Brilio.net - Salah satu problem masyarakat yang kerap bikin pusing adalah sampah. Biar menjadi onggokan barang yang tidak terpakai, sampah kerap kali bikin puyeng soal pengelolaannya. Entah itu soal bagaimana edukasi memilah sampah hingga persoalan tempat pembuangan akhir (TPA).
Lazimnya, sampah yang diproduksi masyarakat akan dikelola oleh petugas kebersihan setempat. Petugas itu biasanya diorganisasikan oleh dinas kebersihan dari pemerintah daerah setempat.
BACA JUGA :
Antimainstream, aksi warganet buang sampah kemasan makanan ini ribetnya bikin melongo
Sampah yang diangkut dari rumah ke rumah, akan diantarkan ke TPA. Namun jika tidak diolah, maka sampah yang setiap hari selalu dibuang bisa menumpuk dan volumenya membludak. Imbasnya, TPA itu tidak akan muat menampung sampah. Dan pada akhirnya sampah menjadi bom waktu yang akan menjadi masalah.
Seperti halnya terjadi beberapa waktu lalu di Yogyakarta. Pada 23 Juli lalu, TPA Piyungan resmi ditutup sampai tanggal 5 September 2023. Alasannya, kapasitas TPA Piyungan yang sudah penuh dan tak bisa menampung lebih banyak lagi sampah.
Keputusan menutup TPA Regional Piyungan di Bantul itu tercantum dalam surat yang diteken Sekretaris Daerah DIY Beny Suharsono tertanggal 21 Juli 2023. Dalam surat itu, tertulis masing-masing kabupaten/kota diminta mengambil langkah penanganan sampah secara mandiri di wilayah masing-masing.
BACA JUGA :
Penyewa rumah di Depok kabur tanpa membayar, hunian ditinggalkan dengan tumpukan sampah plastik
foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi
Ketika sebagian warga DIY resah karena di wilayah tempatnya tinggalnya belum ada sistem pengelolaan sampah secara mandiri, hal berkebalikan justru terjadi di Kalurahan Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul ini.
Rupanya, jauh sebelum masalah sampah di DIY meledak layaknya bom waktu seperti saat ini, desa yang terletak di selatan jalan Ringroad ini sudah punya siasat visioner untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri.
Brilio.net berkesempatan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang bagaimana awalnya gagasan tersebut. Lurah Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi, menerangkan bagaimana awalnya program pengolahan sampah secara mandiri ini.
"Sampah harus dipahami sebagai permasalahan yang terbagi dalam tiga segmen yakni, hulu, tengah, dan hilir. Segmen hulu adalah bagian penghasil sampah seperti kawasan pemukiman, perkantoran, dan UMKM. Kawasan itu lah yang jadi titik mula sampah dihasilkan secara masif, " ucapnya kepada brilio.net, beberapa waktu lalu.
Segmen tengah, lanjutnya, ada di wilayah pengangkutan. Sektor hilir yang merupakan kawasan pembuangan akhir. Ia menyebut masalah utama sampah ada di hulu dan hilir.
"Di hulu sampah yang dihasilkan semakin banyak seiring dengan pertumbuhan populasi dan pola konsumsi yang tinggi, sementara kesadarannya (masyarakat) rendah," kata Wahyudi.
foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi
Ketika segmen hulu menghasilkan volume sampah yang terus meningkat, Wahyudi pun menyadari kalau hal ini justru terjadi sebaliknya pada segmen hilir. Masalah sampah semakin menemui klimaks ketika tempat pembuangan akhir punya kapasitas terbatas. Diperparah tak adanya sistem pemilahan yang kemudian membuat sampah hanya dibiarkan menumpuk tanpa diolah.
"Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa TPA Piyungan jadi tutup beberapa waktu lalu. Berawal dari itu lah kami bersama warga Kalurahan Panggungharjo menginisiasi program pengelolaan sampah secara mandiri, " jelasnya.
Ketika segmen hulu menghasilkan volume sampah yang terus meningkat, Wahyudi pun menyadari kalau hal ini justru terjadi sebaliknya pada segmen hilir.
Menurutnya program ini bertujuan sebagai upaya intervensi dari masalah pengelolaan sampah hulu dan hilir. "Di sisi hulu, didorong perubahan perilaku agar kemudian konsumsinya lebih masuk akal, terus kesadarannya (warga akan sampah) meningkat," lanjut Wahyudi.
Berangkat dari gagasan ini lah Kalurahan Panggungharjo membuat sebuah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bernama Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah atau KUPAS sekitar Maret 2013 lalu. Mulanya, KUPAS hanya bertugas mengurusi sampah khusus diwilayah Panggungharjo.
"Kita sudah menyadari sejak 2012 TPA Piyungan sudah tidak bisa diandalkan. Maka dari itu KUPAS pun didirikan sebagai jawaban pemerintah Desa Panggungharjo untuk menanggulangi masalah sampah, " urainya.
Sejak adanya KUPAS, warga desa pelan-pelan mulai diedukasi akan kepeduliannya mengelola sampah secara mandiri. Kata Wahyudi, sebenarnya mengelola sampah itu simpel, tak perlu repot dan pusing.
"Sampah itu ketika kondisi masih tercampur. Namun, jika sampah sudah dipilah, maka statusnya sudah berganti dari sampah menjadi komoditas yang bisa menghasilkan keuntungan, " ujarnya.
foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi
Lantas KUPAS 'membelah diri' dengan melahirkan unit usaha berbentuk perusahaan bernama Pasti Angkut. Pasti Angkut adalah perusahaan digital yang menyediakan sistem layanan sampah. Pasti Angkut ini menjadi sebuah perusahaan yang membuat warganya tak pusing-pusing soal pengelolaan sampah.
Wahyudi Anggoro Hadim menjelaskan keberadaan Pasti Angkut ditujukan untuk fokus mengurusi segmen hilir. Selain itu Pasti Angkut diharapkan jadi agen yang turut mengedukasi warga untuk senantiasa memilah sampahnya.
"Sementara KUPAS akan berfokus di segmen hilir yang bertugas untuk mengolah sampah menjadi komoditas yang kemudian menghasilkan keuntungan bagi BUMDes tersebut, " ungkapnya.
Pasti Angkut menyediakan jasa pengangkutan sampah dengan cara ditimbang. Hal ini disampaikan oleh manajer Pasti Angkut, Salva Saragih. Menurutnya sistem pengangkutan sampah akan menyesuaikan tarif sampah yang diangkut berdasarkan berat timbangan.
"Kalau sampahmu banyak, bayarnya mahal. Sesuai berat timbangannya, " ucap Salva kepada brilio.net.
foto:brilio.net/IkhlasAlfaridzi
Dalam proses pengangkutannya, warga akan mendapatkan tarif yang jauh lebih murah jika sudah memilah sampah tersebut antara yang organik dan anorganik.
"Kami nggak khawatir kalau ada yang bilang kok bayarnya mahal? Lho iya, supaya mengedukasi ya kelola sampah (organik) mu," tutur Salva.
Selain itu, jika warga menyerahkan sampah kepada transporter (sebutan untuk pengangkut sampah) berupa sampah anorganik yang bernilai jual, maka warga akan mendapatkan insentif berupa tabungan emas. Hal ini pun akan jadi keuntungan sendiri bagi warga sehingga dari situlah kesadaran warga untuk memilah sampah berhasil ditingkatkan. KUPAS dan Pasti Angkut, membuktikan bahwa sampah bukan pembawa masalah.
foto:brilio.net/IkhlasAlfaridzi