Brilio.net - "Kita harus ingat, satu titik air hujan diiringi 200 malaikat yang mengikutinya berdzikir atas air hujan tersebut."
Kekeringan setiap tahun selalu melanda di berbagai penjuru Indonesia. Tak hanya di desa, wilayah perkotaan pun kerap mengalami masalah serupa, yakni kekurangan air saat kemarau tiba. Untuk menanggulangi kondisi ini, masyarakat harus membeli air dengan jumlah besar ke desa-desa dan perkampungan. Tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Adalah Sri Wahyuningsih (51), seorang pedagang jajanan pasar getuk dan tiwul khas Yogyakarta. Sosok yang kerap disapa Yu Ning itu meresahkan mengapa setiap kali ada wilayah terjadi kekeringan air, masyarakat selalu disodorkan dengan solusi instan. Misalnya, selalu menggunakan dropping air yang terulang setiap tahunnya membuat warga setempat tidak bisa mandiri. Kenyataan inilah yang menggerakkan Yu Ning untuk peduli dengan keadaan lingkungan.
BACA JUGA :
Jalan panggung Whani Darmawan, pemeran Darsam di Bumi Manusia
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Yu Ning berusaha untuk mengorek akar permasalahan sebab terjadinya kekeringan air. Salah satunya dengan cara mengedukasi masyarakat agar mempunyai jiwa kemandirian tentang persediaan air, agar setiap tahun tak terjadi masalah yang sama. Ibu dari dua orang anak tersebut berusaha meyakinkan masyarakat untuk mandiri air dengan menggunakan air hujan.
Dengan persediaan air hujan yang melimpah, warga tak akan mengalami kekeringan meskipun terjadi musim kemarau berkepanjangan. Masalahnya, informasi demikian tak pernah tersampaikan kepada khalayak ramai. Hal tersebut terbukti ketika Yu Ning mengisi materi ke warga Pacitan, Jawa Timur yang terkaget-kaget setelah mendengar solusi kekeringan dengan menggunakan air hujan.
"...'Dan aku turunkan air yang sangat bersih dari langit'. Mestinya kita belajar meriset sesuatu itu dari pokok permasalahan," ujar Sri Wahyuningsih saat ditemui brilio.net di kediamannya, Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, Kamis (21/8).
Ia mengaku bahwa gerakan memanen air hujan didasari dari ajaran agama Islam. Fenomena ini disebut Yu Ning sebagai diskoneksi atau keterputusan hubungan antara budaya lokal nenek moyang dengan kebiasaan orang modern, utamanya di Indonesia.
Yu Ning mengklaim bahwa dahulu masyarakat nusantara tak pernah mengalami kekeringan air. Sebab nenek moyang kita terdahulu terbiasa menampung air hujan sebagai persediaan musim kemarau.
Gerakan Yu Ning dalam mengelola air hujan telah berjalan tujuh tahun. Menariknya, kepedulian Yu Ning kepada lingkungan justru berawal dari keluarga. Sang suami, Kamaluddin, sudah lebih lama bergerak di gerakan konservasi dengan menanam pohon. Namun, Yu Ning kala itu tak tergerak sama sekali dengan kegiatan suaminya. Bahkan, ibu dari dua orang anak itu berseberangan dengan sang suami. Yu Ning sama sekali tak tertarik untuk aktif di bidang lingkungan hidup. Yu Ning merasa bahwa dirinya dan suami berbeda prinsip.
Suatu ketika, ibu dua orang anak itu diajak oleh anak keduanya yang sering mengikuti kegiatan ayahnya untuk melestarikan lingkungan, untuk menanam pohon di daerah Gunung Kidul. Sesampainya di tempat penanaman pohon, Yu Ning terkaget-kaget dengan sang anak yang sudah sangat akrab dengan warga. Kejadian tersebut membuat Yu Ning merasa terpukul. Ia merasa kalah dengan anaknya sendiri yang dikenal banyak orang, sedangkan Yu Ning sendiri tak banyak dikenal masyarakat umum.
Lambat laun, Yu Ning mulai aktif dalam kegiatan penanaman pohon. Setelah beberapa waktu berjalan, Yu Ning bertemu dengan seorang teman yang mengajaknya untuk belajar 'memanen' air hujan. Ia diajak untuk mengikuti pelatihan kepada seorang Romo yang aktif dalam gerakan pemberdayaan air hujan.
Ia pun mengikuti pelatihan tentang cara mengelola air menjadi air siap minum menggunakan metode elektrolisa. Metode dengan menggunakan aliran listrik ini berfungsi untuk memisahkan antara kadar air yang bersifat basa dengan yang mengandung asam. Metode ini juga dapat mengubah air menjadi ion.
Tak hanya air hujan, Yu Ning juga melakukan eksperimen dengan menggunakan sungai dan air sumur. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa air hujanlah yang mempunyai kualitas paling baik dari pada air sumur dan air sungai. Ia pun akhirnya mendirikan Komunitas Banyu Bening pada tahun 2012.
Komunitas tersebut bermarkas di Dusun Tempursari, Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, tepatnya di belakang rumahnya sendiri. Melalui komunitas tersebut, Yu Ning dan para relawan berusaha memberikan edukasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya air hujan. Harapannya, agar masyarakat bisa mandiri air sehingga dapat mengentaskan masyarakat dari masalah kekeringan.
Perjuangannya menggerakkan komunitas tak semudah membalikkan tangan. Yu Ning mengaku tak dipercaya orang, dicibir, bahkan dianggap tak waras. Hal tersebut dikarenakan anggapan orang umum bahwa air hujan adalah air kotor dan tak layak dikonsumsi, terlebih untuk melengkapi kebutuhan air minum.
Sedangkan, Yu Ning menyatakan bahwa masyarakat sendiri tak yakin dengan kualitas air sumur mereka. Akibatnya, banyak sekali yang mengandalkan air kemasan untuk kebutuhan harian keluarga.
Padahal, menurut Yu Ning, memanen air hujan sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan air minum, kegiatan ini juga dapat mengatasi banjir bagi daerah lebih rendah. Selain itu, kegiatan tersebut bisa mengatasi krisis ekonomi, sosial hingga krisis budaya.
Bagaimana tidak, pengeluaran setiap keluarga untuk kebutuhan air harian saja sangat mahal. Bayangkan saja jika semua uang yang kita keluarkan untuk konsumsi air tiap tahunnya dijumlahkan. Akan lebih bermanfaat uang tersebut untuk tabungan masa depan.
--
Sudah biasa diintervensi
Selain tentangan dari masyarakat, Yu Ning juga mendapat tentangan dari anak pertamanya. Hal tersebut dikarenakan sang anak takut gerakan mandiri air mengancam keselamatan ibunya. Betapa tidak, gerakan Yu Ning mendapatkan kecaman dari berbagai pihak seperti industi air minum. Hal itu tak lain karena kebanyakan orang yang telah mengerti cara mengolah air hujan menjadi air minum tak lagi mengonsumsi air kemasan.
Sedangkan semua yang dilakukan Yu Ning adalah murni kegiatan sosial. Berbeda dengan komunitas lain yang mendapatkan sumber dana dari perusahaan atau pemerintah, Yu Ning menggerakkan komunitas ini hanya bermodal dana dari donator. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan harian, lulusan S1 Jurusan Peradilan Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengandalkan dari hasil berjualan jajanan tradisional di Pasar Kranggan dan Pasar Godean, Yogyakarta.
"Independen, saya lebih suka seperti itu mandiri, saya bebas berkreasi. Saya tidak ditekan dari mana pun dan tidak bergantung pada siapa pun. Sekalipun mereka (instansi pemerintahan) mengundang saya untuk memberikan edukasi dan lain-lain. Saya sudah biasa dengan BNPB, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian PU dan sebagainya," ujar Yu Ning.
--
Proses pengolahan air hujan menjadi air minum
Pengolahan air hujan, menurut Yu Ning bisa dilakukan dengan cara sederhana. Bisa dengan cara ditampung dengan alat rumahan seperti bak mandi maupun timba. Bisa juga menggunakan instalasi penampungan berupa tendon air. Air yang bagus untuk diolah katanya, adalah air hujan di hari ke-3 awal musim penghujan.
BACA JUGA :
Kisah Pak Gatot, penjual es goreng bisa kuliahkan 3 anaknya hingga S2
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Hal ini mengantisipasi tercampurnya air hujan dengan debu, polusi atau bangkai binatang. Air hujan yang terbaik adalah saat petir menyambar-nyambar. Air hujan yang telah ditampung, melalui tiga tahap penyaringan agar benar-benar berkualitas baik. Air hujan tersebut kemudian dimasukkkan ke dalam penampungan.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Setiap kali dibutuhkan, air tersebut dimasukkan ke dua wadah air untuk dilakukan penyeteruman dengan alat elektrolisa. Dua wadah tersebut digunakan untuk memisahkan air bermuatan positif (asam) dan negatif (basa). Listrik dialirkan melalui kawat spiral berbahan titanium bebas korosi. Setelah satu liter air hujan membutuhkan waktu satu jam penyeteruman. Setelah proses penyeteruman usai, air hujan pun siap dikonsumsi.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Komunitas Banyu Bening sendiri mempunyai depot air hujan yang menampung air hujan siap minum. Air hujan milik komunitas ini dinyatakan aman oleh para ahli Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Air hasil elektrolisa yang ada di depot air hujan disediakan 24 jam secara gratis kepada warga sekitar Dusun Tempursari. Dengan begitu, sesama warga bisa bersosialisasi satu sama lain.
--
Berkah melimpah dari pemberdayaan air hujan
"Kita harus ingat, satu titik air hujan diiringi 200 malaikat yang mengikutinya yang berdzikir atas air hujan tersebut," kata Yu Ning yang telah menyalurkan air hujan lebih dari tujuh puluh ribu liter ke berbagai titik di Indonesia itu.
Komunitas Banyu Bening mempunyai visi yang pertama adalah merubah mindset tentang air hujan yang dianggap tak layak konsumsi menjadi bisa dikonsumsi. Komunitas ini akan terus meyakinkan dan mengedukasi masyarakat bahwa air hujan punya banyak manfaat untuk kehidupan.
Adapun visi kedua adalah masyarakat bisa mandiri untuk mengelola air hujan, sehingga tidak lagi mengalami kekeringan tiap tahunnya. Sedangkan visi yang ketiga adalah Komunitas Banyu Bening ingin suatu saat setiap anak yang lahir bisa mempunyai persediaan air sendiri.
Tak banyak yang tahu, air hujan mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Tak hanya sebagai penghilang dahaga, air hujan ternyata bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Yu Ning mengaku bahwa ada beberapa orang penderita penyakit katarak, kanker otak, leukemia, lupus, kanker serviks hingga HIV kondisinya membaik setelah minum air hujan.
"Kemarin, (ada pengidap) HIV. Dokter udah bilang ke orangtuanya, agar diikhlaskan. Bapaknya ke sini awalnya menangis karena udah mentok (berobat ke mana saja). Dia konsumsi tidak sampai 22 hari berat badannya sudah naik 11 kg dan sekarang dia mandiri," paparnya.
Selain itu, Yu Ning mengklaim air hujan panenan juga bisa mengobati kanker serviks seperti penyakit yang diidap mendiang Julia Perez. "Saya punya momen tertentu ketika almarhumah Julia Perez menderita kanker serviks, saya punya pasien kanker serviks lebih parah dan selamat sampai sekarang. Barengannya almarhumah Bu Ani Yudhoyono, saya punya pasien leukemia yang satu minggu nggak bisa bangun dari tempat tidur. Tapi minum air hujan dua hari, datang ke sini (sudah sehat) naik motor," kenang Yu Ning.
--
Panen air hujan sebagai media dakwah Islam
Meski sudah 7 tahun istikamah memanen air hujan menjadi air minum, tak banyak yang tahu jika gerakan mulia Yu Ning ini sebenarnya merupakan cara dakwahnya untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Bukan seperti yang ada di pikiran masyarakat bahwa Islam adalah agama radikal.
"Maksud saya dari air hujan ini kami mau menunjukkan islam itu rahmatan lil alamin. Tidak seperti yang mereka (non muslim) lihat selama ini, anarkis, radikal dan sebagainya. Kita ingin menunjukkan, 'Ini lho, solusi kekeringan adalah solusi dari Alquran'," tambahnya.
Selain itu, Yu Ning mempunyai mimpi besar untuk mengembalikan budaya nenek moyang dalam memanen air hujan sebagai konsumsi masyarakat. Semoga bisa tergerak untuk mengelola air hujan menjadi air minum, agar tak ada lagi masalah kekeringan yang diderita warga Indonesia setiap tahunnya.
"Ada diskoneksi antara dulu budaya lokal nenek moyang kita dengan gaya hidup masyarakat sekarang. Semoga masyarakat bisa terbuka pikirannya agar bisa memanfaatkan air hujan seperti yang dilakukan orang dulu," imbuh Yu Ning sembari menutup perbincangan.