1. Home
  2. »
  3. Sosok
26 November 2020 03:07

Modal dengkul, karya Maharsitama melenggang di New York Fashion Week

Maharsitama membangun sebuah usaha bernama Castle Kaos Lukis tanpa modal sepeserpun. Aliftya Amarilisya

Brilio.net - Banyak orang kerap kali merasa ragu ketika ingin memulai sebuah bisnis. Permasalahan akan modal umumnya menjadi salah satu batu sandungan atas munculnya keraguan tersebut.

Namun, hal itu rupanya tak berlaku bagi Maharsitama Anindita. Pemuda yang saat itu masih duduk di bangku kuliah semester 3 ini bahkan tak mengeluarkan uang sepeserpun saat membangun sebuah usaha yang dinamainya Castle Kaos Lukis.

BACA JUGA :
40 Kata-kata motivasi bangkitkan semangat berbisnis, penuh makna


Bersama beberapa temannya, ia merintis bisnis pakaian lukis tersebut hanya dengan bermodal sejumlah kaus yang dipinjam dari tetangga.

Kerja keras dan keseriusan lulusan Ilmu Komunikasi UGM itu pun berbuah manis. Tak hanya banyak dicari oleh para pembeli dari berbagai daerah dan negara, produknya pun pernah melenggang di panggung catwalk ASC New York Fashion Week.

Penasaran seperti apa cerita selengkapnya? Berikut wawancara brilio.net dengan Maharsitama Anindita, Rabu (25/11).

BACA JUGA :
9 Cara untuk sukses berbisnis dengan modal pas-pasan

foto: Instagram/@castlekaoslukis

Castle Kaos Lukis itu kan berdiri tahun 2014. Posisinya waktu itu kamu masih kuliah. Apa yang mendorong kamu untuk kemudian berbisnis di tengah-tengah kuliah, mengingat jurusan kuliahmu pun bukan ekonomi-bisnis?

Jadi, sejarah Castle itu berawal dari saya punya modal yang agak berlebih dari beasiswa. Saya dapat beasiswa dari pemkot dan Bidikmisi yang cairnya bersamaan, sekitar Rp 6 juta. Bagi saya, di zaman itu, uang tersebut sangat banyak. Lalu saya berpikir, Rp 6 juta ini harus saya putar. Cuma waktu itu bingung gimana caranya. Aku waktu itu nggak tahu investasi. Akhirnya aku mikir, aku harus buka usaha. Aku cari bisnis apa yang paling tepat yang bisa aku jalankan waktu itu. Aku sempat coba MLM, pengen coba dropshipper, sampai akhirnya aku ingat kalau rumahku itu kan di Taman Sari.

Nah, di Taman Sari itu warganya berdaya, mereka produksi kaus lukis. Akhirnya aku pilih untuk coba berjualan kaus lukis. Dalam prosesnya, aku menggandeng tetangga sekitarku. Kami bareng-bareng bikin brand.

Aku memang nggak punya basic bisnis. Tetapi, aku merasa punya kapabilitas yang cukup untuk mengomunikasikan seni atau karya ke audiens, dalam hal ini adalah customer. Dengan itu, aku pun mengolah karya itu. Dari yang tadinya hanya dijual di tempat wisata, aku coba kemas menjadi sebuah brand premium.

Aku bikin narasi, nggak sebatas kaus lukis, tapi ada nilai yang aku jual. Misal, lukisan ini judulnya apa. Aku kasih arti juga, meski pelukisnya sendiri nggak tahu artinya apa. Hahaha.

Apakah uang Rp 6 juta cukup atau kurang untuk membangun bisnis ini?

Oh, uang yang tadi ending-nya malah 'tidak terpakai'.

Bagaimana bisa?

Karena sistem jualan kami awalnya pre-order. Jadi, waktu itu aku ngetuk pintu rumah tetangga-tetangga yang punya stok kaus lukis untuk difoto. Kaus-kaus itu lalu jadi sample awal jualan kami. Ada sekitar 6 atau 8 kaus yang aku foto, lalu aku beri judul dan narasi.

Kemudian ada yang tertarik beli. Nah, mereka harus transfer dulu, baru diproses. Jadi, dari transfernya dia, bisa aku gunakan untuk beli material, upah seniman yang menggambar, dan dapat untung. Dari situ, aku terus punya modal lagi untuk produksi kaus ready stock.

Apa saja kendala saat awal-awal membangun brand Castle Kaos Lukis?

Oh, banyak. Kendalanya ada di produk dan harganya itu sendiri. Jadi, gimana caranya mengomunikasikan harga kaus lukis yang tidak bisa dibandingkan dengan kaus sablon biasa ke audiens.

Orang-orang menganggap kaus lukis itu ya kaus aja. Sementara itu, kaus lukis kami, aku tempatkan sebagai barang seni. Kaus kami juga tergolong slow-fashion, yang tentu saja harganya akan berbeda dengan kaus produksi masal.

Kedua, bagaimana caranya aku memproduksi kaus ini supaya dia tidak mudah rusak dan punya kualitas yang baik. Kaus lukis ini pakainya pewarna batik. Masalahnya, nggak semua pembatik itu tahu caranya melukis di kaus dengan metode yang aku pakai.

Kaus ini tidak dicanting, tidak pakai malam (lilin), dan tidak dilorot (rebus). Nah, untuk mencampur warnanya ini biar nggak mbleber, nggak jebol, ini ada trik khusus.

Biasanya, orang melukis kaus itu pakai akrilik, jadi kalau diraba itu timbul. Sementara, punya kami tidak.

Kamu menjuluki produkmu sebagai kaus batik, tapi proses pembuatannya tidak seperti batik pada umumnya. Nah, apakah ini merupakan bentuk dari peredefinisian batik yang baru bagi anak muda atau hanya karena produkmu memakai pewarna batik?

Jadi, kami anak muda Taman Sari itu sebetulnya ingin mengkreasikan batik konvensional. Kami ingin mengubah persepsi orang akan batik dari yang awalnya dianggap kuno, identik dengan kondangan, bapak-bapak banget, ke dalam bentuk kaus yang mana menggunakan material pewarna batik. Ya, meskipun sebetulnya jadi tidak sesuai dengan definisi batik itu sendiri yang mana dibuat pakai malam dan harus direbus itu.

Akan tetapi, poinnya di sini adalah energi dari batik itu sendiri yang ingin kami bawa, bahwa memakai batik atau olahan batik itu tetap bisa terlihat artsy dan fashionable.

Lebih jauh, lewat produk ini kami juga ingin mengenalkan budaya nusantara. Ini bisa dilihat di desain gambar kami, ada wayang, ada motif khas Dayak, ulos.

foto: Instagram/@castlekaoslukis

Nah, berkaitan dengan desain ini, satu kaus kan satu desain ya. Apakah ini karena kausnya digambar secara manual, sehingga tentu sulit jika satu desain dibuat dalam jumlah banyak atau ini sekaligus upaya untuk meminimalisasi penjiplakan desain?

Iya, ketika dilukis, meski orang yang melukis sama, hasilnya pasti tetap akan ada bedanya karena ini pakai goresan tangan. Nah, tapi apakah ini termasuk upaya menentang plagiarisme atau tidak, sebetulnya kami tidak terlalu concern ke sana.

Beberapa kali desain kami dipakai dan diduplikasi, ya nggak masalah. Jadi, kami hanya berupaya untuk terus bekreasi aja.

Pada 2016 Castle Kaos Lukis tampil di perhelatan ASC Summer Fashion Week di New York. Bagaimana ceritanya?

Itu berangkat dari berjejaring. Awalnya, saya mencoba berkenalan dengan sejumlah pakar fashion lewat media sosial. Lalu, mereka tahu produk kami dan beli. Karena merasa kualitasnya bagus, mereka lalu ngajak kolaborasi dan akhirnya menarik perhatian pelaku seni yang lain.

Dari sana, lalu ada seseorang desainer dari New York, Amerika Serikat. Namanya Vanny Tousignant. Dia mengajak kami berkolaborasi di ASC Summer Fashion Week. Kami lantas mengirimkan kaus dan dress lukis sebanyak 30 buah. Lalu, dipamerkan sama model-modelnya.

Di STYLO Asia Fashion Week di Kuala Lumpur tahun 2015 juga begitu, dari jejaring. Kakak dari partner bisnis saya dulu ada booth di acara itu. Kami ditawari untuk turut memajang karya.

foto: Dok. pribadi/Maharsitama Anindita

Omzet Castle Kaos Lukis ini berapa dalam sebulannya?

Karena sekarang lagi pandemi, ya turun jauh. Kami kan ada penjualan offline dan online. Online-nya kami dari Instagram dan Facebook. Offline-nya kami dari titip jual ke Hamzah Batik, ke Borobudur. Nah, selama pandemi ini kami nggak titip jual lagi karena tempat wisata kan ditutup. Kalau dulu sih rata-rata Rp 9-12 juta. Per produk harganya Rp 185.000-Rp 275.000, tergantung kerumitan desain.

Sekarang ini Castle Kaos Lukis juga sudah punya toko fisik atau art shop. Apa yang mendorong kamu membangun art shop ini, bukannya menambah beban biaya?

Sebenarnya, art shop-nya itu bertempat di rumah saya sendiri di Taman Sari. Jadi, tidak sewa. Tujuannya karena kami pengen menghidupkan suasana Taman Sari. Kami pengen menjadikan kaus lukis sebagai trademark baru di dunia oleh-oleh Jogja. Selama ini Jogja itu terkenal dari Dagadu, bakpia.

Sementara itu, kami melihat bahwa kaus lukis ini layak untuk dijadikan oleh-oleh, dan ketika orang main ke Taman Sari, pengen kami ya diasosiasikan dengan kaus lukis. Belum ke Taman Sari kalau belum beli kaus lukis, begitu. Kalau Dagadu, kan ingatnya Jogja. Kalau kaus lukis, ingatnya Taman Sari.

Ada pesan nggak untuk anak muda yang sedang ingin memulai bisnis?

Ya, pada dasarnya harus berani dengan kegagalan sih. Kalau kamu berpikir bisnis itu hanya untung, untung, untung, menurutku ya nggak baik juga. Kamu harus paham risiko.

Gagal itu pasti ada, entah itu gagal minor atau mayor. Pebisnis apapun ya, pasti sempat mengalami kegagalan. Nah, ketika kamu bisa 'berdamai' dengan kegagalan, kamu punya sejuta plan. Punya banyak bantalan-bantalan yang bisa dipakai untuk menambal sulam kegagalan-kegagalan tadi.

Menurutku, pebisnis yang baik akan tahu mereka gagalnya di sebelah mana. Ada di celah yang mana, dan masalah itu pada dasarnya mendewasakan. Jadi, harus berani.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags