Berangkat dari keprihatinan tentang tingginya angka putus sekolah dan pernikahan dini lahirlah SALAM. SALAM atau Sanggar Anak Alam berdiri sejak tahun 1988 di Lawen, Banjarnegara.
Namun tahun 1996 sang penggagas sekolah ini, Sri Wahyaningsih pindah ke Yogyakarta. Hingga akhirnya di tahun 2000 dia mendirikan SALAM di daerah Nitiprayan.
BACA JUGA :
Kisah Kusnandar, si driver ojek online pembawa selang penolong
"Di desa sebenarnya subur tapi mengapa masyarakatnya miskin. Ini jadi tanda tanya besar sehingga bagaimana mengupayakan pendidikan itu punya kaitan langsung dengan kehidupan nyata," kata Sri Wahyaningsih, penggagas SALAM.
Wahya ingin melahirkan pendidikan yang benar-benar merangkul kehidupan nyata. "Kalau kita lihat biasanya orang kampung sekolah, biasanya nggak mau lagi pulang ke desa. Sekolah seolah-olah menjauhkan kehidupan seseorang dari kehidupan real yang nyata. Padahal kan sekolah didedikasikan untuk bagaimana orang bisa memperbaiki hidupnya," tuturnya.
Di SALAM, sistem belajar unik karena tidak berbasis mata pelajaran tapi berbasis riset. Terdiri dari PAUD hingga SMA, siswa dibebaskan memilih minat yang mereka senangi. Cara itu membentuk anak-anak lebih kritis dan mengetahui potensi yang mereka miliki. Ada 4 pilar yang dijadikan dasar yakni pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya.
BACA JUGA :
Ingat bocah yang viral karena cuci mobil? Begini kabarnya sekarang
SALAM berpegang erat pada ajaran Ki Hajar Dewantoro dengan semboyannya Tri Sentra Pendidikan. Yakni keluarga jadi pendidik yang utama dan pertama, kemudian sekolah dan masyarakat.