilas balik peristiwa pilu erupsi Merapi 2010 silam dan kisah-kasihnya sebagai juru kunci Merapi.

Saat ditanya apakah pekerjaan itu mengganggu, ia langsung menjawab "Tidak,". Menurutnya, tanggung jawab menjaga Gunung Merapi itu tidak hanya dipegang dirinya bersama 17 orang saja yang saat ini sebagai Abdi Dalem Juru Kunci Merapi. Namun juga oleh semua warga masyarakat yang ada di sekitar Merapi bersama semua pihak.

"Pekerjaan saya di instansi nggak mengganggu sama sekali. Sebelum saya menjadi juru kunci, saya sudah izin dengan atasan, kalau ada apa-apa yang harus siap siaga untuk memantau Merapi. Karena ya saya tahu mana yang harus diprioritaskan," jawabnya mantap.

--

Mengemban tugas dengan gaji tak seberapa

Tak bisa dipungkiri, menjadi juru kunci Merapi merupakan tugas dan amanah yang berat. Dalam wawancaranya kepada kami, Asih juga sempat bercerita terkait freatik Merapi yang terjadi sekitar 2018 lalu. Saat itu Asih sedang nyadran (berziarah ke makam) melihat para warga berlarian karena mendengar 'batukan' Merapi. Ia pun juga spontan untuk berlari. Namun sulit, ia sempat tersandung kijing-kijing (nisan) yang ada di makam. Warga berteriak sambil lari tunggang langgang, Asih pun tak sempat menyelamatkan diri mengikuti mereka.

Ia memilih untuk berdiam di tempat sambil melantunkan doa kepada Allah SWT. Asih pun mengira, bahwa dirinya merupakan warga terakhir yang belum evakuasi. Namun ternyata, di belakang Asih ada 15 orang yang ikut mengamini doanya. Ia pun terkaget sambal meneruskan doanya.

"Saya berhenti di pinggir makam dan berdoa pokoknya saya pasrah. Saya sampai nggak tahu di sekitar saya kosong. Saya di situ hanya bisa berdoa kepada Allah, kepada Tuhan. Eh, ternyata pada saat saya berdoa ada beberapa orang yang ikut mengamini di belakang saya. Saya kaget, ternyata masih ada orang, saya kira saya terakhir. Ada sekitar 15 orang," ceritanya.

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha Firman Ridho



Mengemban amanah yang sedemikian berat, setiap tahun Asih menerima sebuah kekocah (upah) dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Asih menerima setidaknya Rp 350 ribu setiap tahunnya. Apabila dibagi 12 bulan, setiap bulannya ia menerima sekitar Rp 8.000. Belum lagi ia mendapat insentif dari Dana Keistimewaan (Danais) yang enggan ia sebutkan nominal dan bentuknya.

Tak hanya memantau, berdoa, dan melakukan ritual labuhan, pekerjaan Asih selanjutnya adalah membuat laporan. Ia memiliki kewajiban melapor tentang segala aktivitas Merapi setiap minggunya kepada Keraton.

Sehat selalu, Mbah Asih!




SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags