1. Home
  2. »
  3. Sosok
20 Juli 2024 16:00

Tolak glorifikasi titel profesor, ini sosok Rektor UII Fathul Wahid yang memilih disapa mas atau bapak

"mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan 'prof'," ungkapnya. Khansa Nabilah
Instagram/@fathulwahid_; www.uii.ac.id

Brilio.net - Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, baru-baru ini menarik perhatian publik usai mengambil langkah antimainstream yaitu menolak dipanggil profesor. Melalui surat edaran resmi yang ditujukan kepada pejabat struktural di lingkup UII, Fathul meminta agar dalam korespondensi sehari-hari, gelar profesornya tidak perlu dicantumkan, kecuali untuk dokumen penting seperti ijazah dan transkrip nilai.

"Untuk menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap 'Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.' agar dituliskan tanpa gelar menjadi 'Fathul Wahid'," demikian bunyi surat edaran yang ditandatangani Fathul Wahid pada 18 Juli 2024.

BACA JUGA :
Gaya Rektor UII saat tunggui jenazah mahasiswanya, bersahaja banget


foto: Instagram/@yanuarnugroho

Fathul mengatakan, langkah terebut ditempuh sebagai gerakan kultural untuk mendesakralisasi jabatan profesor di Indonesia. Baginya gelar profesor bukan status sosial yang harus dikejar apalagi sampai diglorifikasi.

BACA JUGA :
Bentuk tanggung jawab moral, rektor UII mengundurkan diri

"Jadi profesor itu ya tanggung jawab amanah. Tidak sesuatu status yang kemudian diglorifikasi, dianggap suci, sakral. Saya ingin seperti itu," ungkapnya.

Dalam unggahan di Instagramnya, ia meminta rekan-rekan dan orang-orang yang bersinggungan dengannya untuk memanggilnya dengan sebutan informal, seperti nama atau sapaan kasual.

"Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan 'prof.' Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insyaallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun," tulisnya di Instagram @fathulwahid_ pada Sabtu (20/7).

foto: Instagram/@fathulwahid_

Menjabat sebagai Rektor UIIselama dua periode, Fathul mengajak para profesor yang sejalan dengan pandangannya untuk mengikuti langkahnya. Menurutnya, gelar profesor tidak seharusnya dijadikan status sosial yang dikejar dengan segala cara.

"Para sahabat profesor yang setuju, ayo kita lantangkan tradisi yang lebih kolegial ini. Dengan desakralisasi ini, semoga jabatan profesor tidak lagi dikejar oleh banyak orang, termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan semua cara," imbuhnya.

Dalam wawancara di Yogyakarta, Fathul menekankan bahwa gelar profesor seharusnya dipandang sebagai tanggung jawab yang harus dijalankan dengan penuh amanah. Ia mengkritik fenomena di mana beberapa individu mengejar gelar akademik dengan mengabaikan etika, melihatnya lebih sebagai status daripada tanggung jawab moral dan akademik.

foto: Instagram/@fathulwahid_

"Saya berharap gelar profesor lebih dipahami sebagai tanggung jawab publik, bukan sekadar pencapaian akademik," kata Fathul, dikutip brilio.net dari Antara pada Sabtu (20/7).

Fathul juga menyoroti tantangan menemukan intelektual publik yang berani menyuarakan kebenaran di tengah penyelewengan, meskipun jumlah profesor di Indonesia terus bertambah. Ia melihat peniadaan gelar dalam penandatanganan dokumen sebagai upaya menjaga semangat kolegialitas di lingkungan akademik, dan berharap langkah ini dapat mengurangi jarak sosial di kampus.

"Saya berharap semakin banyak profesor yang bersedia ikut dalam gerakan moral simbolik ini, menciptakan budaya egaliter baru yang permanen," harap Fathul.

foto: Instagram/@fathulwahid_

Lahir dari keluarga sederhana di Jepara, Jawa Tengah, pada 26 Januari 1974, Fathul Wahid adalah anak sulung dari empat bersaudara. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri Teluk Wetan III, melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Kudus, dan lulus dari SMA Muhammadiyah I Yogyakarta pada tahun 1992.

Setelah menamatkan SMA, Fathul melanjutkan studinya di Institut Teknologi Bandung (ITB), di mana ia meraih gelar Sarjana di Jurusan Teknik Informatika pada tahun 1997. Keinginannya untuk memperdalam pengetahuan membawanya ke University of Agder di Norwegia, tempat ia meraih gelar Magister pada tahun 2003 dan Doktorpada tahun 2013, keduanya di Department of Information Systems.

foto: Instagram/@fathulwahid_

Karier akademiknya dimulai di UII pada tahun 1998 dan terus berkembang hingga ia menjabat sebagai Rektor UII pada tahun 2018, menggantikan Nandang Sutrisno. Pengangkatan ini menjadikannya salah satu rektor termuda dalam sejarah UII. Selama masa kepemimpinannya, UII berhasil meraih akreditasi unggul dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.

Fathul dikenal sebagai akademisi kritis dan produktif, baik dalam menulis artikel ilmiah maupun opini. Laman 'Pojok Rektor' di UII menjadi wadah baginya untuk berbagi pemikiran reflektif, dan ia juga telah menerbitkan buku berjudul "Rendahkan Sayapmu," yang berisi tulisan-tulisan pendeknya selama Ramadan beberapa tahun lalu.

Bukan hanya menulis, Fathu Wahid ternyata merupakan sosok yang gemar bercengkrama dengan alim ulama. Sebagai akademisi, ia turut berteman baik dengan ulama seperti Gus Baha dan Quraish Shihab. Momen dirinya bertemu dengan para ulama itu diunggah ke akun Instagram pribadinya.

"Salah satu obat hati: berkumpul lah dengan orang-orang saleh," tulis Fathul dalam caption Instagram.

View this post on Instagram

A post shared by Fathul Wahid (@fathulwahid_)

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags