Brilio.net - Lebaran menjadi momen tradisi bagi setiap Muslim, terlebih bagi Indonesia. Semua berbondong-bondong merayakan hari kemenangan tersebut. Semua orang berkumpul dengan keluarga besar di kampung halaman.
Berbagai perayaan pun diadakan demi semaraknya momen tersebut. Seperti tradisi membuat kue Lebaran, bersilaturahmi, ataupun sekadar menyanyikan lagu bernuansa Idul Fitri.
BACA JUGA :
Ini arti lagu Sunset di Tanah Anarki milik Superman Is Dead
Lagu bertema Lebaran memang banyak dijumpai di Indonesia. Namun satu lagu yang tak bisa lepas dari momen hari raya adalah Hari Lebaran milik Ismail Marzuki. Lagunya sangat enak dinikmati karena terdengar sederhana.
Namun siapa sangka jika lagu tersebut mengandung makna mendalam. Dalam lagu tersebut terdapat kritik sosial, kelas ekonomi, hingga pemerintahan yang korup. Lagu ini juga mempunyai fakta-fakta menarik.
Nah, apa saja fakta di balik lagu Hari Lebaran? Disarikan Brilio.net dari berbagai sumber, inilah deretan fakta lagu Hari Lebaran yang tak banyak orang ketahui.
BACA JUGA :
Bukan Via Vallen & NDX AKA Familia, ini sosok pencipta lagu Sayang
1. Penyanyi pertama.
foto: YouTube/Montana Blego
Lagu ini direkam pertama kali pada 1954. Ada dua versi mengenai penyanyi pertama lagu Hari Lebaran. Versi pertama dinyanyikan oleh grup vokal Lima Seirama di Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1952. Adapun versi kedua dilantunkan oleh Didi & Kwartet Mascan. Pada intinya, setelah kemunculannya pertama kali, lagu Hari Lebaran langsung dikenal publik hingga hari ini.
2. Banyak dinyanyikan ulang.
Indonesia patut berbangga karena lagu Hari Lebaran dinyanyikan ulang oleh maestro besar Malaysia, P. Ramlee pada 1977. Sedangkan pada era 1990-an, lagu ini dinyanyikan banyak musisi Indonesia seperti Gigi, Ungu, Gita Gutawa, Sentimental Moods hingga Derehida. Menariknya, grup band retro Derehida menyanyikan ulang secara lengkap lagu Hari Lebaran.
3. Mempopulerkan kosa kata baru.
foto: Freepik
Sejak kecil kita selalu mengucapkan "Minal Aidin Wal Faizin" saat silaturahmi antar keluarga. Kalimat tersebut kerap disambung dengan kata-kata "Mohon maaf lahir dan batin". Tradisi tersebut menjadikan banyak orang menganggap dua kalimat yang mempunyai arti yang sama.
Padahal, Ismail Marzuki hanya menggabungkan untuk mendapatkan rima lirik yang sama. "Minal Aidin Wal Faizin" yang harusnya bermakna "Semoga kita termasuk golongan yang kembali mendapat kemenangan" menjadi ungkapan permintaan maaf.
Sementara itu, sebelum P. Ramlee membawakan ulang lagu ini, kata Lebaran masih asing di telinga warga Malaysia.
4. Bait yang jarang dibawakan.
Acap kali orang menyanyikan lagu ini hanya beberapa bait saja. Jarang sekali ada penyanyi yang melantunkan hingga bait akhir. Padahal ada banyak pesan sosial yang disampaikan oleh Ismail Marzuki. Setelah Derehida menyanyikan lagu tersebut dengan lengkap, publik berangsur mengenali bait yang jarang dibawakan.
Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik terem listrik perei
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe
Kakinya pade lecet babak belur berabe
Maafkan lahir dan batin, ulang taon idup prihatin
Cari uang jangan bingungin, bulan Syawal kita ngawinin
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brandi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
Maafkan lahir dan batin, lan taon idup prihatin
Kondangan boleh kurangin, kurupsi jangan kerjain
5. Sindiran pada pemerintah.
foto: abc.net.au
Selain menyindir kebiasaan masyarakat kota pada hari Lebaran, Ismail Marzuki juga menyindir pemerintah. Baris "Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin" sebenarnya tak sesuai dengan kondisi masyarakat pada waktu itu.
Rakyat berada dalam kesengsaraan yang jauh dari kata makmur. Tak hanya itu, suami primadona grup musik asal Bandung Eulis Zuraidah itu juga menyindir koruptor. Lagu ini diakhiri dengan kalimat "korupsi jangan kerjain". Lagu ini sekaligus jadi penanda bahwa korupsi sudah marak dari zaman awal kemerdekaan Indonesia.