Siang itu matahari sangat terik menyinari langit Jogja. Meski terasa sangat gerah, namun tak sedikit pun mengurangi semangat para pengais rezeki di sepanjang jalanan Malioboro. Di beberapa ruas jalan juga terlihat para pengayuh becak dan kusir andong masih duduk-duduk santai menanti penumpang sembari mengobrol satu sama lain.
Kalau kamu mengunjungi Malioboro, memang belum lengkap rasanya jika tidak singgah ke Pasar Beringharjo. Pasar ini terletak di selatan Malioboro, atau lebih tepatnya sebelum titik KM 0. Di pasar tertua di Jogja itu, para wisatawan bisa berburu segala hal yang berhubungan dengan Jogja. Mulai dari batik, kue bakpia, hingga mainan kecil yang bisa jadi buah tangan.
Sesampainya di salah satu pintu masuk bagian utara Pasar Beringharjo, brilio.net melihat segerombolan pengunjung pria dan wanita paruh baya tengah asyik menyeruput semangkuk minuman dingin di kursi kecil. Sesekali mereka bercengkerama sambil menyelonjorkan kaki. Tak lama kemudian, pria dan wanita ini menanyakan kepada penjual total yang harus dibayarkan. Sembari melempar senyuman, sang penjual mengucapkan terima kasih karena sudah melarisi dagangannya.
BACA JUGA :
Rasa Sayange, warung makan ikan khas Indonesia timur tiada duanya
foto: brilio.net/hira hilary aragon
Adalah Mbah Hari, penjual es dawet yang menyambut brilio.net siang itu. Dengan keramahannya, dirinya menanyakan kepada kami berapa banyak yang akan dibeli. Sambil mencampurkan cendol, camcau, air gula Jawa dan santan dalam satu mangkuk, Mbah Hari mulai menceritakan awal mula dirinya berjualan di Pasar Beringharjo.
"Saya sudah berjualan dawet dari muda. Waktu itu belum punya anak, ya sekitar umur 20 tahunan," ujar Mbah Hari membuka cerita dengan tertawa, ketika ditemui brilio.net pada Selasa (19/12).
Mbah Hari sudah berjualan di Pasar Beringharjo sejak tahun 1965. Kala itu ia masih sangat muda. Setiap harinya, sang suami selalu setia mengantarkannya dengan bermodal sepeda motor dari rumahnya yang berlokasi di Bantul.
BACA JUGA :
30 Kuliner Jogja yang khas dan paling hits 2018
foto: brilio.net/hira hilary aragon
Mbah Hari mulai berjualan dari pukul 09.00 WIB sampai 15.00 WIB setiap harinya. Ketika bulan Ramadan tiba, Mbah Hari mulai akan libur berjualan 10 hari menjelang hari raya Idul Fitri.
BACA JUGA: Membedah sejarah Burger Monalisa, burger legendaris tertua di Jogja
Wanita yang kini berusia 73 tahun itu mengungkapkan, mulanya ia mengikuti ibundanya yang saat itu berjualan es dawet. Merasa tertarik, ia pun ikut berjualan seperti apa yang dilakukan ibunya.
"Simbok (ibu) saya dulu di sini dulu (es dawet), jualannya keliling-keliling. Waktu itu saya masih kelas 6 SD, nggak boleh lanjut sekolah dan disuruh ikut jualan simbok saya," ungkapnya.
foto: brilio.net/syamsu dhuha
Dengan demikian, resep dawet Mbah Hari langsung turun dari ibundanya. Meski begitu, Mbah Hari mengaku tak ada rahasia atau resep khusus pada es dawet racikannya. Semuanya dibuat bermodalkan bahan tradisional tanpa mesin dan sudah dimasak pada malam hari.
"Ini dawetnya pakai pati, sedangkan yang hijau itu pakai daun camcau (sembari menunjuk camcau pada wadahnya)," ujarnya.
Semua bahan baku dawet seperti camcau, dawet, air gula Jawa, serta air kelapa, Mbah Hari membuatnya sendiri dan dibantu anak-anaknya. Meski telah memiliki anak dan cucu, wanita kelahiran tahun 1945 ini masih memilih untuk berjualan sendiri hingga kini.
foto: brilio.net/hira hilary aragon
Sejak awal berjualan, Mbah Hari tak pernah berpindah tempat. Seperti pedagang lainnya, ia pun harus membayar pungutan secara rutin setiap bulannya. Biaya pungutannya pun cukup murah dan tidak memberatkan.
"Saya daftar ke kantor pasar, nanti ada pungutan karcis sebulan Rp 20 ribu," jawab Mbah Hari sembari melayani pembeli.
Dalam satu hari, ibu tiga anak tersebut bisa menghabiskan sampai 100 mangkuk setiap harinya. Kadang dagangannya bisa saja tidak habis bila cuaca sedang buruk, seperti saat musim hujan. Namun cendolnya tetap dapat digunakan dan dikonsumsi untuk keesokan harinya lagi jika disimpan di dalam lemari pendingin.
Berjualan es dawet lebih dari 50 tahun lamanya, nyatanya hingga kini Mbah Hari belum terpikirkan untuk membuka cabang. Terlebih dagangannya disebut-sebut sebagai kuliner legendaris atau bisa dikatakan es dawet tertua di Jogjakarta.
foto: brilio.net/syamsu dhuha
Meski dagangannya terbilang cukup laris manis, namun Mbah Hari tidak mematok harga mahal. Untuk menikmatinya, pembeli cuma membutuhkan uang Rp 5.000 per satu mangkuk kecil. Diakuinya, harga Rp 5.000 tersebut baru dipatok Mbah Hari sejak dua tahun lalu.
"Dulu mulai dari Rp 25, terus seket (Rp 50), satus seket (Rp 150), terus Rp 1.000, Rp 2.000, terus Rp 3.000, dan yang sampai sekarang ya Rp 5.000," tutupnya sambil menyajikan minuman kepada kami.
Jangan lupa, kalau kamu lagi ke Jogja dan piknik ke Malioboro, sempatkanlah mampir ke Pasar Beringharjo untuk mengunjungi Mbah Hari sekaligus menikmati kesegaran dawet legendarisnya. Dijamin berkesan dan bikin ketagihan.