Brilio.net - Teks biografi merupakan tulisan yang menceritakan tentang sejarah hidup seseorang yang bisa mencakup masa kecil, pengalaman, hingga kesuksesan tokoh tersebut. Orang-orang yang kerap dijadkan sebagai tokoh dalam biografi adalah pahlawan, politisi, artis, atlet, hingga pebisnis sukses.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), biografi dapat diartikan sebagai riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Teks biografi sendiri terdiri dari tiga struktur yang membedakannya dari teks lain. Struktur tersebut mencakup orientasi, kejadian atau peristiwa penting, dan reorientasi.
BACA JUGA :
7 Contoh teks ulasan film beserta penjelasan dan strukturnya
1. Orientasi, merupakan kalimat atau paragraf pembuka yang menceritakan latar belakang maupun peristiwa yang akan diceritakan.
2. Kejadian atau peristiwa penting, mencakup permasalahan menarik, mengesankan, dan mengharukan yang dialami oleh tokoh dalam teks biografi. Peristiwa penting ini menjadi pembahasan utama dari teks biografi. Selain itu, rangkaian peristiwa juga harus disusun secara kronologis atau berurutan waktunya.
3. Reorientasi, merupakan kesimpulan dari seluruh kisah yang telah diceritakan sebelumnya.
Dengan teks biografi, kamu bia memahami pemikiran dan prestasi seorang tokoh, mengetahui kelebihan yang dimiliki, menjadi bahan renungan, serta mengambil hikmah dari kisah tersebut. Supaya kamu lebih memahami lagi seperti apa teks biografi, kamu bisa membaca-baca teks-teks tersebut.
Salah satu teks biografi yang populer di kalangan masyarakat adalah teks biografi para pahlawan. Dengan membaca teks biografi pahlawan, kamu bisa lebih mengenal mereka, serta meneladani sifat-sifat yang baik. Bahkan, kamu juga bisa menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap Tanah Air. Nah, berikut brilio.net rangkum dari berbagai sumber, Jumat (7/1), inilah contoh teks biografi pahlawan yang bisa menambah pemahamanmu.
BACA JUGA :
101 Kata mutiara teman seperjuangan, bikin hubungan kian solid
1. Teks biografi pahlawan Cut Nyak Dien
foto: Instagram/@schubert140298
Cut Nyak Dien adalah wanita kelahiran Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848. Sayangnya, tidak diketahui dengan pasti mengenai tanggal lahir dari Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan yang memang sangat taat dalam beragama. Keluarga dari Cut Nyak Dien bertempat tinggal di Aceh Besar, wilayah VI Mukim. Ayah dari Cut Nyak Dien bernama Teuku Nanta Setia, yang merupakan seorang uleebalang VI Mukim, dan merupakan keturunan Machmoed Sati, seorang perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati datang ke Aceh sekitar abad ke 18 di saat kesultanan Aceh kala itu diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Jadi tidak heran jika ayah dari Cut Nyak Dien masih merupakan keturunan Minangkabau. Beda halnya dengan ibu dari Cut Nyak Dien. Ibu Cut Nyak Dien merupakan seorang putri uleebalang Lampagar.
Di masa kecilnya, Cut Nyak Dien dikenal sebagai seorang gadis yang cantik. Dirinya memperoleh pendidikan pada bidang agama dan juga pendidikan rumah tangga. Tidak heran jika kala itu Cut Nyak Dien disukai oleh banyak laki-laki. Bahkan, karena kecantikannya, banyak laki-laki yang berusaha melamarnya. Pada tahun 1863, tepatnya ketika Cut Nyak Dien tepat berusia 12 tahun, dirinya dinikahkan oleh orang tuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Pria tersebut merupakan putra tunggal dari uleebalang Lamnga XIII.
Meletusnya Perang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Belanda melalu armada kapal Citadel van Antwerpen, mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan. Kemudian pada tanggal 8 April 1873, Belanda di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Khler berhasil mendarat di Pantai Ceureumen dan langsung menguasai Masjid Raya Baiturrahman kemudian membakarnya. Perlakuan Belanda tersebut memicu perang Aceh yang saat dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan 3.198 prajurit Belanda. Namun, Kesultanan Aceh bisa memenangkan perang pertama melawan Belanda tersebut dengan tewas tertembaknya Khler.
Kemudian pada tahun 1874-1880, di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, wilayah VI Mukim berhasil diduduki Belanda begitu juga dengan Keraton Sultan yang akhirnya harus mengakui kekuatan Belanda. Hal tersebut memaksa Cut Nyak Dien dan bayinya mengungsi bersama ibu-ibu serta rombongan lain pada tepatnya pada 24 Desember 1875. Namun, suami dari Cut Nyak Dien tetap bertekad untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Sayangnya, ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, dirinya tewas bertepatan dengan tanggal 29 Juni 1878. Hal tersebut akhirnya membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah untuk menghancurkan Belanda.
Pertemuan dengan Teuku Umar
Kemudian, setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dien dilamar oleh Teuku Umar, yang merupakan tokoh pejuang Aceh. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, akan tetapi karena Teuku Umar memperbolehkan Cut Nyak Dien untuk bertempur, akhirnya Cut Nyak Dien menerima pinangan Teuku Umar dan mereka menikah pada tahun 1880. Bergabungnya kedua insan tersebut menyebabkan moral dan semangat para pejuang Aceh semakin berkobar. Akhirnya perang tersebut berlanjut dengan gerilya, lalu tercetuslah perang fisabilillah. Seakan tidak ingin menyianyiakan kesempatan, pada tahun 1875 Teuku Umar mencoba untuk mendekati Belanda dan mempererat hubungannya dengan orang Belanda. Hal tersebut berlanjut dengan Teuku Umar beserta pasukannya yang berjumlah 250 orang, pergi menuju Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893. Strategi dari Teuku Umar akhirnya berhasil mengelabui Belanda hingga mereka memberi Teuku Umar gelar yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikan Teuku Umar sebagai komandan unit pasukan Belanda yang memiliki kekuasaan penuh.
Strategi Teuku Umar Menjatuhkan Belanda
Demi melancarkan aksinya, Teuku Umar rela dianggap sebagai penghianat oleh orang Aceh. Tidak terkecuali Cut Nyak Meutia yang datang menemui Cut Nyak Dien kemudian memakinya. Namun, meski begitu Cut Nyak Dien tetap berusaha menasehatinya untuk fokus kembali melawan Belanda. Akhirnya, di saat kekuasaan Teuku Umar dan pengaruhnya cukup besar, Teuku Umar memanfaatkan momen tersebut untu mengumpulkan orang Aceh di pasukannya. Ketika jumlah orang Aceh di bawah komando Teuku Umar sudah cukup, kemudian Teuku Umar melakukan rencana palsu ke orang Belanda dan mengklaim jika dirinya ingin menyerang basis Aceh.
Kemudian Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan seluruh pasukan serta perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda. Tapi, mereka tidak pernah kembali ke markas Belanda. Strategi penghianatan tersebut disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Strategi dari Teuku Umar untuk mengkhianati Belanda membuat Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Tapi para gerilyawan Aceh saat ini sudah dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Ketika Jenderal Van Swieten diganti, orang yang menggantikan posisinya yaitu Jenderal Jakobus Ludovicius Hubertus Pel dengan cepat terbunuh oelah geriliyawan Aceh, hingga akhirnya membuat para pasukan Belanda berada dalam kondisi yang sangat kacau.
Melanjutkan Perjuangan Melawan Belanda
Setelah penghianatan tersebut, Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya. Demi melancarkan aksinya untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, Belanda akhirnya mengirim unit Marchausse. Unit ini didominasi orang Tionghoa-Ambon yang dikenal susah ditaklukkan oleh orang Aceh. Bahkan, karena saking kuatnya unit tersebut, Belanda merasa iba terhadap rakyat Aceh, hingga akhirnya Van der Heyden membubarkan unit Marchausse tersebut. Pasca bubarnya unit tersebut, jenderal yang memimpin perang dengan Aceh selanjutnya bisa dengan mudah mencapai kesuksesan, sebab banyak orang Aceh yang tidak ikut melakukan jihad karena takut kehilangan nyawa mereka.
Ketakutan orang Aceh tersebut dimanfaatkan Jendral Joannes Benedictus van Heutsz dan akhirnya menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak. Hingga akhirnya Belanda berhasil mendapatkan informasi bahwa Teuku Umar berencana untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 di mana akhirnya Teuku Umar gugur karena tertembak peluru. Meski begitu Cut Nyak Dien tetap memimpin perlawanan terhadap Belanda di daerah pedalaman Meulaboh dengan pasukan kecilnya. Pasukan Cut Nyak Dien terus bertempur hingga kalah pada tahun 1901, karena tentara Belanda sudah sangat terbiasa untuk berperang di daerah Aceh. Di sisi lain, Cut Nyak Dien sudah semakin tua dan matanya mulai rabun. Dirinya juga sudah menderita encok dan jumlah pasukannya terus berkurang. Bahkan beliau dan pasukannya kesulitan untuk memperoleh makanan.
Tertangkap dan Akhir Hayat
Seorang pengawal Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien kepada Belanda. Hal tersebut membuat Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Pasukan Cut Nyak Dien terkejut dan bertempur mati-matian, hingga akhirnya Cut Nyak Dien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Sehabis tertangkap oleh Belanda, Cut Nyak Dien dibawa dan dirawat di Banda Aceh. Penyakit rabun dan encoknya berangsur sembuh. Tapi sayangnya Cut Nyak Dien pada akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dien dibawa ke Sumedang bersama tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian salah satu orang yaitu bupati Suriaatmaja. Tahanan laki-laki lainnya juga turut menyatakan perhatian mereka kepada Cut Nyak Dien, namun tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Cut Nyak Dien ditahan bersama ulama bernama Ilyas dan ulama tersebut segera menyadari bahwa Cut Nyak Dien adalah ahli dalam agama Islam. Hal tersebut membuat Cut Nyak Dien dijuluki Ibu Perbu.
Tepat pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena faktor usia yang sudah tua. Makam Cut Nyak Dien sendiri baru ditemukan pada tahun 1959, itupun karena permintaan Gubernur Aceh kala itu, Ali Hasan. Cut Nyak Dien sendiri baru diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Sumber: liputan6.com
2. Teks biografi RA Kartini
foto: Instagram/@gunungkawistory
Ketika Indonesia masih di masa penjajahan, RA Kartini memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia. Hal tersebut yang membuat beliau dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita. Perjuangan RA Kartini didasarkan oleh keberadaan wanita yang sering tidak dihargai. Wanita hanya boleh mengerjakan urusan dapur dan anak, tanpa diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Akan tetapi, RA Kartini dengan segenap hatinya, berjuang supaya wanita Indonesia yang merasa tertindas dapat sederajat dengan pria. Saat ini, perjuangan dari RA Kartini benar-benar memberi pengaruh serta arti besar bagi wanita Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya wanit Indonesia yang berprestasi bahkan salah satunya pernah menjadi Presiden Republik Indonesia.
Kelahiran
Biografi RA Kartini singkat dimulai dari kelahiran beliau. RA Kartini lahir tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa. Hal tersebut menjadi alasan mengapa beliau mendapat gelar RA yang merupakan singkatan dari Raden Ajeng. Namun setelah menikah, sesuai dengan tuntunan adat Jawa kepanjangan dari gelar RA tersebut berubah menjadi Raden Ayu. Hari kelahiran RA Kartini saat ini diperingati sebagai hari nasional, yaitu hari Kartini. Diperingatinya tanggal 21 April sebagai hari Kartini tidak lain untuk mengenang dan menghormati jasa beliau yang telah ikut berjuang bagi rakyat Indonesia, terutama kaum wanita, agar bisa lebih maju dan bersaing dengan bangsa lainnya.
Latar Belakang Keluarga
RA Kartini merupakan putri pertama dari istri pertama Raden Adipati Ario Sosroningrat. Ayah dari RA Kartini merupakan putra Pangeran Arion Tjondronegoro IV. Meskipun ibu dari RA Kartini merupakan istri pertama, namun ibu dari RA Kartini bukan istri yang utama. Ibu dari RA Kartini bernama MA Ngasirah. Beliau adalah seorang Kiyai di Telukawur, Surabaya. MA Ngasirah sendiri bukan merupakan putri keturunan bangsawan. Padahal, di masa kolonial Belanda terdapat peraturan jika seorang Bupati harus menikah dengan sesama keturunan bangsawan. Itulah penyebab ayah RA Kartini menikahi Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan bangsawan dari Raja Madura. Setelah pernikahan tersebut, ayah RA Kartini kemudian diangkat menjadi bupati Jepara tepat setelah RA Kartini dilahirkan.
Masa Remaja
Kakek dari RA Kartini adalah bupati pertama yang sudah memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Sedangkan RA Kartini merupakan merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara, baik kandung maupun tiri. RA Kartini sendiri merupakan putri tertua di antara saudara sekandungnya. Kemudian RA Kartini bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Di masa sekolah inilah beliau belajar Bahasa Belanda. Singkatnya masa sekolah tersebut disebabkan pada umur 15 tahun RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit.
RA Kartini sangat pandai bahasa Belanda. Dirinya mulai belajar menulis surat pada teman-teman dari Belanda, salah satunya adalah Rosa Abendanon, yang sangat mendukung RA Kartini. Dimulai belajar surat-menyurat inilah RA Kartini tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Beliau mempelajari mengenai hal tersebut melalui surat kabar, majalah hingga buku-buku. Lalu beliau mulai memiliki keinginan untuk memajukan perempuan Indonesia yang status sosialnya masih rendah kala itu. RA Kartini mulai memperhatikan masalah emansipasi wanita dengan membandingkan para wanita Eropa dengan wanita Indonesia. Baginya seorang wanita harus mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan hukum. Hal tersebut yang kedepannya diperjuangkan oleh RA Kartini.
Pasca Pernikahan Hingga Wafat
12 November 1903 tepatnya ketika RA Kartini berusia 24 tahun, beliau diminta menikah dengan Bupati Rembang saat itu, yaitu K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suami RA Kartini tersebut telah memiliki tiga orang istri. Suami dari RA Kartini sangat memberi pengertian tentang keinginan RA Kartini. Bahkan beliau membebaskan dan mendukung RA Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di timur pintu gerbang perkantoran Rembang, yang saat ini telah menjadi gedung pramuka.
Dari pernikahannya dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, RA Kartini dikaruniai seorang putra bernama RM Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Sangat disayangkan, empat hari setelah RA Kartini melahirkan, tepatnya pada usia 25 tahun, RA Kartini meninggal dunia dan beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Sedangkan Soesalit Djojoadhiningrat sendiri sempat menjabat sebagai Mayor Jenderal pada masa kependudukan Jepang. Di mana dirinya kemudian memiliki anak bernama RM. Boedi Setiyo Soesalit yang merupakan cucu RA Kartini. Lalu RM Boedi Setiyo Soesalit menikah dengan wanita bernama Ray Sri Biatini Boedi Setio Soesalit. Kemudian, dari hasil pernikahannya beliau dikaruniai lima orang anak bernama yang merupakan cicit RA Kartini. Masing-masingnya bernama RA Kartini Setiawati Soesalit, RM Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM Rahmat Harjanto Soesalit.
Yayasan, Buku, dan Penghargaan
Tepat pada tahun 1912, Yayasan Kartini di Semarang mendirikan sekolah wanita yang diberi nama Sekolah Kartini. Sekolah tersebut didirikan oleh keluarga Van Deventer yang merupakan tokoh Politik Etis kala itu. Pembangunan sekolah tersebut kemudian berlanjut di Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan berbagai daerah lainnya. Setelah wafatnya RA Kartini, seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini saat aktif melakukan korespondensi dengan teman Eropa-nya kala itu.
Dari situlah awal mula penyusunan buku yang judul awalnya Door Duisternis tot Licht dan kemudian diterjemahkan menjadi Dari Kegelapan Menuju Cahaya, kemudian diterbitkan pada tahun 1911. Buku tersebut dicetak lima kali, dan khusus pada cetakan kelima terdapat surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini. Pemikiran yang tertuang oleh RA Kartini banyak menarik perhatian masyarakat masa itu, terutama kaum Belanda. Sebab orang yang menulis surat-surat ke orang Eropa tersebut merupakan wanita pribumi.
Pemikiran RA Kartini banyak merubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi saat itu. Tulisan RA Kartini juga menjadi inspirasi para tokoh-tokoh Indonesia seperti W.R Soepratman yang kemudian menciptakan lagu dengan judul Ibu Kita Kartini. Kemudian, berkat jasa-jasa RA Kartini, Presiden Soekarno sendiri saat itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang mana keputusan tersebut menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Bahkan Presiden Soekarno sendirilah yang turut menetapkan hari lahir RA Kartini pada tanggal 21 April untuk diperingati sebagai Hari Kartini hingga masa kini.
Sumber: liputan6.com
3. Teks biografi Ki Hadjar Dewantara
foto: Instagram/@arsip.indies
Ki Hadjar Dewantara (KHD) lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama RM Soewardi Soerjaningrat (SS), putra GPH Soerjaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III. Dari genealoginya SS adalah keluarga bangsawan Pakualaman. Sebagai bangsawan Jawa, SS mengenyam pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) Sekolah Rendah untuk Anak-anak Eropa. Kemudian SS mendapat kesempatan masuk STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) biasa disebut Sekolah Dokter Jawa.
Namun karena kondisi kesehatannya tidak mengizinkan sehingga SS tidak tamat dari sekolah ini. Adapun profesi yang digelutinya adalah dunia jurnalisme yang berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada waktu itu: Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara yang melontarkan kritik sosial-politik kaum bumiputra kepada penjajah. Tulisannya komunikatif, halus, mengena, tetapi keras. Jiwanya sebagai pendidik tertanam dalam sanubarinya direalisasikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922) guna mendidik masyarakat bumiputra.
Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman SS berkepribadian sangat sederhana dan sangat dekat dengan kawula (rakyat). Jiwanya menyatu lewat pendidikan dan budaya lokal (Jawa) guna menggapai kesetaraan sosial-politik dalam masyarakat kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar SS dalam memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme politik. Keteguhan hatinya untuk memperjuangkan nasionalisme Indonesia lewat pendidikan dilakukan dengan resistensi terhadap Undang-undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie, 1932). Undang-undang yang membatasi gerak nasionalisme pendidikan Indonesia akhirnya dihapus oleh pemerintah kolonial.
Perjuangannya di bidang politik dan pendidikan inilah kemudian pemerintah Republik Indonesia menghormatinya dengan berbagai jabatan dalam pemerintahan RI, mengangkat KHD sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1950). KHD mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (1959). Pemerintah RI mengangkat KHD sebagai Pahlawan Nasional (1959). Meski perjuangannya belum selesai untuk mendidik putra bangsa, jelas KHD memelopori lahirnya pendidikan di Indonesia. KHD wafat pada 26 April 1959 dimakamkan di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta.
Sumber: Djoko Marihandono (ed.). Perjuangan Ki Hadjar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017
4. Teks biografi Jendral Soedirman
foto: Instagram/@nasihatseries
Dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, jasa-jasanya sangat dikenang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jenderal Besar Soedirman menurut Ejaan Soewandi dibaca Sudirman, Ia merupakan salah satu orang yang memperoleh pangkat bintang lima selain Soeharto dan A.H Nasution. Jenderal besar Indonesia ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem. Namun ia lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo setelah diadopsi. Ketika Sudirman pindah ke Cilacap di tahun 1916, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan menjadi siswa yang rajin serta aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam Islam menjadikan ia dihormati oleh masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia berlatar belakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.
Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.
Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.
Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi. Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun. Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Sumber: perpusnas.go.id
5. Teks biografi Pattimura
foto: Instagram/@theophilus911cs
Nama Pattimura merupakan nama salah satu pahlawan nasional yang kemudian diabadikan menjadi nama Universitas, Bandar Udara, bahkan diabadikan menjadi gambar dalam uang pecahan Rp 1000 yang pernah diterbitkan oleh Bank Indonesia. Jadi, siapakah sebenarnya Pattimura dan apa peran Pattimura dalam sejarah Indonesia?
Thomas Matulessy juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura atau Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku. Pattimura lahir di Haria, Saparua, Maluku Tengah pada 8 Juni 1783 dari keluarga Matulessy. Ayahnya bernama Frans Matulessy dan ibunya bernama Fransina Silahoi. Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarir dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Namanya kemudian dikenal karena memimpin perlawanan rakyat Maluku melawan Belanda melalui perang Pattimura.
Sejak abad ke 17 dan 18 berlangsung serentetan perlawanan bersenjata melawan Belanda (VOC) dikarenakan terjadi praktik penindasan kolonialisme Belanda dalam bentuk monopoli perdagangan, pelayaran hongi, kerja paksa dan sebagainya. Penindasan tersebut dirasakan dalam semua sisi kehidupan rakyat, baik segi sosial ekonomi, politis dan segi sosial psikologis.
Selama dua ratus tahun rakyat Maluku mengalami perpecahan dan kemiskinan. Rakyat Maluku memproduksi cengkeh dan pala untuk pasar dunia, namun mayoritas masyarakat tidak ada keuntungan dari sisi ekonomi yang dirasakan. Alih-alih mendapatkan keuntungan, rakyat Maluku justru semakin menderita dengan adanya berbagai kebijakan seperti pajak yang berat berupa penyerahan wajib (Verplichte leverantien) dan contingenten serta blokade ekonomi yang mengisolasi rakyat Maluku dari pedagang-pedagang Indonesia lain.
Pada fase kedua pendudukan Inggris di Maluku pada tahun 1810 1817 harus berakhir pada tanggal 25 Maret 1817 setelah Belanda kembali menguasai wilayah Maluku. Rakyat Maluku menolak tegas kedatangan Belanda dengan membuat Proklamasi Haria dan Keberatan Hatawano. Proklamasi Haria disusun oleh Pattimura.
Ketika pemerintah Belanda mulai memaksanakan kekuasaannya melalui Gubemur Van Middelkoop clan Residen Saparua Johannes Rudolf van der Berg,pecahlah perlawanan bersenjata rakyat Maluku. Diadakan musyawarah dan konsolidasi kekuatan dimana pada forum-forum tersebut menyetujui Pattimura sebagai kapten besar yang memimpin perjuangan. Pada tanggal 7 Mei 1817 dalam rapat umum di Baileu negeri Haria, Thomas Matulessy dikukuhkan dalam upacara adat sebagai Kapitan Besar.
Setelah dilantik sebagai kapten, Pattimura memilih beberapa orang pembantunya yang juga berjiwa ksatria, yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu. Pattimura bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano melakukan penyerbuan ke benteng Duurstede.
Berita tentang jatuhnya benteng Duurstede ke tangan pasukan Pattimura dan pemusnahan orang-orang Belanda, menggoncangkan dan membingungkan pemerintah Belanda di kota Ambon. Gubernur Van Middelkoop dan komisaris Engelhard memutuskan militer yang besar ke Saparua di bawah pimpinan mayor Beetjes. Ekspedisi tersebut kemudian disebut dengan ekspedisi Beetjes.
Mengetahui hal tersebut, dengan segera Kapitan Pattimura mengatur taktik dan strategi pertempuran. Pasukan rakyat sekitar seribu orang diatur dalam pertahanan sepanjang pesisir mulai dari teluk Haria ,sampai ke teluk Saparua. Pattimura bersama pasukannya berhasil mengalahkan Beetjes dan tentaranya.
Pada tanggal 20 Mei 1817 diadakan rapat raksasa di Haria untuk mengadakan pernyataan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Peringatan kebulatan tekad ini dikenal dengan nama Proklamasi Portho Haria yang berisi 14 pasal pernyataan dan ditandatangani oleh 21 Raja Patih dari pulau Saparua dan Nusalaut. Proklamasi ini membangkitkan semangat juang yang mendorong tumbuhnya front-front pertempuran di berbagai tempat bahkan sampai ke Maluku Utara.
Pada tanggal 4 Juli 1817 sebuah armada kuat dipimpin Overste de Groot menuju Saparua dengan tugas menjalankan vandalisme. Seluruh negeri di jazirah Hatawano dibumi hanguskan. Siasat berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba dijalankan silih berganti. Belanda juga melancarkan politik pengkhianatan terhadap Pattimura dan para pembantunya.
Pada tanggal 11 November 181 7 dengan didampingi beberapa orang pengkhianat, Letnan Pietersen berhasil menyergap Pattimura dan Philips Latumahina. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.
Sumber: ditsmp.kemdikbud.go.id
6. Teks biografi Wage Rudolf Soepratman
foto: Instagram/@malamuseum
Wage Rudolf Soepratman atau yang lebih sering dipanggil W.R. Supratman lahir pada hari Jumat Wage tanggal 19 Maret 1903 di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Walaupun lahir di Somongari, W.R. Supratman tidak tinggal di desa tersebut. Tiga bulan setelah lahir, orang tuanya membawanya ke Jatinegara. Sebagai seorang tentara KNIL, Sersan Jumeno Senen (ayah W.R. Supratman) segera mencatatkan kelahiran anaknya. Untuk memudahkan, maka Akte Kelahiran W.R. Supratman dibuat di Jatinegara, sehingga banyak yang menuliskan W.R. Supratman lahir di Jatinegara.
W.R. Supratman memulai pendidikan di Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) Jakarta pada 1907, saat usianya 4 tahun. Setelah tinggal bersama kakanya Ny. Rukiyem di Makasar, W.R. Supratman melanjutkan pendidikannya di Tweede Inlandscheschool (Sekolah Angka Dua) dan menyelesaikan pada tahun 1917. Pada tahun 1919, W.R. Supratman lulus ujian Klein Ambtenaar Examen (KAE, ujian untuk calon pegawai rendahan). Setelah lulus KAE, Wage melanjutkan pendidikan ke Normaalschool (Sekolah Pendidikan Guru).
Karirnya dalam bermusik tidak terlepas dari peran kakak Iparnya W.M. Van Eldick, W.R. Supratman diberikan hadiah oleh Van Eldick sebuah biola saat ulang tahunnya yang ke-17. Bersama dengan Van Eldik, Ia mendirikan Grup Jazz Band bernama Black And White. Kepandaian W.R. Supratman dalam bermusik dimanfaatkannya untuk menciptakan lagu-lagu perjuangan, yang salah satu diantaranya ditetapkan sebagai Lagu Kebangsaan Republik Indonesia, Indonesia Raya.
Puncak karir WR Supratman ketika Ia pindah dari Makassar ke Bandung dan memulai karir jurnalistik dengan menjadi wartawan pada surat kabar Kaoem Moeda pada tahun 1924. Setahun kemudian, ia pindah ke Jakarta dan menjadi wartawan Surat Kabar Sin Po. Sejak saat itu ia rajin menghadiri rapat-rapat organisasi pemuda dan rapat-rapat partai politik yang diadakan di Gedung Pertemuan di Batavia, sejak saat itulah W.R Supratman berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Dalam pelaksanaan kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928, WR Supratman ikut terlibat. Untuk pertamakalinya Ia memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan iringan gesekan biolanya di depan seluruh peserta kongres sebelum dibacakannya Putusan Kongres Pemuda yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Setelah dilaksanakannya Kongres Pemuda Kedua, kehidupan WR Supratman tidak lagi tenang karena dimata-matai oleh polisi Belanda dikarenakan kata Merdeka, Merdeka pada lagu karangannya tersebut. Sehingga pada tahun 1930 Pemerintah Hindia Belanda melarang rakyat Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan umum.
Tahun 1933-1937 ia berpindah-pindah tempat dari Jakarta ke Cimahi, lalu ke Pemalang. Hingga pada bulan April 1937 ia dibawa oleh kakanya Ny. Rukiyem Supratiyah ke Surabaya dalam keadaan sakit. Kedatangan W.R. Supratman di Surabaya segera diketahui oleh teman-teman seperjuangannya. Mereka datang menjenguk W.R Supratman yang masih lemah setelah sakit.
Tanggal 7 Agustus 1938, W.R. Supratman ditangkap Belanda di studio Radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep) di Jalan Embong Malang Surabaya, lantaran lagunya yang berjudul Matahari Terbit dinyanyikan pandu-pandu KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) di radio tersebut dan dianggap wujud simpati terhadap Kekaisaran Jepang. Sempat ditahan, WR Supratman kemudian dilepas setelah Belanda tidak dapat menemukan bukti-bukti bahwa dirinya bersimpati kepada Jepang.
Kondisi kesehatannya pun semakin menurun, pada 17 Agustus 1938 (Rabu Wage) W.R. Soepratman meninggal dunia di Jalan Mangga No. 21 Tambak Sari Surabaya karena gangguan jantung yang dideritanya. Alm. W.R Supratman dimakamkan di Pemakaman Umum Kapasan Jalan Tambak Segaran Wetan Surabaya.
Atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, WR Supratman mendapatkan penghargaan berupa pemindahan dan perbaikan makam, kemudian pada 17 Agustus 1960 pemerintah RI memberikan anugerah Bintang Mahaputra Anumerta III. Setelah itu melalui surat keputusan Presiden RI No.16/SK/1971 tanggal 20 Mei 1971 telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada W.R. Supratman, serta Surat Keputusan Presiden RI No.017/TK/1974 tanggal 19 Juni 1974 Presiden RI menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama kepada W.R. Supratman.
Sumber: museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id
7. Teks biografi Frans Kaisiepo
foto: Instagram/@evan.historian
Pahlawan nasional Republik Indonesia, (alm) Frans Kaisiepo, lahir di Wardo, Biak, Papua pada 10 Oktober 1921. Beberapa jasa kenegaraan Gubernur Papua ke-4 ini termasuk pengusulan nama Irian, berarti daerah panas dalam bahasa daerah Biak, untuk menyebut wilayah paling timur Republik Indonesia, serta partisipasinya dalam Konferensi Malino 1946 yang membahas pembentukan Republik Indonesia Serikat.
Sejak muda, Kaisiepo telah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Irian (sekarang kembali bernama Papua). Ketika pemerintah Belanda menangkap Silas Papare, pendiri Partai Kemerdekaan Irian Indonesia (PKII), bersama beberapa aktivis pro-Republik setelah mengibarkan bendera Merah-Putih pada 17 Agustus 1947, Kaisiepo dan Johan Ariks memutuskan untuk meneruskan perjuangan rekan mereka menyatukan wilayah Irian ke pangkuan Indonesia.
Terkenal dengan sikap anti-Belanda yang kuat, Kaisiepo bahkan meminta anaknya, Markus Kaisiepo, untuk mengganti papan nama sekolah yang saat itu bertuliskan Papua Bestuurschool menjadi Irian Bestuurschool. Bagi mantan anggota Hakim Tertinggi DPA ini, nama Irian mencerminkan sikap hidup dan semangat persatuan untuk menolak kehadiran Belanda yang berusaha berkuasa kembali pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI. Sejarah juga mencatat tiga hari menjelang Proklamasi, tepatnya 14 Agustus 1945, Kaisiepo dan beberapa rekan seperjuangannya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura. Beberapa hari sesudah Proklamasi, atau pada 31 Agustus 1945, Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian lagu kebangsaan.
Pada 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka yang diketuai Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke Sulawesi utara sebagai salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino 1946 dan tercatat sebagai satu-satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu perundingan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut. Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan Frans Kaisiepo untuk mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario usulan pembentukan Negara Indonesia Timur.
Selang dua tahun setelah Konferensi, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pecah di Biak, Irian dengan Kaisiepo tercatat sebagai salah satu penggerak insiden tersebut. Setahun berikutnya, atau pada 1949, putra Irian sejati ini menolak penunjukan dirinya sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini dalam Konferensi Meja Bundar di Nederland, Belanda berdasar alasan tidak mau didikte oleh Belanda. Atas penolakan ini, Kaisiepo bahkan rela disekap sebagai tahanan politik mulai 1954 - 1961.
Pasca masa penahanan, Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian pada 1971 yang bertujuan utama menggabungkan wilayah Nugini sebagai bagian NKRI. Pada masa-masa inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI pecah dengan dimulainya TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Kaisiepo juga sering melindungi para sukarelawan yang diam-diam melakukan infiltrasi ke wilayah Irian barat tersebut.
Capaian utama TRIKORA adalah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1963 yang memaksa Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan Indonesia. Melalui pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan wilayah Irian mulai 1963 - 1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus bergabung atau lepas dari tangan Indonesia.
Pada 1964 bisa disebut sebagai tahun paling kritis bagi Irian. Gubernur pertama Irian, Elieser Jon Bonay, mulai menjabat pada 1963. Pada awal 1964, Bonay membuat usulan ke PBB yang menyatakan separasi dan kemerdekaan bagi Irian Barat sekaligus menyatakan mundur dari jabatan gubernur dan digantikan Frans Kaisiepo. Sayangnya, pengunduran diri tanpa penggantian posisi ini justru memicu kekecewaan Bonay dan membuatnya memilih keluar dari kampung halaman untuk bergabung, dan selanjutnya menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh, dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Belanda.
Kaisiepo sendiri terus berjuang menyatukaan Irian dengan RI sesuai impiannya sejak awal dan pada 1969 impian ini terbayar dengan masuknya Irian sebagai propinsi paling muda di Indonesia saat itu. Pada 1972, Kaisiepo dilantik sebagai salah satu anggota MPR RI sebelum akhirnya menjabat anggota Hakim Tertinggi Dewan Pertimbangan Agung sejak 1973 hingga 1979.
Pada 10 April 1979, salah satu putra terbaik Irian, Frans Kaisiepo, meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak. Di samping anugrah Trikora, nama Kaisiepo juga diabadikan menjadi bandar udara di Biak.
Berdasar Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993, nama Frans Kaisiepo selanjutnya dikenang sebagai satu dari deretan Pahlawan Nasional Indonesia disertai penganugrahan Bintang Maha Putera Adi Pradana Kelas Dua.
Putri Frans Kaisiepo, Suzanah Kaisiepo, berharap sikap dan jiwa kepahlawanan ayahnya bisa diteladani oleh para generasi muda Papua dalam mengisi pembangunan mengingat kuatnya keyakinan sang ayah pada semboyan 'Bersatu kita teguh; bercerai kita runtuh'.
Sumber: merdeka.com