Brilio.net - Saat ini banyak anak muda yang terjun ke dunia bisnis. Beragam sektor usaha mereka geluti. Ada yang tertarik di bisnis fashion, aksesoris, jasa, hingga kuliner.
Kebanyakan dari mereka membuka bisnis bukan didasarkan pada latarbelakang pendidikan. Tapi lebih pada passion lho.
BACA JUGA :
Terlihat seperti hiasan, 14 bunga ini ternyata cupcake yang lezat lho
Salah satunya dilakukan Nadya Perwitasari. Cewek penyandang master of art dari Lasalle College of the Arts Singapura ini serius menekuni bisnis kuliner yang mengusung brand Lacrou, pastry ala Prancis.
Oh ya, tapi jangan kira Lacrou itu produk impor dariPrancis ya. Ini asli local brand dengan cita rasa dan standard internasional lho.
BACA JUGA :
Lagi hits, 13 kue bertema Beauty and The Beast ini bikin terpana
Sebelumnya cewek kelahiran Jakarta 2 September 1982 ini sudah punya posisi nyaman di PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) sebagai Deputi General Manager Brand Strategic. Tapi akhirnya dia memilih resign pertengahan tahun lalu.
Saya resign karena melihat prospek usaha ini bagus. Nah adik saya sebagai chefnya sedangkan saya ngurus hal-hal di luar dapur, ujar Nadya, CEO Lacrou kepada brilio.net yang ditemui saat peluncuran aplikasi bima+ di Jakarta, baru-baru ini.
Bisnis ini dia dirikan bersama adiknya, Fadila Octariani pada 2015 lalu. Saat itu Nadya belum terlalu serius menjalankan usaha karena masih disibukkan dengan urusan pekerjaan di perusahaan telekomunikasi itu.
Tapi karena peluang begitu terbuka lebar di bisnis makanan, dia pun nekat meninggalkan zona nyaman.
Nah yang unik, sang adik Dila yang bertindak sebagai chef di Lacrou berlatarbelakang sebagai dokter gigi. Dia lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta.
Setelah lulus, Dila nggak pernah praktik sebagai dokter sama sekali. Justru memilih pergi ke London, Inggris untuk belajar membuat pastry (patisserie).
Jadi begitu lulus, dia langsung menyerahkan ijazahnya kepada kedua orangtua saya yang memang menginginkan salah satu anaknya jadi dokter, kenang Nadya.
Lewat Lacrou, dua bersaudara ini nggak sekadar menawarkan produk kuliner. Tapi mereka ingin memberikan kesan tersendiri pada para penikmat pastry.
Keunikankannya, di balik setiap varian Locrue ada cerita khusus lho. Misalnya Bronele yang merupakan produk mountain series, bentuknya terinspirasi dari Gunung Bromo. Makanya pada topping kue cantik ini dibuat seperti kawah Bromo.
Sedangkan untuk varian Janele terinspirasi Gunung Jayawijaya di Papua. Toppingnya diberi hiasan berbahan kelapa untuk memberikan kesan salju. Kita ingin orang memiliki pengalaman dari kue yang mereka beli, ujar Nadya.
Saat ini Lacrou memiliki lebih dari 20 varian. Keunikan lain, kue ini merupakan artisan pattiserie yang diproduksi secara terbatas. Maklum deh, produk yang menggunakan bahan baku campuran lokal dan impor ini bukan buatan mesin lho, melainkan hand made.
Kita bikin kue ini nggak massal tapi limited. Kita juga nggak mau terlalu banyak menggunakan gula agar rasanya lebih nikmat dan alami, tambah Nadya.
Nah untuk harga lumayan mahal sih. Setiap boks berisi delapan kue dibanderol Rp 200 ribu atau Rp 25 ribu per satuannya. Maklum deh, produk ini memang untuk kelas menengah atas.
Selama ini pemasaran Lacrou dilakukan lewat online baik melalui situs www.lacrou.co maupun sosial media seperti instagram. Nah untuk memuaskan pelanggan, ada juga outlet kecil di bilangan Cipete, Jakarta Selatan.
Belakangan, Lacrou memanfaatkan platform &Co, salah satu marketplace besutan Tri. Menurut Nadya, Tri satu-satunya brand yang ingin membantu anak muda, khususnya mereka yang menggeluti dunia start up.
Ini jelas membantu banget. Tri punya jaringan yang besar jadi usaha kita bisa lebih dikenal masyarakat, tukas Nadya.
Nah dengan makin pesatnya perkembangan teknologi, Nadya menyarankan anak muda jangan pernah takut terjun ke dunia bisnis.