Brilio.net - Muhammad Thoha melewati masa-masa hidupnya dengan tidak mudah. Untuk mencapai sebuah kesukseskan yang dirasakannya hingga kini, Thoha membuktikan semuanya harus melalui proses panjang.
Jika mengulik lebih dalam, nama Muhammad Thoha pastilah bukan nama yang asing lagi didengar masyarakat, khususnya di Yogyakarta. Ya, sejak beberapa tahun terakhir, nama 'Habibie Selokan Mataram' begitu melekat dalam kehidupannya.
Kepada brilio.net, Muhammad Thoha membuka kembali cerita manisnya jatuh bangunnya hingga menjadi seseorang yang bisa disebut sebagai ahli aeromodelling. Sedari kecil, Thoha mempunyai kegemaran akan layangan dan menyukai benda yang bisa terbang.
BACA JUGA :
Hotel Tugu Jogja, bangunan megah bersejarah yang kini mangkrak
Ruang kerja Thoha
foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon
Singkat cerita, nama Habibie Selokan Mataram bukanlah nama yang dicetus dari Thoha sendiri, melainkan nama pemberian seseorang yang berhasil mengabadikannya dalam sebuah film dokumenter. Selokan Mataram sebenarnya diambil lantaran lokasi tempat Thoha tinggal memang di Selokan Mataram, Yogyakarta.
Kala itu, ada seorang mahasiswa mengamati kegiatan Thoha. Ia tertarik untuk mendokumentasikannya dengan film dokumenter. Film itu ternyata menang sejumlah kategori di Eagle Awards, Metro TV.
"Sedari kecil (minat aeromodelling), cuma waktu itu kan minimnya informasi. Jadi belajarnya baca dari buku, coba-coba," kata Thoha mengawali perbincangan dengan brilio.net beberapa waktu lalu.
Bicara soal aeromodelling, menurut pria 42 tahun ini sebenarnya aeromodelling bisa dikatakan benda yang bisa diterbangi, tak terkecuali layang-layang. Aeromodelling bahkan bisa dihubungkan dengan benda sehari-hari, bukan hanya pesawat saja.
BACA JUGA :
Jalan panggung Whani Darmawan, pemeran Darsam di Bumi Manusia
Salah satu pesawat komersil
foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon
Ketertarikan Thoha dengan aeromodelling sudah ditunjukkan sedari kecil. Diakuinya, dulu ia sangat menyukai layang-layang. Di mana ketika masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar (SD), Thoha bukan cuma memainkannya, namun sudah memproduksi sendiri untuk dijual.
Dibantu sang kakak, Thoha mencoba sedikit demi sedikit membentuk layangan model pesawat. Bahkan, layang-layang itu diberinya aksesori lampu kerlap-kerlip. Kegiatannya ini dilakukannya hingga dirinya SMP.
Sayangnya, hobinya tersebut hanya ditekuninya hanya sampai lulus SMP saja. Dari sana, karena banyaknya tuntutan hidup membuatnya harus mandiri mencari uang, Thoha bertolak ke Yogyakarta untuk memulai hidupnya yang baru, yakni merantau.
"Awal di Jogja itu saya ikut jualan koran sama temen. Tapi sebenarnya keinginan dengan benda terbang tadi itu ada, cuma masalah ekonomi belum mencukupi. Ya sudah, tahan dulu," sambungnya.
Di awalnya ke Jogja, Thoha tak langsung melanjutkan sekolahnya di SMA. Ia tiga tahun banting tulang untuk bertahan hidup. Tidur di sembarang tempat, uang hasil kerjanya pun ditabung untuk melanjutkan sekolah.
"Tahun 1991 saya ke Jogja. Setengah tahun jualan koran, 1,5 tahun jadi office boy di salah satu bimbingan belajar," tambahnya.
Ruang kerja Thoha
foto: Brilio.net/Hira Hilary Aragon
Karena tidak mempunyai tempat tinggal, Thoha pun mau tak mau tidur harus tidur di kelas tempatnya bekerja. Sewaktu ketika, Thoha bercerita pada temannya soal keinginannya lanjut sekolah, tapi terkendala biaya. Ternyata curhat hatinya itu direspons baik oleh temannya. Mereka mendorong Thoha agar sekolah, dengan dibantu sedikit soal biayanya.
Siapa sangka, Thoha justru memilih sekolah banyak 'berisi anak bandel'. Dengan harapan, bisa 'bolos kapan saja' ketika sedang bekerja. Pahit manis dirasakannya, seperti Thoha tidak menggunakan seragam sekolah sampai kelas 2 SMA, sampai menggunakan buku-buku bekas yang sudah ada coretan dan disusun kembali jadi buku baru.
Kehidupan baru dimulai. Thoha bertemu dengan si anak orang kaya yang punya banyak alat elektronik canggih pada masanya. Tugas Thoha kala itu hanya menjaga kamar kost si anak orang kaya tersebut selama pulang ke Jakarta, sembari membantu menyelesaikan tugas kuliahnya ngetik.
"Kalau kamu ngetiknya udah selesai, kamu mau pakai komputernya terserah kamu," ujar Thoha menirukan kalimat orang tersebut.
Pesawat Gabus 2012
foto: Dok pribadi/Muhammad Thoha
Di sana, Thoha belajar banyak hal seperti belajar programming secara autodidak yang membuatnya banyak tahu tentang komputernya. Hingga beberapa tahun kemudian, ada seorang yang mengajaknya berbisnis rental komputer. Bisa dikatakan, baru kelas 2 SMA, Thoha diminta mengelola usaha bersama temannya itu.
Pekerjaan ini ternyata mengubah banyak hidupnya. Selain ilmu dan pengalaman, perlahan-lahan hidupnya mulai berkecukupan di tahun-tahun pertama.
Namun sebab satu dan berbagai alasan lainnya, pria asal Nganjuk itu memundurkan diri dan memulai usaha bersama istrinya. Sampai akhirnya Thoha kembali mencoba menekuni hobi masa kecilnya itu.
"Saya mulai beli yang murah-murah dulu Rp 425 ribu beli di Gardena, pesawat mainan anak-anak, dua-tiga kali hancur," kenangnya sambil tertawa.
Ambisinya memiliki mainan pesawat memangnya besar. Buktinya ia menyisihkan cukup banyak penghasilannya setiap bulan untuk sekadar hobi. Hingga akhirnya, Thoha mulai serius terhadap dunia aeromodelling. Membeli kamera, riset alat-alat demi merintis bisnis foto dari udara.
Gunung Sinabung 2014
foto: Dok pribadi/Muhammad Thoha
Ibaratnya, jauh sebelum kecanggihan teknologi drone muncul, foto udara sudah dilakoninya lebih dahulu. Salah satunya di tahun 2011 banjir lahar dingin di Yogyakarta, Thoha bisa dibilang orang pertama yang mengambil video dari atas. Karena belum tren, Thoha berusaha menawarkan pada wartawan-wartawan yang meliput agar videonya ditampilkan, sayangnya ditolak.
Tak mau putus asa, ia kemudian mengantarkan hasil rekamannya ke salah satu kantor televisi. Meski mulanya pesimis, berubah jadi berbuah manis. Penghasilan pertamanya dari video di udara yang muncul di televisi itu Rp 100 ribu.
"Wah, nanti tayang jam 11. 'Video kita tayang, video kita tayang!', teman-teman senang banget," ungkapnya sorak gembira.
Berkat ketekunannya, Thoha mendapat pengalaman berharga. Sejumlah produk maskapai, perusahaan properti, sampai produk minuman terkenal menggunakan jasanya untuk iklan televisi.
Di tahun 2015, Thoha mencoba hal baru dengan pemetaan, di mana foto diolah dengan peta. Di pemetaan, penghasilannya naik drastis bahkan berlipat-lipat dari jasa video. Dua tahun kemudian, Thoha dan timnya merakit pesawat. Bahan-bahannya pun tak sedikit dari yang sederhana seperti gabus.
Pesawat Gabus
foto: Dok pribadi/Muhammad Thoha
Banyak pengalaman yang sangat berkesan dirasakan Thoha saat itu. Lantaran keterbatasan internet, Thoha belajar merakit asal dengan modal foto-foto dan diterbangi. Pesawat terbang ke sana kemari, kadang pula terjatuh.
Untuk menyelesaikan satu pesawat, waktu yang dibutuhkannya juga tidak singkat. Mulai dari dua hari dan sampai satu bulan, tergantung dari tingkat kesulitannya. Usut punya usut, pesawat termahal yang dijualnya kini paling mahal autopilot produk vitol mencapai Rp 70-90 juta. Pesawatnya bisa take-off, landing seperti helikopter, di ketinggian tertentu bisa terbang seperti pesawat biasa.
Secara kemampuan, pesawat milik Thoha dan drone jelas beda. Jika drone hanya bisa diterbangkan sejauh 1 km, sedangkan pesawatnya bisa menempuh rute puluhan kilometer.
Rupanya, hobinya buka cuma soal bisnis. Dalam satu bulan, Thoha melakukan aksi sosial dengan keliling TK mendemokan pesawat tanpa dibayar. Antusias anak-anak begitu terlihat. Mereka senang menantikan momen Thoha memperlihatkan pesawatnya.
Komunitas Seribu Bintang
foto: Dok pribadi/Muhammad Thoha
"Niat saya menginspirasi anak-anak ini supaya sedari kecil dia tertarik dengan teknologi, suatu hari belajar sains," jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, kediamannya semakin ramai dengan mahasiswa-mahasiswa yang ingin belajar merakit pesawat, atau mahasiswa yang butuh data dari hasil foto udara. Dengan tangan terbuka, Thoha menyambut baik siapapun yang mau belajar tanpa dibayar.
Kegiatan sosial lainnya, tiap bulan Thoha selalu menyempatkan waktu untuk memotret kawah Gunung Merapi guna mengamati perkembangan morfologi. Tujuannya untuk membandingkan antara sebelum dan sesudah letusan yang nanti datanya akan dianalisa bersama Badan Pemantau Kegunungapian.
Dronesrtagram National Geographic 2014
foto: Dok pribadi/Muhammad Thoha
Terlepas dari hal itu semua, ada satu kenangan atau bisa jadi pencapaian indah dalam hidupnya. Di tahun 2014, gambar udara 'tak sengajanya' menang dalam lomba National Geographic 2014. Foto itu menceritakan seekor burung elang tak sengaja mengikuti kameranya saat berada di Bali.
Baru-baru ini pria yang tinggal di kawasan Condongcatur, Sleman ini mendapat penghargaan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Indonesia (BPIP). Wah, sangat menginspirasi!