Brilio.net - Mendung menggelayut di atas Sungai Oya, dan kabut tipis menyelimuti tebing batuan kapur yang menghijau ditumbuhi lumut dan rerumputan di kanan-kiri sungai. Sesekali gerimis turun seakan menyeka wajah-wajah yang baru bangun dari peraduan. Pagi itu, Jumat (9/2), matahari tampak malu-malu memancarkan teriknya.
Hawa dingin masih menembus jaket saat brilio.net bersepeda motor menyusuri jalanan menuju Dusun Kedungjati, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Bantul. Jalan sempit di tepi aliran yang kini dirintis menjadi destinasi wisata susur sungai itu kondisinya mengkhawatirkan. Di beberapa titik, bagian bahu sudah amblas terkena erosi sungai yang cukup parah.
BACA JUGA :
7 Aksi kurang ajar murid ke guru, dari pelecehan sampai penganiayaan
Jalan yang menjadi rute event internasional Jogja International Heritage Walk (JIHW) itu berakhir pengaspalannya persis di ujung jembatan gantung yang putus. Selebihnya hanya jalan berbatu dan sebagian dibeton. Banjir bandang akhir November 2017 telah menghancurkan jembatan yang menghubungkan Dusun Kedungjati, Desa Selopamioro dengan Dusun Wunut, Desa Sriharjo itu.
Jembatan gantung yang putus/foto: brilio.net
BACA JUGA :
5 Fakta Budi Cahyono, guru yang meninggal dunia usai dianiaya muridnya
Sekitar 500 meter lebih jauh dari aspal terakhir, tiga bocah siswa sekolah dasar bersiap pergi ke sekolah di tengah cuaca yang tak bersahabat. Ketiganya adalah Fiki Nur Afendi (7), Devan Andrea (8), dan Amelia (8).
Anak-anak di RT 4 Kedungjati itu harus menyeberangi sungai sedalam 5-7 meter. "Kalau dulu jembatan belum putus, lewat sana," ujar Sumardi (35), ayahanda Fikri saat ditemui di teras rumahnya yang berjarak kurang dari 5 meter dengan bibir sungai.
Berseragam olahraga setelan kaus dan celana panjang kuning kombinasi hitam bertuliskan SDN Kedungmiri, Fikri dan dua temannya lantas mengenakan pelampung oranye. Setelah semuanya siap, sambil menggendong tas ransel, mereka bergegas menuju sungai.
Bersiap berangkat sekolah/foto: brilio.net
Di belakangnya, dua paman Fikri, Ivan dan Priyadi, membawa sebuah ban yang telah dimodifikasi dengan dipasang ember di tengahnya. Ban bantuan dari tim SAR Parangtritis inilah satu-satunya alat bagi tiga bocah itu menyeberangi sungai yang pagi itu alirannya selebar kurang lebih 15 meter.
Dengan hati-hati satu per satu tiga bocah itu naik ke atas ban yang dipegangi Priyadi agar terjaga keseimbangannya. Mereka bertiga duduk melingkar dengan kaki masuk ke ember, sambil memangku tas masing-masing.
Saat sudah siap, Priyadi perlahan-lahan mendorong ban ke tengah sungai. Sambil berenang, pria ini terus memegangi ban agar tidak terbalik. Kurang dari lima menit mereka sudah sampai di seberang sungai. Tiga bocah itu pun naik ke daratan untuk selanjutnya naik sepeda sejauh 2 km menuju sekolah. "Sepedanya dititipkan di rumah warga di sana," cerita Sumardi.
Saat pulang sekolah, anak-anak itu akan teriak memanggil untuk dijemput dari seberang sungai. Warga pun menjemputnya dengan cara yang sama dengan saat berangkat. Prose menyeberangkan ini tidak selalu dilakukan orangtua atau keluarga siswa. Sumardi sering bergantian dengan tetangganya. "Pokoknya siapa saja yang ada, dia bantu. Wanita pun di sini bisa," jelas ayah dua anak tersebut.
Satu ban untuk bertiga/foto: brilio.net
Pemandangan ini terjadi setiap hari aktif, kecuali saat debit air deras. Aliran Sungai Oya tidak menentu setiap harinya, hari ini kecil, besok bisa banjir. Bahkan, bisa saja pagi saat berangkat masih aman diseberangi, tiba-tiba saat pulang sekolah sudah deras dan berbahaya. "Sebenarnya khawatir juga, tapi ya gimana lagi, ini pilihan terbaik," tutur suami Yuni itu.
Kondisi ini tidak saja membahayakan keselamatan anak-anak itu, tapi juga mengganggu pendidikan mereka. Sebab, anak-anak terpaksa sering membolos karena Sungai Oya kerap banjir. Bahkan, dalam sepekan kadang bisa hanya 2-3 kali berangkat sekolah. "Anak-anak tetap semangat sekolah, tapi kalau banjir kan tidak bisa diseberangi," sesalnya.
Menurut Sumardi, pihak sekolah sudah memahami kondisi ini dengan memberikan toleransi bagi siswa dari Kedungjati untuk tidak masuk sekolah jika sungai banjir. Total ada lima anak di desa itu yang harus menyeberangi sungai ke SDN Kedungmiri.
Satu-satunya alternatif lain adalah dengan melewati jalan sejauh kurang lebih 14 km. "Jadinya harus antar-jemput, pulang pergi tidak cukup bensin satu liter," timpal Sugirah (65), kakek dari Devan yang ikut mengantar cucunya sampai tepi sungai.
Menyeberangi sungai naik ban/foto: brilio.net
Kondisi ini sudah diketahui perangkat desa setempat. "Semua ini disebabkan jembatan gantung yang ambrol," ujar Sekretaris Desa Selopamioro, Ngadimin, di kantornya.
Menurut dia, pihak pemerintah desa tidak bisa membangun lagi jembatan itu. Bahkan, pemerintah daerah pun menyerahkannya ke pusat. "Jembatan yang lama itu dibangun tahun 2001 juga dari pusat," ungkapnya.
Ngadimin berharap jembatan itu segera dibangun karena fungsinya yang sangat vital. Apalagi dari pemerintah juga sudah melakukan survei untuk rencana pembangunan.
Sambil menunggu realisasi pembangunan, dia menawarkan solusi bagi warga untuk menggunakan perahu karet yang dimiliki desa. Desa Selopamioro mendapat bantuan 5 perahu karet dari Kementerian Desa yang rencananya akan digunakan pengembangan wisata susur sungai. "Tapi, untuk sementara sebenarnya bisa dipakai warga menyeberangkan anak sekolah," tandas dia.