Brilio.net - Ismail Haniyeh pemimpin senior Hamas tewas dalam serangan udara yang dilancarkan oleh militer Israel di Gaza pada Selasa (30/7). Serangan ini menargetkan sebuah gedung yang diduga sebagai pusat operasi Hamas.
Dilansir brilio.net dari laporan Al Jazeera, Kamis (1/8), rudal yang ditembakkan menghancurkan bangunan tersebut, menewaskan Haniyeh dan beberapa anggota Hamas lainnya. Serangan ini terjadi setelah peningkatan ketegangan yang dipicu oleh serangan roket dari Gaza ke wilayah Israel sebelumnya.
BACA JUGA :
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dilaporkan terbunuh di Iran, warga Palestina berkabung
Ismail Haniyeh telah lama menjadi tokoh sentral dalam Hamas. Dirinya menjabat sebagai kepala biro politik Hamas sejak 2017 dan pernah menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina dari 2006 hingga 2014. Haniyeh dikenal sebagai pemimpin karismatik dan memiliki peran penting dalam strategi politik dan militer Hamas. Selama kepemimpinannya, Hamas memperkuat hubungan dengan Iran dan Qatar, yang merupakan pendukung utama mereka dalam menghadapi Israel.
foto: X/@anwaribrahim
BACA JUGA :
7 Penampakan dapur umum di Rafah Gaza dari Indonesia, belasan panci hidangan jadi rebutan
Reaksi internasional terhadap wafatnya Haniyeh beragam. Israel mengklaim bahwa serangan tersebut adalah tindakan defensif untuk melindungi warganya dari ancaman militan Hamas, sebagaimana dilaporkan oleh The Times of Israel. Namun, sejumlah negara dan organisasi internasional, termasuk PBB, menyuarakan keprihatinan atas eskalasi kekerasan ini dan menyerukan semua pihak untuk menahan diri. The Guardian melaporkan bahwa banyak pihak khawatir kematian Haniyeh dapat memicu gelombang kekerasan baru di wilayah tersebut.
Peristiwa ini terjadi di tengah kondisi yang semakin memburuk di Gaza, di mana blokade Israel dan penutupan perbatasan oleh Mesir telah memperparah situasi kemanusiaan. Menurut laporan dari Human Rights Watch, kondisi ekonomi dan sosial di Gaza semakin tertekan, dan kematian Haniyeh dipandang sebagai faktor yang dapat memperburuk atau bahkan mengubah dinamika konflik yang ada.
Peristiwa wafatnya Haniyeh ini pun memicu spekulasi siapa yang menjadi penggantinya, terutama di tengah negosiasi gencatan senjata Gaza yang sedang berlangsung.
Profil Khaled Mashal.
foto: X/@anwaribrahim
Khaled Mashal adalah salah satu tokoh kunci dalam Hamas dan disebut-sebut sebagai kandidat kuat untuk menggantikan Ismail Haniyeh. Lahir pada 1956 di Silwad, dekat Ramallah, Mashal pindah ke Kuwait bersama keluarganya saat masih muda. Menurut Middle East Monitor, ia menempuh pendidikan di bidang teknik di Universitas Kuwait dan mulai terlibat dalam kegiatan politik selama masa kuliahnya. Pada 1987, Mashal bergabung dengan Hamas dan segera menjadi salah satu anggotanya yang paling berpengaruh.
Sebagai pemimpin biro politik Hamas dari 1996 hingga 2017, Khaled Mashal memainkan peran penting dalam membangun hubungan internasional untuk Hamas. The New York Times melaporkan bahwa Mashal dikenal sebagai diplomat ulung yang berhasil mendapatkan dukungan dari berbagai negara, termasuk Iran, Qatar, dan Turki. Meskipun mendukung perlawanan bersenjata terhadap Israel, Mashal juga pernah terlibat dalam upaya perundingan tidak langsung dengan Israel.
Di bawah kepemimpinannya, Hamas mengalami beberapa perubahan strategis, termasuk penerbitan dokumen kebijakan baru pada 2017 yang menunjukkan sedikit pergeseran menuju pendekatan politik yang lebih pragmatis. Dokumen ini, menurut The Washington Post, mengakui perbatasan Palestina pra-1967 sebagai dasar untuk negosiasi, meskipun tetap menolak pengakuan resmi terhadap Israel. Mashal juga mendorong pendekatan perlawanan non-kekerasan dalam beberapa situasi, meskipun sayap militer Hamas tetap aktif.
Sumber Hamas mengatakan Mashal diperkirakan akan dipilih sebagai pemimpin tertinggi kelompok tersebut untuk menggantikan Ismail Haniyeh. Selain Mashal, dua pejabat senior Hamas di Doha yakni Mousa Abu Marzouk dan Khalil al-Hayya juga disebut-sebit bakal masuk dalam bursa calon pengganti Haniyeh.
Dampak potensial dari wafatnya Ismail Haniyeh.
Kematian Ismail Haniyeh diperkirakan akan membawa dampak besar bagi Hamas dan dinamika politik di Timur Tengah. Secara internal, kekosongan kepemimpinan ini dapat memicu perebutan kekuasaan di antara faksi-faksi dalam Hamas. Menurut analisis Brookings Institution, Khaled Masal, dengan pengalaman dan reputasinya, kemungkinan besar akan memimpin transisi ini, meskipun menghadapi tantangan signifikan dari faksi-faksi internal.
Secara regional, wafatnya Haniyeh dapat memperburuk hubungan antara Israel dan Palestina, terutama jika tindakan balas dendam dari Hamas terjadi. Reuters melaporkan bahwa Israel kemungkinan besar akan menghadapi serangan roket tambahan dari Gaza, yang bisa memicu respons militer lebih lanjut. Situasi ini berpotensi menyebar ke negara-negara tetangga, mengingat sensitivitas isu Palestina di dunia Arab dan Islam.
foto: X/@YavuzSelim23_1
Dalam konteks internasional, kematian Haniyeh menimbulkan pertanyaan tentang masa depan proses perdamaian Timur Tengah. Negara-negara yang mendukung Palestina mungkin meningkatkan tekanan pada Israel untuk menahan diri, sementara negara-negara Barat dapat memperbarui upaya mediasi untuk mencegah konflik lebih lanjut. Menurut Foreign Policy, kepemimpinan Khaled Mashal akan sangat menentukan arah baru Hamas, apakah akan terus mengambil pendekatan konfrontatif atau membuka diri terhadap negosiasi damai yang lebih substantif.
Peristiwa ini juga menggarisbawahi kompleksitas dan ketidakstabilan yang terus-menerus di Timur Tengah. Dengan wafatnya Ismail Haniyeh, dunia mengamati dengan cermat bagaimana Hamas dan komunitas internasional akan menavigasi tantangan ini, berharap untuk menemukan jalan keluar dari konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade.